tirto.id - “Mengapa kita menolak reklamasi? Karena memberikan dampak buruk kepada nelayan kita dan memberikan dampak pada pengelolaan lingkungan.”
Anies Baswedan mengatakan itu pada debat putaran kedua di Hotel Bidakara, Jakarta, 12 April 2017. Menolak reklamasi menjadi salah satu janji utamanya pada Pilkada DKI Jakarta. Terbukti, Anies berhasil mengalahkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam perhelatan politik daerah paling terpecah-belah, yang eksesnya masih terbawa sampai sekarang.
Khalil Charliem, nelayan Muara Angke di Jakarta Utara, mengingat ucapan manis Anies itu dengan rasa masygul. September 2018 di kampungnya, ia bertemu Anies. Saat itu Anies bilang, “Pak Khalil, kita stop. Reklamasi kita hentikan.”
Khalil tentu girang. Rumahnya berhadapan langsung dengan Pulau G—atau diubah namanya oleh Anies menjadi Kawasan Pantai Bersama. Sejak kehadiran pulau yang dibangun oleh PT Muara Wisesa Samudra, anak usaha PT Agung Podomoro Land, itu hidupnya menjadi sulit. Perahunya tak bisa langsung ke laut lepas.
Namun, kini Anies justru memberikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di Pulau D—atau Kawasan Pantai Maju, yang dibangun oleh PT Kapuk Naga Indah, anak usaha Agung Sedayu Group milik Sugianto Kusuma alias Aguan. Segel di Pulau G juga sudah dicabut.
Beberapa bulan terakhir, ujar Khalik, terlihat pembangunan breakwater atau batu pemecah gelombang di lepas pantai. Khalil berkata pembangunan Pulau G sudah berjalan kembali.
Inkonsisteni Anies terhadap Pulau Reklamasi
Sebulan setelah berjanji menghentikan reklamasi, pada 15 Mei 2017 atau setelah dia memenangkan Pilkada Jakarta, Anies mengatakan akan tetap memanfaatkan pulau reklamasi yang terlanjur dibangun untuk "kepentingan publik".
“Intinya adalah fasilitas publik itu sesuatu yang bisa bermanfaat untuk orang banyak dan dimanfaatkan, pengelolaannya bisa oleh pemerintah, oleh macam-macam (swasta), tapi intinya bermanfaat untuk publik," ujarnya.
Janji itu kemudian masih linier dengan kebijakannya menyegel 932 bangunan di Pulau D dan menutup Pulau C dan D pada 7 Juni 2018.
Pada 26 September 2018, Anies menegaskan reklamasi dihentikan. Izin bagi 13 pulau reklamasi dicabut dan pengurukan tidak dilanjutkan. Satu janji kampanye Anies lunas. Saat itu pula ia sempat menemui warga nelayan Muara Angke, termasuk Khalil.
"Nanti akan dibentuk badan-badan yang diharuskan oleh Keppres nomor 52 tahun 1995 dan juga oleh Perda yang menyangkut reklamasi, kami akan menjalankan sesuai dengan aturan,” tegas Anies.
Namun, selang dua bulan, lewat Pergub 120 pada November 2018, Anies menunjuk PT Jakarta Propertindo alias Jakpro untuk mengelola kawasan reklamasi. "Kami menugaskan kepada salah satu BUMD, yaitu Jakpro, untuk mengelola lahan yang nanti akan digunakan."
Hanya berselang tiga hari setelahnya, ia membuat kebijakan dengan mengubah nama ketiga pulau.
"Pulau C menjadi Kawasan Pantai Kita, Pulau D menjadi Kawasan Pantai Maju, Pulau G menjadi Kawasan Pantai Bersama,” ujar Anies.
Puncaknya, pada 12 Juni 2019, Anies diketahui memberikan IMB kepada 932 bangunan di Kawasan Pantai Maju, yang sebelumnya ia segel lantaran tak memiliki IMB.
“IMB ini bukan soal reklamasi jalan atau berhenti, tetapi IMB adalah soal izin pemanfaatan lahan hasil reklamasi dengan cara mendirikan bangunan. Dikeluarkan atau tidak IMB, kegiatan reklamasi telah dihentikan. Jadi, IMB dan reklamasi adalah dua hal berbeda," kilah Anies pada keterangan tertulis, 13 Juni 2019.
Anies memang tidak keliru. Reklamasi tidak dilanjutkan di 13 pulau. Kegiatan pengurukan dihentikan. Meski demikian, publik kadung percaya bahwa penghentian reklamasi adalah penghentian total bagi keseluruhan pengurukan dan pembangunan di atas lahan reklamasi.
'Alasan yang Mengada-ada'
Realistis, ketaatan prinsip good governance dan mengembalikan kepercayaan dunia usaha. Demikian argumen Anies atas penerbitan sertifikat IMB untuk 932 bangunan di Pulau D.
Sejumlah kelompok lingkungan, termasuk Walhi, menilai alasan Anies itu mengada-ada. Argumen Anies justru bisa membawa pengelolaan lingkungan kawasan utara Jakarta ke arah yang kabur.
Walhi mempertanyakan apakah Gubernur Anies melakukan kajian terlebih dulu.
Kajian Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta menyebut ada sejumlah ancaman jika pembangunan di atas lahan hasil reklamasi terus dilakukan. Misalnya, pada Kawasan Pantai Kita (Pulau C) dan Kawasan Pantai Maju (Pulau D), dua pulau yang dibangun oleh Agung Sedayu Group.
Kajian yang tidak dikembangkan Pemprov Jakarta antara lain temuan soal kedua pulau itu akan berdampak pada penurunan kualitas air laut, pemulihan ekosistem, dan nirmanfaat bahkan jadi beban pemerintahan Jakarta.
Sementara ada kajian yang bahkan dihilangkan seperti dampak lanjutan dari pembuangan material ke dumping site, serta biaya tinggi pembangunan.
Walhi menyebut ada ancaman likuefaksi, mirip terjadi di Palu pasca-gempa, jika pembangunan di kawasan reklamasi dilanjutkan.
Elisa Sutanudjaja, Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies, merekomendasikan lebih berani: pemerintah Jakarta membongkar keseluruhan pulau kendati bisa menelan biaya besar.
“Tapi saya juga memahami (walau saya tidak setuju) sudut pandang pemerintah bahwa sudah keburu [ada] 900 [gedung] terbangun,” tulis Elisa di blognya.
Dalih Anies: 'Dunia usaha akan kehilangan kepercayaan'
Menanggapi kritik itu, Anies, yang lagi-lagi menjawab melalui siaran pers, menjelaskan jika dia mencabut Pergub 206/2016 yang diteken Ahok, yang dipakai dia sebagai landasan hukum penerbitan IMB, maka yang hilang bukan saja bangunan melainkan kepastian hukum.
“Bayangkan jika kegiatan usaha yang telah dikerjakan sesuai peraturan yang berlaku pada saat itu bisa divonis jadi kesalahan, bahkan dikenai sanksi dan dibongkar karena perubahan kebijakan pada masa berikutnya," tulis Anies.
"Bila itu dilakukan, masyarakat, khususnya dunia usaha, akan kehilangan kepercayaan pada gubernur dan hukum,” jelasnya.
Elisa berkata seharusnya Anies bisa melakukan langkah merevisi Pergub 206, bukan justru memakainya, sembari menunggu peraturan daerah yang lebih kuat rampung. “Dia punya kewenangan itu. Tidak aneh untuk merevisi,” katanya.
Namun, Anies bersikukuh perubahan kebijakan itu tidak boleh berlaku surut dan IMB tetap diterbitkan untuk bangunan yang sudah berdiri.
"Konsekuensi menunggu Perda memang lama,” kilah Anies dalam keterangan tertulis.
Landasan argumen Anies: ada sekitar lima persen lahan yang sudah dimanfaatkan. Masih ada 95 persen lahan yang belum dibangun. Meski seharusnya opsi untuk tidak dilanjutkan menjadi lebih murah, Anies memilih menerbitkan IMB.
Direktur Eksekutif Walhi Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi berkata Pergub 206/2016 bukanlah kewajiban yang harus dilakukan pemerintahan Anies.
“Ada pilihan untuk tidak melakukannya,” katanya.
Namun, IMB sudah kadung terbit. Untuk mencabutnya, harus lewat konstitusi dengan melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, yang bisa memakan waktu lebih lama.
Sementara itu, pembangunan di Pulau D terus berlanjut. Penjualan unit terus dilakukan. Dan pembangunan di Pulau G perlahan terlihat.
Kawasan reklamasi di kedua pulau itu diam-diam tetap bertumbuh di Teluk Jakarta. Sementara Khalil memandangnya di pinggir pantai, yang kini tak berombak lagi.
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam