tirto.id - Para pedagang daging sapi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) menggelar mogok kerja mulai Rabu kemarin sampai Jumat besok (20-22/1/2021). Penyebabnya adalah tingginya harga daging sejak awal tahun.
"Kami bingung harga naik terus, jadinya rugi. Makanya kami, pedagang se-Jabodetabek, kompak untuk mogok. Kalau tidak kaya gini, konsumen tidak tahu," kata salah satu peserta mogok, Muhidin (31), pedagang di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan kepada reporter Tirto, Kamis (21/1/2021).
Dia bilang mendapatkan surat edaran untuk melakukan mogok langsung dari Kepala Pasar Kebayoran Lama pada Senin 18 Januari lalu.
Pedagang yang sudah berjualan daging sejak usia 16 tahun ini mengatakan biasanya membeli daging sapi sebanyak 2 kuintal atau 200 kilogram (kg) atau seukuran satu ekor sapi di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dengan harga Rp83-Rp85 ribu. Namun hampir setiap hari sejak awal tahun harga naik sekitar Rp3-Rp5 ribu. Terakhir, sebelum mogok, harganya mencapai Rp105-Rp110 ribu.
Harga daging sapi murni berada di atas Rp120 ribu per kg dalam beberapa hari terakhir, padahal biasanya cuma di kisaran Rp110 ribu-Rp114 ribu per kg. Begitu juga dengan harga daging sapi bagian paha belakang yang normalnya hanya sedikit di atas Rp100 ribu per kg tapi kini menjadi Rp126 ribu per kg.
Data dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) per 18 Januari 2021 mencatat harga rata-rata daging sapi kualitas dua di seluruh Indonesia berada di kisaran Rp113 ribu per kg. Tercatat harga rata-rata daging sapi di DKI Rp129 ribu per kg, Jawa Barat Rp124 ribu, dan Banten Rp117 ribu alias lebih mahal.
"Kalau harga segini, pedagang juga nyerah. Biasanya cuma lebaran doang yang naik segitu," ujarnya.
Muhidin biasanya menjual daging dengan harga Rp100-Rp110 ribu per kilo atau lebih mahal Rp15 ribu dari harga beli di RPH. Dari selisih itu pria yang tinggal di kawasan Kebayoran Lama ini biasanya mendapat untung sebesar Rp300 ribu per hari.
Namun akibat harga naik, dia malah bisa tekor Rp2-3 juta per pekan. "Kalau langganan, mereka enggak tahu harga naik dan enggak mau tahu. Maunya pakai harga langganan. Jadinya kami nombok atau tidak untung sama sekali. Paling kalau ada untung, sedikit. Jadi kerja capek doang," tuturnya.
Dengan mogok kerja ini Muhidin berharap pemerintah mendengar aspirasi para pedagang. "Pemerintah bisa cepat mengembalikan harga daging seperti semula biar pedagang tidak menjerit seperti ini," katanya.
Mogoknya para pedagang bukan gertak sambal. Puluhan kios daging sapi di Pasar Kranji Baru, Bekasi Barat, Kota Bekasi, Rabu (20/1/2021), kosong. Para pekerja di RPH juga ikut mogok dengan menutup aktivitas pemotongan. Begitu juga dengan perdagangan daging beku di distributor.
Penyebab
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI) Asnawi mengatakan harga terus merangkak tinggi karena importir pun mendapatkan harga yang sudah sangat tinggi dari produsen.
Dari Australia, importir dipatok harga 3,6 dolar AS per 1 kg bobot hidup sapi bakalan pada Juli 2020. Pada Januari-Februari 2021, harganya sudah 3.9 dolar AS. "Belum biaya-biaya bongkar muat pelabuhan dan transportasi angkutan," kata Asnawi melalui keterangan tertulis, Rabu (20/1/2021)..
Situasi ini nampaknya belum akan dapat diselesaikan dalam waktu dekat. Dalam rapat dengan Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Selasa (19/1/2021), dia mengatakan yang diutamakan pemerintah adalah ketersediaan pasokan. "Hanya menjaga harga daging stabil untuk periode pendek walaupun dengan harga lebih tinggi dari sebelumnya," katanya.
Asnawi mengatakan Kemendag bakal segera mengumumkan kenaikan yang bersifat anomali ini, bahwa harga jual daging sapi di tingkat pengecer/pedagang daging sebesar Rp130 ribu per kg.
Untuk menurunkan harga, pemerintah juga bakal membuka keran impor lagi, termasuk dari negara selain Australia. "Impor sapi dari Meksiko," katanya.
Kami telah menghubungi Kemendag untuk isu ini, tapi tak ada respons.
Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) Abdullah Mansuri berharap para pedagang daging "memikirkan kembali" mogok karena ada risiko kehilangan pelanggan, apalagi bisnis lain yang terkait seperti rumah makan berangsur normal.
IKAPPI juga khawatir mogok akan berefek pada sepinya penjual lain mengingat kondisi pasar semakin sepi dan daya beli menurun karena pandemi. "Kami mengetahui bahwa kondisi ini cukup sulit, tetapi kami berharap agar [pedagang daging] bertahan dan berdagang sebagaimana mestinya walaupun volumenya berkurang," kata Abdullah kepada reporter Tirto, Selasa.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino