tirto.id - Suku Indian adalah orang-orang yang kalah di tanah leluhurnya sendiri. Pendatang kulit putih di Amerika Serikat mendesak kehidupan mereka dari berbagai lini. Pasukan militer pendatang menang dari segi persenjataan sampai kemampuan tempur, dan menjadi lini paling ampuh untuk usaha perluasan wilayah koloni.
Profesor sejarah di Western Illinois University, Peter Cole, menulis untuk Jacobin Magazine bahwa memasuki awal tahun 1880-an suku Indian dilanda kelaparan massal. Penyebabnya adalah pemusnahan sistematis bison oleh koloni kulit putih melalui perburuan besar-besaran.
Bison adalah sumber makanan utama suku Indian. Strategi pemusnahan yaitu adalah metode yang Cole sebut “sempurna”. Populasinya turun drastis dari jutaan menjadi ribuan, selaras dengan meningkatnya penderitaan rakyat Indian.
Musibah tersebut menimpa orang-orang Lakota yang terdiri dari tujuh suku. Mereka hidup damai di sepanjang wilayah pegunungan di North Dakota dan South Dakota. Koloni kulit putih kemudian datang, mengambil lahan warisan leluhur secara paksa, dan mengancam hidup mereka.
Jelang akhir 1890 muncul kabar desas-desus yang bersumber dari Wovoka, pendiri gerakan spiritual Tarian Hantu. Catatan Jack Wilson untuk PBS menyebutkan Wovoka mengaku telah mendapat wahyu bahwa juru selamat akan kembali ke Bumi dalam sosok seorang Suku Indian.
Juru selamat itu akan melenyapkan kolonialis kulit putih dari tanah mereka, memimpin massa menuju lahan yang subur, dan mengembalikan populasi bison serta hewan ternak di alam liar.
Juru selamat juga akan mengundang leluhur yang sudah meninggal untuk datang kembali ke bumi, dan suku Indian akan hidup damai lagi. Kepercayaan inilah yang melahirkan nama “Tarian Hantu” itu.
Wovoka menambahkan sang juru selamat akan datang dengan cara diundang memakai ritual Tarian Hantu. Tarian dilakukan secara acak, dalam diam, dan diiringi oleh pukulan drum yang lambat. Orang-orang Lakota segera mempraktikannya sebab melihat ada harapan besar di balik ritual.
Koloni AS menafsirkan tarian-tarian itu sebagai ritual pemanasan sebelum orang-orang Lakota menyerang mereka. Mereka kemudian mengirim tentara ke tempat tinggal salah satu pemimpin orang-orang Lakota dari suku Hunkpapa, Sitting Bull, dan mengamankannya.
Bull menolak, sehingga pasukan AS menggunakan jalan kekerasan. Suasana segera tegang sebab warga Hunkpapa tak terima pimpinannya disakiti. Hasilnya adalah kematian Bull yang terpapar timah panas di dada dan kepala. Ia meninggal pada 15 Desember 1890 di usia 58 tahun.
Warga suku Hunkpapa tidak kemudian langsung membalas dendam, tapi justru lebih takut dengan serangan susulan dengan skala yang lebih masif. Mereka kemudian migrasi ke Cheyenne River Indian Reservation untuk bergabung dengan kelompok Miniconjou yang dipimpin Spotted Elk alias Big Foot.
Masih dilanda perasaan tak aman, Spotted Elk, rombongannya, dan 38 orang Hunkpapa kemudian bermigrasi menuju Pine Ridge Indian Reservation untuk mencari perlindungan kepada Red Cloud. Red Cloud adalah salah satu pemimpin orang-orang Lakota yang paling dihormati sekaligus pejuang Indian paling diperhitungkan pasukan AS.
Herman Viola dalam bukunya Trail to Wounded Knee: The Last Stand of the Plains Indians 1860-1890 (National Geographic) (2004) mengatakan tragedi di Sungai Wounded Knee adalah puncak dari konflik antara koloni AS dan orang-orang Lakota selama berdekade-dekade sebelumnya.
Kronologinya berawal pada 28 Desember 1890 saat rombongan Miniconjou dan Hunkpapa dihentikan oleh Resimen Kavaleri ke-7 AS di kaki Gunung Porcupine Butte. Resimen menggiringnya ke area sungai kecil bernama Wounded Knee, sekitar 8 Km ke arah barat, dan meminta mereka untuk mendirikan perkemahan.
Sore harinya Kolonel James W. Forsyth dan sisa Resimen Kavaleri ke-7 datang ke lokasi. Sebanyak 300 lebih rombongan Indian ia koordinasikan untuk memusat. Sekelilingnya ada pasukan yang berjaga dengan empat senapan gunung M1875 yang mampu menumpahkan peluru secara otomatis dan dalam jumlah banyak secara terus menerus.
Keesokan harinya, pada 29 Desember 1890, Forsyth menyuruh rombongan untuk menyerahkan senjatanya. Rata-rata menurut. Namun ada sebagian yang menolak dan membuat suasana sedikit tegang.
Menurut arsip Britannica Encyclopaedia, seorang anggota suku senior bernama Yellow Bird di saat yang bersamaan mulai melakukan ritual Tarian Hantu. Ia ingin melindungi anggota suku lain secara spiritual. Di sisi lain, tarian tersebut membuat tensi semakin panas.
Puncaknya adalah saat seorang anggota rombongan bernama Black Coyote menolak memberikan senjatanya. Penyebabnya ia tuna rungu dan tidak memahami perintah, tapi bagi pasukan AS diartikan sebagai tindakan tidak patuh.
Seorang Indian lain yang bisa bahasa Inggris berkata kepada pasukan soal kondisi Black Coyote, plus Coyote memang tidak tahu bahasa Inggris. Dua anggota pasukan mencoba mengambil senapan Coyote dari belakang, tapi Coyote berontak. Pada saat yang bersamaan Yellow Bird masih menjalankan ritual Tarian Hantu.
Ada dua versi cerita. Pertama, perkelahian Coyote dan pasukan AS membuat senjatanya meletus, dan dianggap pasukan AS sebagai serangan yang sah untuk dilawan. Kedua, beberapa pemuda Indian menyerang pertama kali dengan memakai senjata yang belum diserahkan dan disembunyikan di balik selimut.
Respons pasukan AS jauh lebih brutal, terutama dengan pemakaian senapan gunung M1875. Senapan ini punya mobilitas tinggi sebab dilengkapi roda, layaknya meriam. Pelurunya bisa dimuntahkan secara beruntun sehingga mampu memakan korban banyak dalam waktu yang singkat.
Pembantaian Indian di Sungai Wounded Knee juga berlangsung tidak sampai satu jam. Peluru menghantam siapa saja: tua-muda, lelaki-perempuan, dewasa-anak-anak. Ada yang tetap kena tembakan saat mencoba melarikan diri atau berlindung ke dalam tenda.
Angka korban bervariasi. Minimal ada 150 Indian yang meninggal dan 50 lainnya luka-luka. Sejarawan lain ada yang menyebut 300 orang meninggal, mengingat jumlah total rombongan ada 350-an orang.
Pasukan AS yang meninggal sejumlah 25 orang dan hampir 40 lainnya terluka. Konon pasukan AS yang meninggal juga banyak yang akibat kena peluru yang dimuntahkan secara membabi-buta oleh senapan gunung.
Peter Cole menulis peristiwa pembantaian di Wounded Knee sebagai salah satu pertempuran terakhir koloni AS melawan kelompok suku Indian. Pertempuran yang telah berlangsung selama berabad-abad dan naik tensinya usai perang sipil AS berakhir.
Setelah perang pemerintah AS langsung menggalakkan proyek infrastruktur, terutama jalur kereta lintas negara bagian. Proyek tersebut memancing konflik lahan dengan suku-suku Indian. Suku-suku Indian melawan, tapi kalah dari banyak segi: teknologi, senjata, militer, hingga kapital.
Pembantaian di Wounded Knee juga cuma satu dari sekian jejak berdarah pemerintah AS dalam sejarah pembentukan negaranya. Namun baru pada 1990, tepat 100 tahun kemudian, Kongres AS mengeluarkan resolusi resmi yang menyatakan “penyesalan mendalam” atas pembantaian di Wounded Knee.
Editor: Suhendra