tirto.id - Dua hingga tiga tahun lalu, mungkin tak banyak yang membayangkan wajah ibu kota akan dihiasi pemandangan lintasan kereta unik yang melayang sekaligus 'tenggelam' di bawah perut bumi Jakarta.
Dicetuskan sebagai salah satu mega proyek penanggulangan kemacetan di Ibu Kota, Mass Rapid Transit Jakarta (MRT Jakarta) atau yang punya nama lokal, Moda Raya Terpadu ini berhasil mencuri perhatian khalayak umum. Selain keberadaannya merupakan solusi kemacetan, bagi masyarakat Jakarta, MRT merupakan wahana atau destinasi wisata.
Masih segar dalam ingatan, pada pertengahan 2019 lalu, stasiun MRT pernah penuh sesak oleh warga yang menjadikan sederat stasiun MRT Jakarta sebagai lokasi piknik. Seperti, Dewi (43), warga Jakarta Timur yang datang bersama ibu dan anak tunggalnya pergi wisata untuk mencoba naik MRT saat berbincang dengan reporter Tirto pada Jumat (7/6/2019) silam.
"Mumpung libur. Penasaran biasanya cuma ngeliat di TV," ujarnya kala itu.
Bukan hanya warga Jakarta yang antusias. Alasan serupa juga diungkapkan oleh pengunjung yang berasal dari luar kota seperti Sari (43) beserta keluarganya. Bagi mereka, antrean yang mengular tak jadi soal. "Jauh-jauh dari Semarang, cuma mau ngelihat MRT doang," ujar Sari.
Sari bersama keluarganya ingin sekali naik MRT Jakarta yang selama ini hanya dilihatnya lewat layar kaca. Ia mengikuti perkembangan MRT Jakarta melalui layar televisi. "Setidaknya kita foto-foto sedikit biar anak-anak bisa cerita ke temen-temennya," kata sari saat ditemui Tirto, yang kala itu tengah sibuk bolak-balik mencari tahu cara membeli kartu serta mengisi saldo untuk digunakan sebagai akses menggunakan MRT.
Keberadaan MRT Jakarta memang disambut antusias warga lantaran pemandangan moda transportasi semacam ini sebelumnya hanya bisa dinikmati dari layar kaca televisi. Pun untuk menikmatinya secara langsung, masyarakat Indonesia harus merogoh kocek cukup dalam karena moda transportasi semacam ini hanya bisa dinikmati di negara tetangga seperti Singapura. Sehingga, maklum saja bila ada masyarakat Indonesia yang sampai menjadikan MRT Jakarta sebagai tempat tujuan piknik.
Elisa Sutanudjaja, Direktur Rujak Center for Urban Studies, melihat fenomena tersebut justru menandakan masyarakat antusias dengan kehadiran MRT Jakarta. Selain itu, Elisa juga melihat piknik bersama keluarga adalah tradisi dan kebiasaan yang baik.
MRT Jakarta memang telah mengubah wajah Indonesia, setidaknya, wajah DKI Jakarta sebagai ibu kota negara berpenduduk 270 juta jiwa. Ini tak lain berkat penataan kawasan baik di sekitar stasiun maupun nyaris di sepanjang lintasan MRT yang membentang dari Lebak Bulus di sisi selatan Jakarta hingga ke pusat kota di titik Bundaran HI.
Namun catatan saja, menurut Elisa, keberadaan MRT harus disempurnakan dengan integrasi antar moda serta pembangunan kawasan secara merata. Tak melulu harus dibangun super blok yang terdiri seperti deretan apartemen dan mall, cukup apartemen dan pusat perbelanjaan.
“Bentuknya gak usah mewah harus terhubung ke super blok. Bisa berupa penataan kawasan di sekitaran stasiun, misalnya di Bendungan Hilir itu masih banyak yang perlu ditata kan banyak masyarakat tinggal ngekost di sana. Kemudian arah Stasiun Cipete, itu masih belum dibangun. Memang butuh waktu ya, tapi ini sebagai catatan saja,” kata dia kepada Tirto, Minggu (21/3/2021).
Elisa menjelaskan, keberadaan MRT Jakarta juga disebut-sebut berhasil menghidupkan kembali geliat ekonomi di kawasan yang dilintasinya. Sebut saja kawasan Blok M yang sempat redup, telah berhasil hidup kembali.
“Blok M bisa begitu karena dia serius menggarap kawasan itu, dia doang yang mau nyambung diantara semua tenan yang sepanjang Lebak Bulus Bundarah HI. Makanya dia dapet manfaat paling besar,” kata Elisa.
Sejarah MRT di Tanah Air
Terwujudnya moda transportasi MRT rupanya punya sejarah yang cukup panjang. misalnya Fauzi Bowo saat kampanye pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2007 pernah berjanji akan bangun MRT. “Saya akan lakukan pembangunan kereta bawah tanah untuk semua," janji Fauzi Bowo.
Selesai 1 periode kemudian pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012, Foke kembali berkata bakal mengembangkan dan mengerjakan mass rapid transit (MRT) jika kembali terpilih, dan bakal mengintegrasikannya dengan jalur kereta rel listrik atau komuter.
Mimpi itu diwujudkan Foke hanya berupa pencanangan megaproyek tersebut, April 2012. Meski kalah bertarung dengan pasangan Joko Widodo dan Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama, Foke menegaskan proyek tersebut tetap berlanjut.
Ia mengumumkan pembangunan MRT sudah dalam tahap tender "berskala internasional" dan ia yakin proyek ini tak akan menjadi proyek mangkrak berkata model pendanaan yang sudah diperoleh lewat pinjaman lunak dari Japan International Corporation Agency (JICA).
Sebelum Fauzi Bowo membawa janji pembangunan MRT, rupanya ide awal transportasi massal ini sudah dicetuskan sejak 1986 oleh Bacharuddin Jusuf Habibie. Menjabat Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Habibie mengatakan tengah mendalami berbagai studi dan penelitian demi menghadirkan transportasi massal berupa proyek MRT.
Ada empat studi yang dimaksud Habibie kala itu:
- Jakarta Urban Transport Program (1986-1987);
- Integrated Transport System Improvement by Railway and Feeder Service (1988-1989);
- Transport Network Planning and Regulation (1989-1992);
- Jakarta Mass Transit System Study (1989-1992).
Studi-studi ini lah yang kemudian dibawa oleh Sutiyoso saat menjabat gubernur DKI Jakarta. Selama 10 tahun pemerintahan Bang Yos, setidaknya ada dua studi dan penelitian yang dijadikan landasan pembangunan MRT.
Lalu, pada era Jokowi-lah proyek ini terus dilanjutkan dan resmi terealisasi. Butuh waktu setahun bagi Jokowi memutuskan pembangunan proyek MRT tetap dikerjakan.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Zakki Amali