tirto.id - Misionaris John Allen Chau, 27 tahun, paham betul bahwa pergi ke Pulau Sentinel Utara, Teluk Benggala, India, tergolong sebagai tindakan ilegal. Pemerintah India bahkan tidak membolehkan siapapun untuk mendekat dalam jarak kurang dari 3 kilometer dari bibir pantai.
NDTV melaporkan Chau membayar $384 atau kurang lebih Rp5,5 juta kepada nelayan lokal untuk diam-diam untuk membawanya dari Port Blair, Kepulauan Andaman Selatan, ke Pulau Sentinel Utara. Chou berangkat pada malam hari 15 November 2018 agar perjalanannya tidak dideteksi oleh otoritas keamanan India.
Nelayan hanya mau mendekat hingga 500 meter dari bibir pantai. Chou melanjutkan perjalanan dengan menggunakan kayak, berbekal Alkitab dan sejumlah buah tangan untuk penduduk lokal—suku terasing yang ingin diperkenalkan pada sosok Yesus.
Orang-orang Sentinel memutus kontak dengan dunia luar sejak kira-kira 55.000 tahun yang lalu. Situasi ini menyebabkan keterbatasan informasi perihal kehidupan mereka. Analis memperkirakan jumlahnya antara 40 hingga 50 orang. Isolasi juga membuat mereka punya bahasa sendiri yang berbeda dari bahasa warga di pulau-pulau sekitarnya.
Pulau Sentinel Utara bak terjebak dalam toples waktu, sebab orang-orangnya masih mempraktikkan gaya hidup zaman Batu. Mereka mengembangkan sistem agrikultur sederhana, tapi juga berburu dengan menggunakan busur dan panah, serta sesekali mengumpulkan bahan makanan dari pesisir pantai.
Larangan berkunjung ke Pulau Sentinel Utara didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, isolasi membuat tubuh penduduk asli memiliki kekebalan yang rendah atas beberapa penyakit. Menghindari kontak membantu mereka agar terhindar dari virus umum seperti influenza dan campak.
Kedua, demi keselamatan pendatang sendiri. Penduduk Pulau Sentinel Utara terkenal dengan sikap agresifnya kepada para pendatang dari berbagai latar belakang. Kesimpulan ini didapat dari respons orang Sentinel atas kunjungan para misionaris, antropologis, nelayan, hingga pejabat India.
Kunjungan pertama tercatat dilakukan oleh Perwira angkatan laut Inggris Maurice Vidal Portman pada 1880. Portman berhasil menangkap beberapa orang suku asli, lalu dibawa ke Port Blair. Tapi dua di antaranya meninggal akibat kena penyakit. Saat membawa sisanya ke pulau, penduduk pulau marah dan bertindak agresif.
Sekelompok antropolog Antropological Survey of India yang dipimpin T.N. Pandir memimpin eksplorasi pada 1967. Setelah beberapa kali kunjungan, mereka akhirnya bertemu penduduk lokal, yang memang bersikap tak ramah meski mengambil beberapa hadiah.
Pada 1974 giliran kru National Geographic yang datang untuk membuat film dokumenter. Sebagaimana respons terhadap kedatangan kapal kargo The Promise pada 1981 dan perwakilan dari pemerintahan India pada 1990-an, penduduk lokal awalnya bersikap ramah sebelum akhirnya mengusir mereka dengan cara menembak panah.
Pembunuhan pertama terhadap pendatang terjadi pada 2006. Korbannya dua orang nelayan India, Sunder Raj, 48 tahun, dan Pandir Tiwari, 52 tahun, yang memanen kepiting secara ilegal di pesisir Pulau Sentinel Utara.
Pada satu malam, keduanya tidur terlalu nyenyak di kapal, sampai tidak menyadari bahwa jangkarnya lepas, kapal hanyut hingga pesisir, dan ketahuan oleh orang Sentinel. Sunder dan Pandir juga tidak mendengar peringatan orang Sentinel, sehingga kapal diserang dan keduanya dibunuh dengan sebilah kapak.
Mayat Sunder dan Pandir diletakkan di pasak bambu di tepi pantai, menghadap ke laut, dalam posisi seperti orang-orangan sawah. Seminggu kemudian otoritas India hanya mampu membawa pulang satu mayat karena helikopter Penjaga Pantai India diserang panah dan tombak oleh puluhan penduduk pulau.
Chou, sebagaimana dilaporkan Washington Post, juga direspons dengan serangan panah penduduk Pulau Sentinel Utara. Ia kembali ke kapal nelayan, lalu menulis di jurnal harian bahwa saat itu ia ingin menyanyikan lagu rohani ke penduduk pulau.
Pada kunjungan kedua, 16 November 2018, orang-orang Sentinel merusak kayaknya. Chou kembali ke kapal nelayan. Namun, rupanya ia belum menyerah. Pada kunjungan ketiga, Sabtu (17/11/2018), ia melakukan hal yang nekat: meminta si nelayan untuk tidak menunggu kepulangan dirinya.
Si nelayan menurut. Tapi, tak lama kemudian, ia melihat sebuah pemandangan horor: orang-orang mengikat tali ke leher Chou dan menyeret tubuhnya ke arah pesisir. Si nelayan kabur. Keesokan harinya ia kembali dan menemukan tubuh Chou yang sudah tak bernyawa tergeletak di tepi pantai.
Menjadi misionaris jelas pekerjaan yang berbahaya jika targetnya suku-suku di pedalaman, apalagi yang punya reputasi agresif terhadap pendatang. Chou bernasib sama dengan, misalnya, lima orang misionaris Kristen Evangelis asal Amerika Serikat
Elisabeth Elliot menceritakan kisah kelimanya dalam buku Through Gates of Splendor yang pertama kali terbit pada 1957. Elisabeth adalah istri dari salah satu korban, Jim Elliot. Lainnya adalah Nate Saint, Ed McCully, Peter Fleming, dan Roger Youderian.
Pada September 1955 kelimanya menjalankan Operasi Acua untuk menyebarkan ajaran Kristiani ke orang-orang suku Huaorani yang tinggal di kawasan hutan hujan Ekuador. Mereka juga digolongkan sebagai suku terasing yang menjalankan kontak seminimal mungkin dengan dunia luar.
Sikapnya yang agresif, baik kepada pendatang maupun kepada sesama anggora suku Huaorani, membuat kelompok misionaris tidak bisa langsung datang ke lokasi. Mereka mula-mula terbang melintasi kawasan tinggal suku Huaorani dan menjatuhkan beberapa barang sebagai hadiah.
Tak dinyana, suku Huaorani menerima dan membalasnya. Kelompok misionaris melakukan pertukaran barang hingga akhir Desember 1955. Pada awal Januari 1956, mereka mendirikan kamp Palm Beach di pinggir Sungai Curaray yang berjarak beberapa kilometer saja dari pemukiman orang-orang Huaorani.
Beberapa hari kemudian, beberapa anggota suku yang mendatangi Palm Beach. Kontak pertama berlangsung optimistis. Terjadi pertukaran hadiah lanjutan, meski komunikasi masih terkendala bahasa. Salah satu di antaranya adalah seorang pemuda bernama Nanwiki yang bahkan sempat diajak naik pesawat misionaris.
Masih mengutip narasi Elliot di bukunya, tragedi bermula dari kembalinya Nanwiki dan seorang gadis suku ke pemukiman Huaorani. Kakak si gadis, Nampa, marah karena keduanya pulang tanpa dikawal. Komentar miring seputar pendatang menyeruak, dan makin lama makin panas karena Nanwiki mengklaim para misionaris menyerangnya.
Salah satu anggota suku senior yang punya pengalaman dengan orang luar, Gikita, mengatakan bahwa pendatang tak bisa dipercaya. Ia kemudian menyarankan untuk membunuh para pendatang. Anggota suku lain sepakat. Penyerangan dilakukan pada 8 Januari 1956 siang, di mana rombongan misionaris mengira mereka datang dengan damai.
Kelima korban rata-rata meninggal akibat ditombak. Barang-barang mereka dibuang ke sungai. Sisa rombongan berhasil kabur dengan pesawat. Anggota penyelamat udara AS yang bermarkas di Panama mengevakuasi mayat korban. Kelimanya dianggap sebagai martir di kalangan Evangelis AS.
Cerita-cerita nahas yang menimpa misionaris makin mengerikan jika dirunut jauh hingga ke awal abad ke-19. Pasalnya beberapa di antaranya ada yang jadi korban praktik kanibalisme.
John Williams adalah misionaris kelahiran Tottenam, dekat London, Inggris. Pada 1817 ia dan istrinya memulai pelayaran ke Kepulauan Masyarakat di Polinesia Perancis. Polinesia Perancis terdiri dari gugusan kepulauan yang berada di Samudera Pasifik Selatan.
John dan istri mendirikan rumah di Pulau Raiatea. Dari sana mereka berkunjung ke pulau-pulau lain, kadang bersama misionaris Inggris lain. Perjalanan dakwahnya direspons baik oleh suku-suku lokal. Banyak di antaranya yang akhirnya mengimani ajaran Kristiani.
Pada 1834 mereka kembali ke Inggris. John ditugaskan sebagai supervisi penerjemahan kitab Perjanjian baru ke bahasa Rarotongan, bahasa yang dipakai suku Maori di Pulau Cook.
Reputasi baik diterima keluarga Williams berkat kerja-kerja misionarisnya. Tapi pada bulan November 1839, sebuah kesialan fatal saat ia mengunjungi kepulauan New Hebridges (kini Vunuatu) dan bertemu dengan sebuah suku pemakan manusia di Pulau Erromango.
Sedikit John ketahui, kepulauan di Samudera Pasifik Selatan memang dipenuhi oleh suku-suku kanibal. Patrick Brantlinger dalam artikel ilmiahnya yang bertajuk "Missionaries and Cannibals in Nineteenth-century Fiji"(Jurnal History and Antrophology, 2006) menyebutnya dengan nama “Kepulauan Kanibal”.
Patrick turut menyinggung kisah John, yang saat kejadian didampingi oleh kawan misionaris James Harris. Keduanya tidak tahu bahwa seminggu sebelumnya terjadi pembunuhan terhadap penjual kayu cendana asal Australia di lokasi mereka mendarat.
Pelakunya adalah dua orang anak laki-laki kepala suku lokal. Tindakan keduanya membuat anggota suku lain bersikap agresif terhadap pendatang kulit putih lain.
John dan James seharusnya aman-aman saja jika menetap di pantai. Tapi John merasa perlu melanjutkan perjalanan ke dalam hutan. Ia ingin menjalin persahabatan dengan orang lokal—sebagaimana praktiknya di pulau-pulau asing lain—sebelum akhirnya diajak untuk memperdalam ajaran Kristiani.
John dan James melewati penanda yang dibuat orang lokal, yang kira-kira menyatakan barang siapa yang melampauinya akan langsung dibantai. Entah kedua misionaris memahami penanda tersebut atau tidak, hasilnya adalah serbuan dari prajurit suku lokal. John dan James dikejar hingga ke pantai, lalu dibunuh, dan mayatnya diseret ke pemukiman untuk jadi persembahan dalam ritual kanibalistik.
Kisah penyebab kematian John menjadi sensasi di Inggris dan negara lain. Ia dan James ditetapkan sebagai martir. Pulau Erromango pada akhirnya juga dijuluki sebagai “Pulau Martir”.
Dunia bergerak ke arah modernitas pada awal abad ke-20. Suku-suku di Kepulauan Fiji lambat laun membangun komunikasi dengan dunia luar. Mereka juga makin meninggalkan praktik kanibalisme, terutama setelah terbentuknya pemerintahan negara di kepulauan Samudera Pasifik Selatan.
Uniknya, satu dekade silam Suku Tolai menyatakan permintaan maaf karena pernah membunuh dan memakan empat misionaris Inggris yang datang ke Pulau New Britain pada tahun 1878.
Telegraph melaporkan kejadian tersebut diinisiasi oleh ketua suku, Taleli. Korbannya adalah Pendeta George Brown dan ketiga muridnya. George sebelumnya pindah ke Selandia Baru, menjalani misi ke Samoa, sebelum akhirnya pindah ke Papua Nugini bersama sang istri.
George tahu soal praktik kanibalisme di Papua Nugini. Tapi ia tetap kaget saat empat pegawainya menjadi korban. Ia kemudian menjalankan ekspedisi dalam rangka menghukum pelaku. Dengan berat hati ia memerintahkan anak buahnya untuk membakar beberapa desa tempat para pelaku tinggal. Sedikitnya 10 suku terbunuh akibat tindakan tersebut.
George kemudian mengklaim serangan tersebut membuat para pendatang asal Eropa lebih aman. Tapi ia kurang taktis dalam memperkirakan serangan balasan, yang pada akhirnya membunuh dirinya beserta tiga orang murid.
Terlepas dari siapa yang memulai konflik, pemimpin suku Tolai merasa menyesal atas kasus tersebut. Salah satu perwakilannya, Ratu Usoa Tikoca, berkata di atas podium agar apa yang terjadi di masa lalu bisa dimaafkan, dan berharap kejadian yang sama tidak terjadi lagi di masa depan.
Editor: Windu Jusuf