tirto.id - Perjalanan musik pop di Indonesia punya riwayat sejarah panjang. Di era kiwari, musik pop Indonesia begitu modern dan dinamis. Menggambarkan antusiasme anak-anak muda yang berpikiran terbuka.
Kelompok GAC (Gamaliel Audrey Cantika) adalah contoh pertama yang dapat dibahas. Trio yang eksis sejak 2009 ini membawakan musik R&B segar yang termaktub dalam dua album terakhir mereka, STRONGER (2015) dan RESONANCE (2018). Aransemen musik yang matang, pembagian vokal yang jelas, serta lirik yang proporsional—tak kelewat klise—jadi senjata mereka dan bisa disimak di nomor-nomor macam “I Want You”, “Love Saves”, dan “Satu”.
Nama berikutnya ialah Rendy Pandugo. Lewat The Journey, album yang ia bikin pada 2017, Rendy seperti ingin membuktikan pada publik bahwa penyanyi bergitar masih punya taji. Sepintas, Rendy mengingatkan saya pada sosok Adhitya Sofyan. Bedanya, musik Rendy lebih punya sensibilitas terhadap pasar tanpa harus mengorbankan visi kreatifnya. Lagu “7 Days”, misalnya, merupakan gambaran terbaik dari kemampuan itu.
Yura Yunita juga muncul mencuri perhatian khalayak. Karakter vokal Yura mirip dengan Vina Panduwinata, terlebih di album Merakit (2018), yang secara musikalitas menonjolkan jazz, pop, dan alunan string yang lincah. Dua lagu berjudul “Takkan Apa” dan “Apakah Kamu” layak didaulat sebagai contoh terbaik dari album ini.
Bila Yura masih malu-malu menyelipkan nafas jazz dalam karyanya, tidak demikian dengan Ardhito Pramono. Penyanyi muda ini datang dengan mini album yang kental sekali nuansa broadway jazz-nya: a letter to my 17 year old (2019). Nomor-nomor seperti “say hello”, “bitterlove”, hingga “superstar” dinyanyikan secara sendu.
Sementara Teddy Adhitya semakin menambah panjang daftar penyanyi yang memainkan ragam R&B. Album Nothing Is Real yang dibuatnya pada 2017 menjadi debut yang meyakinkan, dengan track jagoan seperti “Suddenly, It’s Alright”, “Won’t Hurt You Tonight”, maupun “In Your Wonderland”.
Membicarakan perkembangan musik pop era kiwari tak lengkap apabila absen menyebut Dipha Barus. Komposer dan DJ ini punya andil cukup signifikan dalam mengenalkan wajah“pop baru” Indonesia, dengan kolaborasi yang ia garap bersama dengan banyak penyanyi.
Di nomor “You Move Me” contohnya, Dipha berduet dengan Monica Karina. Lalu, bersama Raisa, Dipha membikin “Mine (Day), “Mine (Night)”, dan “My Kind of Crazy”. Sementara “Made in Jakarta” merupakan proyek bersamanya dengan Adrian Khalif. Yang paling populer tentu “All Good”, yang dibawakan bersama Nadin Amizah dan sudah diputar lebih dari 15 juta kali di Spotify.
Sentuhan Dipha memberikan aroma pop yang menyenangkan sekaligus memancing geliat goyang di lantai dansa. Musiknya berhasil menangkap perkembangan zaman di mana pop tak sekadar berdiri sebagai entitas tunggal, melainkan melebur dengan warna lain macam dance, hip hop, dan R&B.
Di luar nama-nama di atas, masih ada Tulus, Rizky Febian, Kunto Aji, Sheryl Sheinafia, Isyana Sarasvati, Afgan, Petra Sihombing, hingga Stephanie Poetri yang lagunya, “I Love You 3000”, sempat jadi trending dan sampai sekarang telah diputar lebih dari 25 juta kali.
Internet Mengubah Segalanya
Gebrakan musik pop di Indonesia bisa dibilang amat terbantu oleh internet. Pertama, ia memudahkan musisi pop untuk melebarkan preferensi musiknya. Lewat internet, para penyanyi ini punya segudang sumber inspirasi dari banyak musisi yang tersebar di seluruh dunia. Walhasil, terciptalah transfer ide dalam skala yang cukup masif.
Contohnya sederhana. Musik pop yang dibalut R&B dalam album RESONANCE garapan GAC atau Nothing Is Real milik Teddy Adhitya banyak terpengaruh sound yang biasa muncul di scene pop AS—yang dinyanyikan oleh Usher, Alicia Keys, Chris Brown, Beyonce, maupun John Legend.
Perubahan tak sekadar muncul dalam aspek musikalitas, melainkan juga pada penulisan lirik. Sekarang, penyanyi-penyanyi pop Indonesia cenderung lebih berani dalam mengekspresikan isi pikirannya lewat bahasa Inggris. Terlepas dari apa motif yang sebenarnya, pemilihan lirik dengan bahasa Inggris setidaknya memperlihatkan keinginan para penyanyi ini untuk memperluas jangkauan karyanya hingga tataran global.
Yang menarik, sekalipun beberapa ada yang terikat pada kepentingan label besar, para penyanyi ini menggunakan pendekatan ala musisi independen dalam menjual karyanya. Memanfaatkan secara maksimal layanan streaming seperti Spotify dan membikin gimmick maupun video klip sekreatif mungkin sebelum nantinya diunggah ke media sosial macam Instagram hingga YouTube.
Apa yang ditempuh para musisi pop tersebut menjadi respons atas masih tak jelasnya penjualan fisik di masa sekarang—dan mendatang. Dalam “How Are Young Music Artists Configuring Their Media and Sales Platforms in the Digital Age?” yang terbit di Journal Marketing of Management (2015), Mark Leenders, Mark Ferrell, dan Koos Zwaan menjelaskan bahwa di era yang serba digital ini, media sosial merupakan senjata utama para musisi—khususnya dari kelompok usia muda—dalam mempromosikan karya mereka sekaligus ruang untuk merengkuh segmen pasar yang lebih lebar.
Internet membikin musisi memperoleh kebebasan yang besar. Baik kebebasan menentukan visi kreatifnya maupun kebebasan untuk menjual karyanya ke publik. Internet memudahkan para musisi pop untuk meramu karyanya dan di saat bersamaan mendorong mereka untuk lebih kompetitif di tengah belantara industri yang—terkadang—liar dan tak punya pijakan masa depan yang pasti. Dan, setidaknya, sejauh ini, musisi pop Indonesia sudah berhasil melakukannya.
Editor: Nuran Wibisono