Menuju konten utama

Minat Milenial Terhadap Puisi Melonjak Tajam pada 2018

Minat milenial terhadap puisi melonjak di Inggris. Penjualan buku puisi mencapai rekor tertingginya pada tahun 2018.

Minat Milenial Terhadap Puisi Melonjak Tajam pada 2018
Ilustrasi membaca puisi. FOTO/Istockphoto

tirto.id - Kalangan remaja dan milenial sangat bersemangat dalam urusan berpolitik. Hal ini memicu pertumbuhan yang tajam dalam popularitas puisi. Di Inggris Raya penjualan buku puisi mencapai rekor tertingginya pada tahun 2018.

Melansir The Guardian, Senin (21/1/2019), data dari Nielsen BookScan menunjukkan penjualan tumbuh lebih dari 12 persen pada tahun lalu. Di mana 1,3 juta volume buku puisi telah terjual pada tahun 2018, pendapatan bertambah hingga 12,3 juta euro dalam penjualan.

Dua per tiga dari pembeli merupakan para pemuda yang umurnya di bawah 34 tahun, 41 persen berumur antara 13-22 tahun. Gadis remaja dan perempuan muda merupakan konsumen puisi terbesar.

Andre Bredt dari Nielsen menjelaskan, penjualan buku puisi yang meledak karena adanya pergolakan dan konflik politik. Puisi dijadikan alat untuk memahami fenomena-fenomena tersebut dan sebagai alternatif untuk memahami dunia.

“Puisi meresonasikan orang-orang yang mencari pemahaman. Ini adalah jalan yang sangat bagus untuk mengeksplorasi kompleksitas, emosi yang sulit, dan ketidakpastian,” ucapnya.

Penyair Kanada berusia 26 tahun bernama Rupi Kaur karyanya memimpin daftar buku terlaris dengan rekor hampir satu juta penjualan.

Bukunya Milk and Honey menjadi koleksi terlaris tahun 2018. Berikutnya karya-karya Leonard Cohen, John Cooper Clarke, Seamus Heaney, Carol Ann Duffy dan Homer juga laris manis.

Tony Walsh penyair yang membacakan puisinya berjudul This is the Place di kota Manchester juga menjadi titik balik euforia puisi. Deklamasi yang dipertunjukkan oleh Tony telah dibagikan ribuan kali secara daring ke seluruh dunia dan menjadi terkenal dalam sekejap.

Puisi Ben Okri berjudul Grenfell Tower yang ditulis setelah peristiwa kebakaran tahun 2017 juga memiliki jejak yang sama. Media sosial dan teknologi telah membuat puisi mudah diakses dan diteruskan kepada orang lain. Ini dapat memperbesar dampak yang ditimbulkan.

Susannah Herbert direktur Forward Arts Foundation yang menyelenggarakan hadiah puisi dan acara di Hari Puisi Nasional mengatakan, banyak hal yang dikatakan oleh politikus tidak dapat dipercaya. Bahasa puisi menjadi nuansa lain untuk mengungkapkan perasaan.

“Pada saat-saat krisis nasional, kata-kata yang menyebar dan kata-kata yang didengar bukanlah kata-kata politisi, tapi kata-kata penyair,” katanya.

Susannah menambahkan, kata-kata mulai kehilangan artinya dalam politik dan puisi menempati ruang yang berbeda di jalur-jalur yang tidak tersentuh. Ini menjadi cara memperbarui makna-maka yang ada, serta menawarkan perspektif yang baru.

Ledakan puisi tersebut menurut Katy Shaw profesor tulisan kontemporer dari Universitas Northumbria sebanding dengan popularitas isu-isu yang berkembang.

Seperti kasus Brexit yang baru-baru ini santer, ledakan di Manchester, pemogokan para penambang tahun 1980-an, dan kebangkitan kelas pekerja (Chartism) pada abad ke-19.

“Puisi sedang dirancang sebagai bentuk yang dinamis dan vital untuk dapat menangkap apa yang terjadi seringkas mungkin. Ini menunjukkan sifat turbulen pada masyarakat kontemporer. Memberi kita ruang untuk berjuang dengan memahami dan menegosiasikan banyak hal,” ucap Shaw.

Puisi juga digunakan untuk menunjukkan keterlibatan, alih-alih sekedar perenungan pasif tentang apa yang terjadi di masyarakat.

Sebab puisi dapat menangkap tanggapan langsung pihak-pihak yang terlibat peristiwa kontroversial dan memecah belah. Ketika ditulis oleh orang yang tidak memeliki kekuatan, puisi mempertanyakan siapa yang memiliki wewenang mengedepankan narasi.

“Menulis puisi dan membagikannya dalam konteks ini adalah suatu peristiwa radikal. Tindakan perlawanan untuk mendorong orang lain masuk ke dalam perspektif Anda,” kata Shaw. Ditambah, puisi memiliki tradisi lisan yang kuat untuk dideklamasikan dan disuarakan—tidak selalu ditulis.

Tak hanya di Inggris Raya, di Amerika Serikat juga terjadi peningkatan dalam hal pembacaan puisi pada tahun 2017.

Sunil Iyengar Direktur Riset National Endowment for the Arts (NEA) melaporkan, dalam beberapa bulan terakhir media sosial telah memberikan kontribusi besar bagi pembaca puisi.

“Menurut data terbaru dari NEA tahun 2017 tentang partisipasi publik dalam seni tahun 2017, orang dewasa membaca puisi naik hampir 12 persen (11,7 persen),” lapor Sunil.

Baca juga artikel terkait GENERASI MILENIAL atau tulisan lainnya dari Isma Swastiningrum

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Isma Swastiningrum
Penulis: Isma Swastiningrum
Editor: Yantina Debora