tirto.id - Usai mengumumkan akan meneruskan pembangunan di atas lahan reklamasi yang sudah telanjur dibangun dan menamakan ulang ketiga pulau, Gubernur Anies Baswedan menunjuk PT Jakarta Propertindo (JakPro) untuk mengelolanya.
Penunjukan JakPro diatur dalam Pergub 120/2018. Menurut Anies setelah merilis Pergub ini, 65 persen lahan reklamasi akan dikelola Jakpro, sedangkan 35 persen lainnya dikelola oleh pengembang. Jakpro juga mendapatkan 5 persen lahan kontribusi dari total luas lahan hak pengelolaan (HPL) pulau reklamasi.
Hanief Arie Setianto, Direktur Pengembangan Bisnis JakPro, menilai pembangunan ini masih bagian dari janji kampanye Anies Baswedan untuk menghentikan reklamasi.
“Harus dibedakan antara reklamasi dan pemanfaatan lahan hasil reklamasi. Reklamasi sudah jelas dihentikan: 13 pulau sudah berhenti pengurukannya. Ini bagian dari memanfaatkan lahan yang sudah dibangun,” ujar Hanief kepada Tirto, Rabu kemarin.
Mantan ketua tim pembantu Anies atau Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) DKI Jakarta ini menambahkan tidak akan menutup kemungkinan pemerintahan Anies melanjutkan pembangunan di kedua pulau lain, yakni Pulau C dan G.
Pulau C (Pantai Kita) dan D (Pantau Maju) dibangun oleh anak usaha Agung Sedayu Group, sementara Pulau G (Pantai Bersama) dibangun oleh Agung Podomoro Land.
Berikut wawancara dengan Hanief di bilangan Sarinah, Thamrin, yang menjelaskan peran JakPro mengelola pulau reklamasi.
Penunjukan Jakpro sudah tertuang dalam Pergub 120/2018. Bagaimana rencana Jakpro mengelola pulau C, D dan G?
Yang ditugaskan kepada kita sesuai Pergub ada dua. Satu, pengelolaan lahan kontribusi [5 persen]; kedua, kerja sama pengelolaan prasarana, sarana utilitas [65 persen]. Kami membuat perencanaan dalam koridor itu, tentu.
Apa saja prasarana, sarana, dan utilitas itu, apakah sebagai fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum)?
Lahan hasil reklamasi ini, HPL-nya atas nama Pemprov. HGB di atasnya itu yang diatur. Mana porsi pengembang dan mana porsi fasos dan fasum yang menjadi hak pemerintah provinsi.
Besarannya, yang menjadi hak pengembang 35%, yang dia bisa jual. Entah itu residency, campuran, atau komersialnya seperti ruko. Selebihnya, 65% hak pengelolaannya diberikan kepada Jakpro.
Komposisi 65:35 persen itu bagaimana? Di Pulau D, ada 932 bangunan yang sudah ada. Apakah semuanya dikelola pengembang dan mana yang dikelola oleh Jakpro?
Pengembang diberikan hak 35%, tapi mereka membangun seluruh pulau dan kawasan pantai. Mereka hanya dapat 35% dengan membangun seluruh pulau. Jadi hak mereka 35%; 65% diserahkan kepada Pemprov. Kepemilikan punya Pemprov, kami hanya mengelola.
Besaran 65% itu untuk tiga pulau atau satu pulau?
Per pengembang. Kalau mau diproporsionalkan, setiap kawasan pantai atau dijadikan satu per pengembang karena pengembang kawasan pantai Kita dan Maju jadi satu [PT Kapuk Naga Indah, anak usaha Agung Sedayu Group].
Bagaimana pengelolaannya?
Kami sudah bicara dengan pengembang. Pertama, tentu kami kembalikan kepada pengembang. Rencana 35% ini mau dibikin seperti apa. Yang 65% nantinya kawasan yang bisa diakses oleh publik, antara lain mendukung 35%: ruang terbuka hijau untuk hunian, komersial dan ruang terbuka biru.
Kami sedang duduk membahas secara detail bersama pihak pengembang. Mereka secara Prasarana utilitas, gas pipa ... kami sudah melakukan pembahasan awal dengan penyedia jasa gas, layanan air minum dan air besih dengan PAM Jaya, dan lain-lain. Mungkin internet, kami punya anak usaha sendiri.
Apa yang dilakukan Jakpro mengakomodasi kepentingan masyarakat pesisir nelayan yang kena dampak reklamasi?
Sesuai Pergub, lahan kontribusi yang diberikan pemprov harus dikembangkan semaksimal mungkin untuk kepentingan masyarakat terdampak. Prosesnya juga harus ada verifikasi dan lain-lain, tapi bukan tugas kami. Tugas kami hanya membangun berdasarkan data. Datanya dari mana? Pasti dari SKPD. Berdasarkan data itu kami membuat masterplan lahan kontribusi.
Lahan kontribusinya, kami mau bangun rumah susun sesuai data. Juga bangun pasar. Konsep pasar tidak hanya melayani masyarakat terdampak tetapi fasilitas ini bisa menguatkan penghidupan masyarakat terdampak.
Bukan hanya diberikan hunian, tapi penghidupan. Artinya rumah, tempat sekolah, Pukesmas.
Masterplan sudah ada?
Kami masih menunggu data dari pemerintah provinsi. Tentu butuh waktu dan kami paham itu dan kami siap untuk fasilitasi. Pemprov punya aparat setempat, punya kantor wali kota, camat dan kelurahan. Mana penduduk setempat yang merupakan nelayan terdampak? Kami tidak memosisikan siapa yang berhak dalam daftar penerima manfaat.
Jika pemprov tidak memberikan data itu, Jakpro belum melakukan apa pun?
Kalau kami bangun rumah susun, mestinya kami harus tahu berapa banyak kebutuhannya. Penting segera data penerima manfaat dan masyarakat terdampak. Dan itu basis pekerjaan kami.
Sekarang Jakpro melakukan apa?
Kami berkoordinasi dengan Pemprov, difasilitasi Badan Koordinasi Pengelolaan Kawasan Pantai dengan SKPD terkait. Kami pernah membuat workshop dengan mengundang wali kota, SKPD, dan lain-lain, untuk merumuskan.
Dalam Pergub 120/2018, durasi Jakpro mengelola lahan reklamasi selama 10 tahun, kapan mulai?
Argo 10 tahun itu baru jalan setelah selesai dibangun fasilitasnya, bukan selesai dibangun pulaunya.
Ada kemungkinan Jakpro kerja sama dengan pihak ketiga untuk mengelola pulau reklamasi?
Sangat dimungkinkan. Di Pergub diatur sumber pendanaan dari mana, bisa dari Jakpro, BUMD, pinjaman dan kerja sama. Yang dimaksud ini siapa?
Bisa swasta atau perusahaan lainnya?
Kalau definisinya segeneral itu, kami bisa kerja sama. Ketika bicara pasar, kami kerja sama dengan PD Pasar Jaya. Ketika bicara minum, kami kerja sama dengan PAM Jaya. Sudah pasti kami kerjasama dengan pihak lain dalam menjalankan mandat. Kompetisi tidak semuanya dimiliki Jakpro. Transportasi jelas kompetensi Transjakarta.
Kemungkinan untuk kerja sama kembali dengan pihak pengembang, apakah bisa terjadi?
Dengan sendirinya, ketika Jakpro mengelola, pasti ada ikatan hukum dan kerja sama. Kewajiban membangun ada di pengembang, pengelolaannya diserahkan kepada Jakpro. Jadi kami kerja sama dengan pihak pengembang.
Akses masyarakat terdampak ke pantai bagaimana?
Saya kira semua lahan di DKI tidak ada yang eksklusif. Mungkin sekali ada pengembang mengelola kawasan, tapi karena belum diserahkan, seolah-olah masih eksklusif karena belum diserahkan sepenuhnya oleh Pemprov. Tapi, setelah diserahkan, tidak ada lagi eksklusivitas karena semua orang harus bisa mengakses, tidak hanya penduduk, termasuk saya bisa masuk. Jadi tidak hanya masyarakat terdampak.
Semua orang bisa mengakses. Enam puluh lima persen itu menjadi kawasan lain sehingga menjadi landmark baru di Jakarta. Dengan Jalasena 7,5 km itu bisa jalan, naik sepeda. Nanti disediakan tempat buat UMKM berjualan. Ini akan sama dengan tempat lain.
Bagaimana akses laut untuk nelayan? Karena keluhan ini masih ada dan apa yang bisa dilakukan Jakpro?
Porsi kami enggak sampai ke sana. Saya tidak bisa merespons masalah itu karena bukan porsi Jakpro. Ini statement umum.
Soal anggaran pembangunan Jakpro di lahan kontribusi?
Belum sampai fase anggaran. Kami baru bahas pada tahap perencanaan. Mau dibangun apa di lahan kontribusinya. Dokumen perencanaan belum sampai ke sana.
Tadi sempat Anda katakan, pengembang dan Jakpro pasti ada MoU, poinnya apa saja?
Membangun fasilitas, dalam hal ini yang kami sudah lakukan adalah membangun Jalasena.
Jalasena dari mana ke mana?
Jalasena mengelilingi Pantai Maju. Ini 7,6 km. Nanti ada jalan inspeksi, jalur sepeda dan pedestrian di sekeliling pantai. Ada kursi di beberapa titik dan tanaman khas Jakarta. Ini bisa diakses semua orang, tentunya setelah selesai. Tahap satu akan dibangun 3 kilometer. Sisi utara pulau belum karena masih ada kompaksi daratan.
Rusun dibangun di lahan kontribusi, apa dimungkinkan nelayan berdampingan dengan perumahan elite?
Kenapa tidak? Apakah ada yang aneh? Artinya, di wilayah lain di Jakarta, rumah sebelahnya bagus, sebelahnya biasa saja dan sebelah lagi biasa. Mereka sama warga Jakarta, sama-sama punya hak tinggal di situ.
Kalau mau bangun rusun, lokasinya di mana?
Letaknya di lahan kontribusi. Jadi saat ini berdasarkan panduan rancang kota yang ada, letak lahan kontribusi di Pantai Kita (Pulau C). Bukan di Pantai Maju. Saya bicara kondisi saat ini. Ke depan seperti apa, kembali bukan kami yang menentukan karena ini milik Pemprov. Apakah bisa diganti, tentu bisa diubah petanya (lokasinya).
Bisa jadi pengembang memberikan lahan kontribusi kepada Jakpro tidak mesti di pulau reklamasi?
Bukan Jakpro, tapi Pemprov. Kami hanya mengelola. Pemiliknya DKI. Tapi, ya, ada kemungkinan.
[Kami menunjukkan brosur peta jumbo Golf Island, bagian dari rencana pengembangan Pulau D, kini bernama Kawasan Pantai Maju, oleh PT Kapuk Naga Indah, anak usaha Agung Sedayu Group.]
Jika di rancangan ini, 65 persen lahan reklamasi dikelila Jakpro di mana?
Lahan hijau yang Anda sebut ini wilayah premium, perumahan dengan lapangan golf.
Itu statement Anda premium.
Tidak. Saya sudah bertemu dengan orang pemasaran. Mereka bilang ini premium.
Tidak ada wilayah yang eksklusif. Kembali lagi, definisi eksklusif mungkin berbeda-beda. Ini ruang terbuka hijau? [Menunjuk lapangan golf] Kalau ruang terbuka hijau, masak orang enggak bisa masuk ke sana?
Ini lapangan golf.
Tapi, ruang terbuka hijau. Saya bukan orang golf. Tapi lapangan golf di Jagorawi ada jalan yang bisa masuk orang dan aman. Mohon jangan dibenturkan, seolah-olah yang dibangun pengembang akan selalu bertentangan dengan pemerintah. Bisa dicari titik temunya. Jadi enggak harus frontal berhadap-hadapan. Yang disepakati ada akses publik di sana.
Jadi lahan kontribusinya di mana kalau ini?
Itu semuanya. Kumulatif. Dua ini (Pulau C dan D) pengembangnya satu (yaitu PT Kapuk Naga Indah). Jadi, berada tempat konsesi milik dia. Bisa di Pulau C, misalnya.
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam