Menuju konten utama

Nakes di Sulbar Korban Anyar Dugaan Salah Tangkap oleh Polisi

Seorang Kepala Puskesmas di Sulawesi Barat diduga jadi korban salah tangkap polisi saat eksekusi lahan. Ia alami luka parah dan kini dirawat di ICU.

Nakes di Sulbar Korban Anyar Dugaan Salah Tangkap oleh Polisi
Ilustrasi HL Indepth Salah Tangkap Kasus Kasus

tirto.id - Berawal dari proses eksekusi lahan yang dilakukan aparat kepolisian di Dusun Palludai, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, berujung kericuhan dan menimbulkan adu fisik antara polisi dan masyarakat setempat. Salah satu orang yang menjadi korban adalah Jamaluddin, Kepala Puskesmas Alu.

Kapolres Polewali Mandar, AKBP Anjar Purwoko, mengakui bahwa pihaknya menangkap Jamaluddin saat proses eksekusi lahan berlangsung. Anjar mengeklaim bahwa Jamaluddin berada di tengah kerumunan massa yang menolak proses eksekusi yang dilakukan polisi.

Diketahui bahwa Jamaluddin merupakan menantu dari Rumdam, salah satu pihak yang masuk dalam objek perkara dan disebut lahannya akan disita oleh pemerintah.

“Demi mencegah tindakan yang dapat mengganggu proses eksekusi, serta melihat posisinya berada dalam kerumunan massa yang mulai tidak terkendali, kami terlebih dahulu mengamankan yang bersangkutan,” kata Anjar dalam keterangan pers, Kamis (10/7/2025).

Meski mengakui telah melakukan penangkapan terhadap Jamaluddin, Anjar membantah kalau anak buahnya telah melakukan penganiayaan yang menyebabkan korban terluka. Ia mengatakan adanya sejumlah warga yang melakukan pemukulan terhadap Jamaluddin. Menurutnya, pemukulan tersebut terjadi karena eskalasi konflik semakin panas dan kepolisian telah melakukan pengamanan termasuk dengan membawa Jamaluddin ke rumah sakit.

Sementara pihak keluarga menduga Jamaluddin adalah korban salah tangkap oleh aparat. Keberadaannya di lokasi kericuhan karena rumahnya memang berada di situ, mengutip laporan Kompas.com.

Dalam dugaan kejadian salah tangkap tersebut, Jamaluddin mengalami luka serius di bagian kepala dan dinyatakan menderita pendarahan otak akibat pukulan benda tumpul. Saat ini, Jamaluddin masih dirawat secara intensif di ruang ICU RSUD Hajja Andi Depu, Polewali Mandar.

Saat ini, Polres Polewali Mandar telah membentuk tim khusus yang bertugas untuk mengungkap dugaan kasus salah tangkap ini. Satgas yang beranggotakan dari Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) telah mengidentifikasi empat terduga pelaku, masing-masing berinisial MI, N, MR, dan MB.

Dari keempat tersangka diamankan sejumlah barang bukti yang diduga berkaitan dengan kericuhan di lokasi eksekusi, antara lain: 20 botol kaca bening, enam botol kaca hijau, enam botol kaca coklat, dua jeriken (biru dan abu-abu) masing-masing berkapasitas 30 liter, dua ban motor bekas, kawat ban, hingga pecahan botol molotov.

Empat tersangka itu dijerat dengan Pasal 170 Ayat (2) ke-2e subsider Pasal 351 Ayat (2) KUHP tentang penganiayaan secara bersama-sama, dengan ancaman hukuman hingga lima tahun penjara. AKBP Anjar meminta masyarakat untuk menahan diri sembari menunggu proses penyelidikan selesai.

“Kami pastikan semua proses penegakan hukum dilakukan sesuai prosedur. Kami juga mengimbau seluruh warga untuk menahan diri, tidak terprovokasi, dan apabila merasa belum mendapatkan keadilan, silakan tempuh jalur hukum,” kata dia.

Tuntut Keadilan Meski Polisi Berdalihkan Pengamanan

Kejadian salah tangkap yang dialami oleh Jamaluddin menuai perhatian dari Wakil Gubernur Sulawesi Barat, Salim S Mengga. Ia meminta publik untuk tidak terprovokasi dalam proses eksekusi lahan, karena menurutnya polisi hanya menjalankan perintah pengadilan.

Dia juga mengimbau masyarakat untuk memahami tugas polisi tersebut sehingga menghindari aksi kekerasan yang merugikan semua pihak.

"Kita boleh tidak puas, tetapi hindari aksi-aksi kekerasan yang pada akhirnya merugikan semua pihak," kata Salim pada Minggu (6/7/2025).

Dia juga meminta aksi eksekusi yang dilakukan polisi tersebut harus dievaluasi. Menurutnya, tanpa perlu kekerasan, eksekusi lahan masih bisa jalan dengan tawaran perdamaian.

"Ke depan kita harus evaluasi di dalam setiap melaksanakan kegiatan eksekusi, harus melalui upaya investigasi, kemudian melakukan tawaran perdamaian," kata dia.

Ilustrasi HL Indepth Salah Tangkap

Ilustrasi HL Indepth Salah Tangkap Tuntutan Korban

Ketua umum DPP PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia), Harif Fadhillah, mengungkapkan bahwa Jamaluddin merupakan anggotanya dan saat ini menjabat sebagai ketua PPNI Polewali Mandar. Meski kasus tersebut di luar ranah medis atau keperawatan, namun pihaknya masih memberi atensi sebagai bentuk solidaritas, terlebih ada dugaan salah tangkap yang dilakukan aparat kepolisian kepada Jamaluddin.

"Secara organisasi kami memberikan support kepada yang bersangkutan dan keluarga, dan apabila itu dirasa salah tangkap kami mendorong keluarga untuk membawa ke proses hukum dengan mengadukannya ke Polda atau tindakan lainnya," kata dia.

Polisi Sering Salah Tangkap: Kelalaian Atau Kesengajaan?

Saban tahun, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) selalu merilis kasus kekerasan dan aksi salah tangkap yang dilakukan oleh kepolisian.

Pada periode Juli 2024-Juni 2025, KontraS mencatat 44 peristiwa salah tangkap yang menyebabkan 35 orang terluka dan delapan orang meninggal dunia. Angkanya naik cukup banyak dibanding periode yang sama setahun sebelumnya. Catatan KontraS antara Juli 2023-Juni 2024 ada 15 peristiwa salah tangkap oleh kepolisian.

Selain itu, Hasil monitoring KontraS mencatat bahwa dalam rentang Juli 2024 hingga Juni 2025 terdapat 89 pelanggaran terhadap kebebasan sipil dalam beragam bentuk. Secara khusus, dalam rentang masa yang sama telah terjadi 42 peristiwa pembubaran paksa aksi unjuk rasa yang menyebar di pelbagai wilayah di Indonesia.

Salah satu kasus salah tangkap oleh polisi yang masih hangat di ingatan adalah penangkapan Pegi Setiawan. Dia diduga menjadi tersangka atas kasus pembunuhan Vina dan Eky di Cirebon. Pegi bersama pengacaranya mengajukan praperadilan di Pengadilan Negeri Bandung dan dikabulkan serta menghapuskan statusnya sebagai tersangka.

Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, mengungkapkan ada sejumlah faktor yang menyebabkan kasus salah tangkap terus berulang. Salah satu penyebabnya adalah indikasi polisi terjebak dalam konflik kepentingan sehingga berpihak pada salah satu pihak, ini terjadi dalam konflik sengketa lahan yang melibatkan korporasi.

"Selain itu munculnya arogansi personel di lapangan yg tersulut emosi menghadapi kekerasan baik verbal maupun fisik di lapangan," kata Bambang, saat dihubungi Tirto, Senin (14/7/2025).

Dia mengatakan kepolisian melalui para Kepala Satgas di masing-masing satuan untuk lebih jeli dan teliti dalam mengawasi anak buahnya. Sehingga kasus salah tangkap ini tak terulang dan mencederai marwah Korps Bhayangkara.

Dia juga menekankan pentingnya pengenaan sanksi ke para anggota kepolisian yang melakukan salah tangkap.

"Bila tidak ada sanksi, dampaknya arogansi-arogansi dan kekerasan itu akan terus terulang karena tidak ada efek jera," kata Bambang.

Meski kerap disebut "salah tangkap", namun tak sedikit dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sengaja. Bambang menyebut hal itu dilakukan sebagai bagian dari intimidasi kepada seluruh pihak yang berseberangan dengan kepentingan polisi.

"Ada yang kesengajaan, sebagai alat intimidatif kepada pihak-pihak yang berseberangan dengan kepentingan kepolisian," katanya.

Bambang juga menyebut sebagian besar dari aksi salah tangkap terjadi karena kelalaian polisi. Menurutnya hal itu diakibatkan oleh buruknya kualitas sumber daya manusia di internal Polri. "Lebih mengutamakan kesaksian daripada bukti-bukti materiil maupun formil," katanya terkait aksi sebab munculnya beragam kasus kelalaian oleh polisi itu.

Muncul dan berulangn kasus salah tangkap membuat penting untuk segeranya ada perbaikan. Lewat regulasi, revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diharapkan bisa jadi salah satu jalannya.

Anggota Komisi III DPR RI, Hinca Panjaitan, menjelaskan salah satu poin revisi mendukung hal ini. Penegak hukum nantinya dituntut harus mengumpulkan alat bukti yang mumpuni sebelum menahan pelaku tindak pidana.

Hinca menambahkan bahwa dalam KUHAP nantinya, penyidik akan dikenai batas waktu pemeriksaan tersangka. Hal itu dilakukan agar tidak mengulur waktu dalam proses pencarian bukti perkara dan tidak melanggar HAM bagi tersangka.

Baca juga artikel terkait KASUS SALAH TANGKAP atau tulisan lainnya dari Irfan Amin

tirto.id - News Plus
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Alfons Yoshio Hartanto