Menuju konten utama

Moncer di Zaman Soeharto, Mobil Korea Kini Meratapi Nasib

Dibekali desain bagus, fitur lengkap, mesin mumpuni, dan harga bersaing harusnya jadi daya tarik tersendiri. Namun dari tahun ke tahun penjualan mobil Korea terus menurun.

Moncer di Zaman Soeharto, Mobil Korea Kini Meratapi Nasib
Mobil KIA Grand Sedona dipamerkan saat acara GAIKINDO Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2016, di Indonesia Convention Exibition (ICE) BSD City Tangerang. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Tahun 1995 adalah waktu pertama kalinya mobil-mobil keluaran Korea Selatan (Korsel) mengaspal di Indonesia. Saat itu Hyundai, KIA, dan Daewoo masuk kloter pertama jajaran merek mobil asal Negeri Ginseng yang dijual di Indonesia.

Satu tahun setelahnya, tepatnya pada 8 Juli 1996, mobil Timor turut diluncurkan. Seperti diketahui, Timor di bawah naungan PT Timor Putra Nasional langsung dikomandoi oleh Tommy Soeharto, putra bungsu Presiden Soeharto.

Timor yang masuk di segmen sedan kecil sempat digadang-gadang menjadi proyek mobil nasional. Namun karena satu dan lain hal, perkembangannya terhenti. Model tersebut akhirnya diteruskan lewat produk KIA Sephia.

Hal serupa turut dipersiapkan Bambang Trihatmodjo, anak ketiga Soeharto, dengan menghadirkan mobil Bimantara Nanggala dan Cakra yang rencananya akan hadir sebagai mobnas. Namun kenyataannya produk tersebut menjadi Hyundai Accent atau Verna di kemudian hari.

Waktu itu mobil Korsel cukup bisa diterima masyarakat berkat harganya yang terjangkau dan kualitas yang tidak kalah dibanding mobil-mobil keluaran merek Jepang. James Luhulima dalam Sejarah Mobil dan Kisah Kehadiran Mobil di Negeri Ini (2012), mencatat harga mobil Timor atau KIA Sephia dijual hanya Rp37 juta on the road.

Padahal Toyota Starlet yang berada di kelas hatchback saat itu dibanderol Rp48,4 juta, sementara sedan Toyota Corolla harganya Rp76,35 juta. Sedangkan Bimantara Cakra yang sama-sama lansiran Korsel dipatok Rp39,9 juta.

Semenjak itu mobil Korsel mulai jadi pilihan konsumen di Indonesia, di samping produk keluaran Jepang maupun Eropa yang populer di masyarakat. Namun demikian, penjualan mobil Korsel terbilang biasa saja dari tahun ke tahun. Malah dalam lima tahun terakhir penjualannya mengalami penurunan drastis.

Data wholesales Gaikindo memperlihatkan pada 2014 mobil Korsel yang diwakili KIA dan Hyundai masih mencatat angka penjualan 11.223 unit. Tahun berikutnya turun ke 4.552 unit dan menjadi 2.766 unit pada 2016.

Pada 2017 tinggal Hyundai sebagai merek Korsel yang berada di daftar Gaikindo dengan penjualan sebanyak 1.271 unit. Sementara tahun 2018 lalu, Hyundai dan Hyundai Komersial berhasil mengumpulkan 1.417 unit, naik sedikit dibanding periode sebelumnya.

Penjualan mobil Korsel yang terus menurun membuat sejumlah dealer KIA tutup, terutama yang terpantau di wilayah Jakarta. Apalagi setelah KIA keluar dari daftar keanggotaan Gaikindo beberapa tahun lalu. Spekulasi soal bangkrutnya KIA di Indonesia pun merebak.

Meski begitu, pabrikan asal Korsel ini membantah kabar tersebut. Menurut Public Relations Kia Indonesia, Dina Andridiana, pihaknya tengah melakukan berbagai upaya untuk memperkuat kondisi internalnya.

“KIA memang dalam tahap konsolidasi namun tidak seperti yang diberitakan (bangkrut). Beberapa outlet memang tutup sebagai bagian dari konsolidasi yang dilakukan, termasuk oleh dealer sendiri,” ujarnya kepada Tirto (1/2/2019).

Masih Punya Sejumlah Peluang

Anjloknya penjualan mobil Korsel di Indonesia sebetulnya bisa diantisipasi dengan strategi tertentu. Contohnya kehadiran merek Cina seperti Wuling dan DFSK yang jeli melihat pasar dengan langsung terjun di segmen-segmen favorit di Tanah Air.

Hyundai sebagai satu-satunya merek Korsel yang masih terdaftar sebagai anggota Gaikindo, tampaknya mulai membaca situasi dengan meluncurkan Sport Utility Vehicle (SUV) Kona lewat ajang Indonesia International Motor Show (IIMS) 2019, April lalu.

Segmen SUV tengah digemari hampir di seluruh dunia. Kehadiran Kona yang lebih terjangkau akan melengkapi jajaran SUV Hyundai, yang sebelumnya telah diisi Tucson dan Santa Fe. Praktis, Hyundai bermain hampir di semua segmen SUV, baik itu di kelas bawah, menengah, maupun atas.

Penjualan Hyundai pada tahun lalu pun tengah mengalami rebound, setelah tren penurunan selama lima tahun terakhir. Dengan memanfaatkan momentum tersebut diharapkan masih ada peluang bagi mobil Korsel, khususnya Hyundai.

“Saat ini Hyundai ditopang oleh Hyundai H-1 sekitar 30 persen, kemudian disusul oleh Hyundai Santa Fe sekitar 30 persen juga. Sementara sisanya adalah produk lain, diharapkan dengan hadirnya Kona dapat meningkatkan penjualan di Indonesia,” kata Mukiat Sutikno, Presiden Direktur PT Hyundai Mobil Indonesia saat ditemui Tirto di pameran IIMS.

Situasi industri otomotif dalam negeri memang sedang tidak menguntungkan. Namun hal itu rupanya tak mengurungkan niat pabrikan mancanegara memulai bisnis di Indonesia. Sejumlah pabrikan dari Korsel, Cina, dan Rusia dikabarkan tengah menjajakan peluang untuk menjual kendaraan di sini.

Ketua I Gaikindo Jongkie Sugiarto mengatakan pihaknya terbuka dengan semua merek dunia selama ada investasi di Indonesia. Hyundai pun telah memulai rencana baik berbisnis di Indonesia dengan membangun pabrik senilai 1 miliar dolar AS.

“Kami Gaikindo netral, semua merek welcome. Asalkan dapat menunjukkan surat perintah keagenan, dengan adanya itu silakan jadi anggota kami. Tujuan kami agar industri otomotif Indonesia bisa maju. Kalau bisa, jadi yang terbaik di ASEAN dan juga regional,” jelasnya di acara buka puasa bersama media (14/5).

Ketua Umum Gaikindo Yohannes Nangoi belum dapat memastikan ada berapa pabrikan otomotif yang rencananya akan masuk ke Indonesia. Sejumlah merek ini disebut-sebut menunggu kondisi dalam negeri stabil, salah satunya terkait Pilpres dan harmonisasi pajak kendaraan.

“Investasi baru tentunya kami masih harapkan dari Korea, yang sudah final stage. Mudah-mudahan tahun ini atau akhir tahun ini sudah bisa terlaksana. Kemudian ada beberapa yang sudah approach, terutama dari Rusia, kemudian dari Cina juga ada. Tapi realisasinya kapan saya belum berani ngomong,” ungkap Nangoi dalam acara yang sama.

Infografik Mobil Korea di Mata Dunia

Infografik Mobil Korea di Mata Dunia. tirto.id/Fuad

Sejumlah merek otomotif yang diisukan bakal masuk Indonesia ini, disebut Nangoi akan bermain di segmen kendaraan komersial. Segmen yang sebelumnya masih jarang disentuh, terutama oleh pabrikan Korea. Mereka baru memulainya lewat merek Hyundai Komersial pada 2018 lalu, dan itu pun hanya terjual dua unit sepanjang tahun.

Walaupun demikian, segmen komersial memang disebut jadi peluang baru bagi pabrikan otomotif. Terutama dalam beberapa tahun terakhir, yang menunjukkan pertumbuhan penjualan signifikan. Padahal di waktu yang sama, segmen kendaraan penumpang tengah mengalami tren penurunan.

Biswadev Sengupta, Presiden Direktur Tata Motors Distribusi Indonesia (TMDI), berujar jika kendaraan komersial cocok dengan keadaan negara berkembang seperti Indonesia. Apalagi negara sedang melaksanakan banyak pembangunan infrastruktur.

“Karena di negara berkembang seperti Indonesia masih banyak pembangunan, sangat bagus untuk kendaraan komersial seperti truk, dan kendaraan transportasi seperti bus, maupun kendaraan tambang. Segmen komersial jelas lebih dibutuhkan ketimbang passenger car,” terangnya di media gathering Tata Motors (15/5).

Hal tersebut membuat pabrikan asal India ini fokus di kendaraan komersial sejak lima tahun lalu. Mereka bahkan menghentikan penjualan mobil-mobil di segmen kendaraan penumpang, yang sebelumnya diisi Tata Aria, Storme, dan Vista.

“Kami ingin menjadi bagian untuk berkembang bersama negara ini, itu alasan mengapa kami fokus di kendaraan komersial. Terlebih, berdasarkan data Gaikindo juga terlihat segmen kendaraan penumpang mengalami stagnansi. Sementara kendaraan komersial terus tumbuh,” pungkasnya.

Mobil Korsel sejatinya punya kemampuan baik untuk bersaing dengan pabrikan Jepang yang telah eksis lebih dulu di Indonesia. Tinggal kemampuan APM dalam mengerahkan sumber daya untuk bisa jeli melihat tren yang tengah berkembang di pasar. Mencontoh pabrikan Cina maupun India mungkin bisa jadi salah satu jawaban bagi pabrikan Negeri Ginseng.

Baca juga artikel terkait INDUSTRI OTOMOTIF atau tulisan lainnya dari Dio Dananjaya

tirto.id - Otomotif
Penulis: Dio Dananjaya
Editor: Windu Jusuf