tirto.id - Dalam acara pemberian penghargaan bagi para suku Navajo yang ikut dalam Perang Dunia II, Donald Trump lagi-lagi mengeluarkan pernyataan yang membuat orang yakin: Presiden Amerika Serikat ini memang rasis.
Ia memang menyebut para anggota suku Navajo yang menjadi pasukan sandi sebagai, "orang-orang yang amat istimewa." Tapi pujian itu tak lama. Awalnya ia bilang bahwa orang-orang Indian itu sudah tinggal di Amerika jauh sebelum kedatangan, "kami semua di ruangan ini."
"Walaupun kami semua punya perwakilan di Kongres, yang disebut sudah ada sejak lama. Mereka memanggilnya Pocahontas," kata Trump.
Perwakilan di Kongres yang ia maksud sebagai Pocahontas adalah Elizabeth Warren, senator dari Massachusetts dan Partai Demokrat yang paling kritis dalam menentang Trump. Warren pada 2012 silam pernah mengatakan dirinya punya sedikit darah keturunan Cherokee.
Beberapa laporan kemudian menulis bahwa Warren hanya punya 1/32 darah Cherokee, tak cukup untuk menyebutnya sebagai anggota suku Cherokee. Beberapa orang menuduh Warren menggunakan klaim itu untuk keuntungan pribadinya
Baca juga:Trump Dikecam Karena Pilih Tokoh Rasis Jadi Penasihatnya
Sejak saat itu, Trump sering mengolok Warren berdasar prasangka ras—sama seperti olokannya pada Barack Obama. Di Twitter, setidaknya 12 kali Trump menyebut Warren sebagai Pocahontas. Misalkan di cuitan tertanggal 12 Juni 2016.
"Elizabeth Warren yang dungu itu, kadang disebut sebagai Pocahontas, berpura-pura menjadi suku Amerika Asli untuk keuntungan kariernya. Sangat rasis!"
Atau pada 3 November 2017, saat Warren mulai disebut akan maju sebagai calon Presiden 2020 kelak. "Pocahontas baru saja menyatakan bahwa Demokrat, dipimpin oleh pembohong legendaris Hillary Clinton, sudah mulai ancang-ancang kampanye! Ayo bertindak, FBI dan Departemen Hukum!"
Warren sendiri mengatakan sedikit kesal Trump masih saja berlaku rasis, bahkan di depan para veteran dari Navajo. "Rasanya sangat disesalkan, Presiden Amerika Serikat tidak bisa menjalani upacara penghormatan bagi pahlawan ini tanpa melemparkan ocehan rasial," ujar Warren.
Siapa Pocahontas Itu?
Bagi yang mengira Pocahontas adalah karakter fiksi dari film kartun berjudul sama keluaran Walt Disney pada 1995: kamu salah. Pocahontas bukan karakter fiksi, meski itu bukan nama sebenarnya.
Ia terlahir dengan nama Matoaka, atau Amonute. Ia diperkirakan lahir pada 1596. Matoaka adalah anak perempuan kesayangan Powhatan, Kepala Suku Tertinggi (paramount chief) kelompok suku Amerika Asli Tsenacommaca yang beranggotakan sekitar 32 suku lain, dan berjumlah sekitar 15 ribu orang. Suku ini menempati kawasan Virginia, yang kemudian kedatangan koloni imigran Inggris pertama pada 1607—koloni ini kelak bernama Jamestown.
Pada 1607, salah satu pemimpin di Jamestown bernama John Smith ditangkap oleh Opchanacanough yang sedang berburu. Smith kemudian mengatakan pada 1624 bahwa Matoaka menyelamatkannya, dan meminta agar ayahnya tak membunuh Smith.
Tapi kisah ini sendiri diragukan oleh banyak sejarawan. Para ahli sejarah beranggapan kisah penyelamatan itu tidak pernah ada, atau setidaknya tak sesuai dengan gambaran Smith. Bahkan, mereka beranggapan bahwa Smith salah sangka. Yang sebenarnya terjadi adalah Powhatan mencoba mengadopsi Smith melalui ritual eksekusi bohongan.
Setelah ritual itu selesai—yang dianggap oleh Smith sebagai eksekusi yang batal—Powhatan menawarkan Smith posisi wakil kepala suku di sebuah permukiman Capahosic. Dan sang kepala suku yang digambarkan oleh Smith sebagai lelaki tinggi dan gagah meski usianya sudah 60, berjanji akan mengirimkan bantuan makanan dan apapun yang mereka butuhkan.
Baca juga: Bisnis Asing Caplok, Kolonialisme Gaya Baru di Afrika
Namun, para imigran Inggris ini malah berlaku kurang ajar. Misalkan setahun kemudian, para kolonialis ini mengeksplor daerah Chesapeake Bay tanpa seizin Powhatan. Puncaknya, pada April 1613, Kapten Samuel Argall, salah satu pemimpin di Jamestown, menculik Matoaka. Mereka menuntut suku di bawah Powhatan menyerahkan semua senjata.
Dalam penculikan itu, Matoaka kemudian dipaksa untuk masuk agama Kristen. Ia pun diberikan nama baru, Rebecca. Di sana, Matoaka bertemu dengan John Rolfe, seorang petani tembakau saleh. Mereka jatuh cinta, dan memutuskan untuk menikah.
Pernikahan mereka direstui oleh Powhatan, dan turut membantu mengakhiri pertikaian antara Tsenacommaca dan koloni Inggris di Virginia. Pernikahan ini mengubah banyak hal dalam diri Pocahontas.
Perusahaan Virginia Company of London menyaksikan pernikahan ini dari kacamata bisnis dan agama. Matoaka dianggap sebagai "keberhasilan" orang Inggris mengubah orang "barbar" menjadi orang beragama.
Mereka pun memboyong Matoaka ke Inggris, sebagai simbol bahwa para orang Inggris berhasil menjinakkan "kebuasan" Dunia Baru dan bukti kesuksesan koloni Jamestown. Matoaka menjadi idola baru di Inggris. Ia beberapa kali menghadiri acara perjamuan, dan disebut sebagai ratu kerajaan Powhatan.
Baca juga:Jejak Diaspora Arab di Amerika Latin
Pada 1617, Matoaka dan Rofle berlayar kembali ke Virginia. Dalam perjalanan, Matoaka jatuh sakit. Pelayaran mereka hanya sampai di kawasan Gravesend, di sungai Thames. Matoaka, alias Pocahontas, meninggal dunia di Gravesend. Usianya diperkirakan 21. Penyebab kematiannya tak pernah diketahui, tapi teorinya berkisar antara penyakit pneumonia, cacar, tuberkulosis, hingga diracuni. Matoaka meninggalkan Rolfe beserta satu anak, Thomas Rolfe.
Meski sudah meninggal, imaji Matoaka terus direproduksi, terutama oleh dunia barat. Dalam buku Travels in the United States of America (1833), disebut Pocahontas memiliki hubungan asmara dengan Smith, padahal mereka hanya berkawan. Kisah ini yang kemudian terus diulang-ulang, termasuk dalam berbagai film.
Matoaka kemudian kerap dijadikan simbol "keberhasilan menaklukkan suku Amerika Asli". Tapi yang kerap dilupakan, Matoaka adalah simbol kebaikan suku Bumiputra Amerika terhadap pendatang. Mereka menyambut kedatangan para imigran dengan tangan terbuka, hingga kemudian para imigran itu beralih menjadi penjajah dan menyebabkan perlawanan sengit.
Sejarah Matoaka harusnya mengajarkan Trump, bahwa tanah yang dijejak olehnya, juga dipimpin olehnya, adalah tanah yang berkembang berkat kebaikan para suku Amerika Asli dan keuletan para imigran. Mungkin jika Trump belajar ini, ia bisa mengurangi kadar rasis dalam dirinya.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani