tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) buka suara atas rencana pemerintah dan DPR memasukkan kembali norma penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). MK menegaskan, norma itu inkonstitusional.
"Dari sudut MK, basis argumentasi normatifnya jelas, putusan tahun 2006 itu sudah final dan mengikat, artinya norma itu sudah dinyatakan inkonstitusional, sudah dikeluarkan dari sistem norma hukum konstitusi," kata Juru Bicara MK Fajar Laksono kepada Tirto pada Jumat (11/6/2021).
Jika pasal itu kembali dimasukkan dalam RKUHP, maka pasal itu rentan untuk digugat lagi ke MK. Jika demikian, MK akan menguji pasal itu kembali sesuai ketentuan, dan akan menyatakan sikap dan pendapatnya lagi melalui putusan.
"Sekiranya itu diajukan kembali untuk dimasukkan dalam norma hukum oleh pembentuk UU, maka tentu potensial diuji materi lagi ke MK, dan jika itu kelak benar terjadi, sejauh yang bisa dilakukan ialah memroses sesuai ketentuan, dan MK baru akan bersikap dan berpendapat melalui putusan," tandasnya.
Pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden sebelumnya termaktub dalam pasal 134 KUHP. Pada 2006, Eggy Sudjana cs menggugat pasal itu ke Mahkamah Konstitusi, dan mahkamah memutuskan pasal itu inkonstitusional sehingga mencabutnya dari perundang-undangan.
Tak cuma itu, MK pun menyatakan revisi KUHP ke depan tidak boleh lagi memuat ketentuan yang serupa atau yang mirip dengan pasal tersebut.
MK menjelaskan, pasal 134 itu adalah adopsi dari pasal 111 Nederlands Wetboek van Strafrecht (WvS Nederlands 1881). Mengutip penjelasan ahli Mardjono Reksodiputro WvS Belanda 1881 sudah memiliki pasal 261 tentang penghinaan dengan delik aduan, tetapi martabat raja tidak membenarkan raja menjadi pengadu.
Di sisi lain, martabat raja/ratu sangat dekat dengan kepentingan negara karenanya butuh perlindungan khusus. Untuk itu dibuat pasal khusus yakni pasal 111 WvS Belanda yang merupakan bukan delik aduan.
Setelah Indonesia dinyatakan kemerdekannya tidak memiliki masalah itu sehingga pasal penghinaan terhadap presiden tidak diperlukan.
Selain itu, Mahkamah menyatakan presiden adalah hasil pilihan rakyat dan bertanggung jawab kepada rakyat. Karenanya, berbeda dengan raja, presiden dan wakilnya tidak diberikan privilese yang membuat martabatnya lebih tinggi daripada manusia lainnya.
"Presiden dan Wakil Presiden tidaklah boleh mendapatkan perlakuan privilese hukum secara diskriminatif berbeda dengan kedudukan rakyat banyak selaku pemegang kedaulatan tertinggi," tertulis dalam pertimbangan MK.
Pasal penghinaan terhadap presiden juga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum karena sangat rentan pada tafsir suatu perbuatan atau pernyataan merupakan kritik atau penghinaan. Pasal itu pun berpotensi menghambat hak menyampaikan pikiran dan pendapat kala digunakan aparat penegak hukum dalam unjuk rasa.
Pasal itu juga dapat menjadi ganjalan dalam kemungkinan memeriksa presiden dan wakil presiden atas pelanggaran hukum.
Walaupun putusan MK sudah jelas meruntuhkan norma tersebut, tapi Menteri Hukum dan HAM, DPR, dan tim penyusun RUU KUHP ngotot memasukkan kembali pasal itu ke RKUHP. Yasonna berdalih, pengaturan pasal itu berbeda dengan putusan itu, salah satunya pasal itu disusun dengan delik aduan.
Dalam RUU KUHP, ketentuan itu termaktub dalam pasal 218 ayat 1 dan berbunyi: "Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3(tiga) tahun 6(enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV."
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Maya Saputri