Menuju konten utama

Mimpi yang Disemai Atlet Disabilitas di Kota Kembang

Atlet disabilitas Bandung berlari lebih kencang dari diskriminasi, mengejar emas, dan membuktikan mimpi tak mengenal keterbatasan.

Mimpi yang Disemai Atlet Disabilitas di Kota Kembang
Atlet penyandang disabilitas tunanetra cabang olahraga atletik lari sprint, Egi Prasetyo (21) saat mengambil ancang-ancang berlari dalam sesi latihan di GOR Pajajaran, Kota Bandung, pada Jumat (13/9/2025) sore. Ia lolos seleksi sebagai atlet kontingen dari Kota Bandung untuk ajang Pekan Paralimpik Daerah (Peparda) VII Jawa Barat yang berlangsung di Kabupaten Indramayu tahun 2026. tirto.id/Amad NZ.

tirto.id - Perjalanan Egi Prasetyo (21) menjadi atlet lari justru tak dimulai dari kegemarannya berolahraga. Namun saat ia melancong ke Kota Bandung dari desa kecil di Cilacap.

Niat hati mempelajari teknik-teknik memijat di Sentra Wyata Guna Bandung, Jl. Pajajaran, Kecamatan Cicendo, ia malah tertarik saat mengetahui ada pusat pengembangan dan pembinaan olahraga disabilitas di Gelanggang Olahraga (GOR) Pajajaran. Hanya sepelemparan batu dari tempat pelatihan pijat, hanya perlu menyebrang jalan.

“Saya disabilitas low vision netra. Atlet lompat jauh dan lari sprint. Sejak bulan Mei 2025. Belum lama [menjadi atlet], baru sejak saya di Bandung. Merantau di Bandung, terus tahu dunia atlet. Baru saya mengikuti bulan Desember 2024. Sampai sekarang baru setengah tahun,” cerita Egi kepada wartawan seusai latihan, di GOR Pajajaran, Jumat (12/09/2025) sore.

Tubuhnya masih prima. Daripada hanya fokus bekerja sebagai pemijat, ia memilih jalan lain untuk sampai lebih cepat ke masa depan. “Apalagi masih muda, masih produktif. Bisa meningkatkan prestasi. Sambil meningkatkan prestasi, [demi] kesejahteraan hidup saya,” lanjut Egi.

Atlet Disabilitas Kota Bandung

Atlet penyandang disabilitas tunanetra cabang olahraga atletik lari sprint, Egi Prasetyo (21) saat mengambil ancang-ancang berlari dalam sesi latihan di GOR Pajajaran, Kota Bandung, pada Jumat (13/9/2025) sore. Ia lolos seleksi sebagai atlet kontingen dari Kota Bandung untuk ajang Pekan Paralimpik Daerah (Peparda) VII Jawa Barat yang berlangsung di Kabupaten Indramayu tahun 2026. tirto.id/Amad NZ.

Cerita-cerita sukses para atlet disabilitas pendahulunya jadi salah satu pemicu kuatnya. Tapi Egi mengaku, keputusannya semakin bulat setelah sejumlah perjalanan hidup yang ia lalui, sebagai penyandang disabilitas dengan gangguan penglihatan. Kemampuan melihat yang hanya bisa dimaksimalkan sekira 40 persen itu, tak jarang menjadi penyebab dirinya mendapat perlakuan diskriminasi.

Egi adalah seorang lulusan SMK Tata Boga di Cilacap. Dia pernah menjadikan ilmu memasaknya sebagai mata pencaharian. Namun seperti penuturannya, terdapat diskriminasi bagi seorang penyandang disabilitas. Bahkan perlakuan itu sampai masuk ke ruang-ruang dapur. Padahal ia sudah menjalankan tugas sebaik-baiknya saat magang dan bekerja di sebuah hotel wilayah pesisir Jawa Barat.

“Sudah mencari pekerjaan ke mana-mana, ditolak. Karena disabilitas itu. Sampai ke Jakarta saya. Sempat bekerja di dunia hotel, saya mendaftar untuk menjadi karyawan itu. Sama dari pihak atasan itu, karena disabilitas itu, sudah diremehkan. Padahal saya sudah bekerja hampir ada setengah tahun. PKL juga di situ,” sesalnya.

Hingga pada akhirnya, ia bukan hanya meninggalkan keterampilannya dalam memasak, melainkan pergi sementara dari tempat kelahiran untuk menjemput masa depan. Awal tahun 2025, ia nekat untuk mengikuti seleksi sebagai atlet cabang olahraga atletik untuk persiapan Pekan Paralimpik Daerah (Peparda) VII Jawa Barat yang berlangsung di Kabupaten Indramayu, pada tahun 2026 mendatang.

“Iya, pertama kali ini. Langsung lolos. Kemarin seleksinya. Nah, sekarang tinggal latihan,” ceritanya sumringah.

“Saya mau buktikan. Membuktikan bahwa saya sebagai disabilitas itu mampu. Mempunyai harapan tinggi, bisa seperti orang yang non-disabilitas. Kedua, bisa membanggakan orang tua dengan prestasi yang saya dapatkan di dunia olahraga. Terus, yang ketiga, harapan sih dari Kemenpora, atau dari pemerintah, lebih memperhatikan disabilitas, lebih baik lagi harapannya,” ujar Egi menambahkan.

Dukungan Keluarga Kian Penting

Berbeda dengan Egi yang baru, terjun ke dunia atlet, cerita Gita Riana Tarigan (27) tak kalah menarik. Sebagai atlet disabilitas tunagrahita, dia juga ibu satu orang anak.

Gita bercerita bahwa sudah menjadi atlet sejak tingkat sekolah dasar. Tahun depan, bersama Egi dan atlet lainnya, ia lolos seleksi sebagai kontingen dari Kota Bandung di cabang olahraga atletik lari sprint 100-200 meter.

“Awalnya sih kurang suka ya [olahraga], cuma kegiatan sekolah pada saat SD itu lagi gemar-gemarnya atlet kan, jadi disalurkan sama sekolah untuk ikutan. Awalnya ikutan latihan-latihan saja, akhirnya ternyata ada organisasinya NPCI untuk penyandang disabilitas, jadi saya masuk ke sana gitu. Dari situ ikut latihan-latihan, ikut event akhirnya,” ceritanya.

National Paralympic Committee Indonesia (NPCI), alias Komite Paralimpiade Nasional Indonesia, adalah organisasi olahraga yang menaungi dan membina atlet penyandang disabilitas di Indonesia. Organisasi ini berdiri sejak 1962 dengan nama awal Yayasan Pembina Olahraga Cacat (YPOC), NPCI berfungsi mengoordinasikan, melatih, dan membentuk atlet disabilitas berkualitas untuk berbagai kejuaraan di tingkat daerah, nasional, hingga internasional.

Terhitung hingga saat ini, Gita masih setia dengan cabang olahraga lari. Ia tekuni dengan keikhlasan tanpa pikiran negatif sekalipun. Menurutnya setiap kegagalan bukan jadi halangan. Justru menjadi pemicu untuk membuka jalan menyambut masa depan. “Enggak sih [kepikiran berhenti], positif terus. Kalau misalkan kita gagal, besok masih bisa lagi,” ucapnya sambil tersenyum.

Atlet Disabilitas Kota Bandung

Atlet perempuan penyandang disabilitas tunagrahita, Gita Riana Tarigan (27) saat diwawancarai tirto di sela-sela latihan di GOR Pajajaran, Kota Bandung, Jumat (13/9/2025) sore. Ia lolos tahap seleksi dan terpilih sebagai atlet kontingen dari Kota Bandung untuk ajang Pekan Paralimpik Daerah (Peparda) VII Jawa Barat yang berlangsung di Kabupaten Indramayu tahun 2026. tirto.id/Amad NZ.

Ketekunan itupun yang memberinya hasil. Gita sempat memboyong emas setelah menjadi juara dalam ajang Praperda tahun 2018 silam. Kendati sudah mencapai puncak, ia masih bakal terus melaju dengan target yang lebih tinggi.

Ia pun tak lupa mensyukuri sekian dukungan yang keluarganya berikan. Terkhusus sang suami, pendukung utama yang merestui keseriusannya dalam bidang olahraga, tak punya sudut pandang patriarki.

Alhamdulillah [keluarga mendukung]. Suami [yang paling mendukung], soalnya banyak juga kan yang di luar sana, yang sudah berumah tangga--mungkin termasuk saya perempuan--mungkin, ‘Istri sudah kamu diam di rumah saja. Kamu ngapain sih kerja, ngapain sih berprestasi? Buat apa kamu berkembang, sudah aja diam di rumah,’ gitu. Kalau suami saya enggak sih. Dia masih mendukung. Apalagi saya disabilitas, suami saya non-disabilitas,” ungkapnya.

Puluhan tahun sebagai olahragawan, ia menilai, mesti ada persamaan ketika pemerintah memperlakukan atlet disabilitas dan non-disabilitas. Sesederhana tidak perlu membanding-bandingkan antara kedua atlet itu dari segi bonus hingga tunjangan bulanan. Kendati hal itu sudah mulai membaik, menurutnya harus tetap menjadi perhatian.

“Cuma sekarang dari 2018 tuh udah mulai care lah sama anak disabilitas ternyata pemerintah itu. Sekarang sudah lebih enak lah pemerintah. Kita juga sama-sama membawa nama kota, atau membawa nama Indonesia, atau membawa nama Jawa Barat gitu kan. Jadi jangan sampai dibedain-bedain aja sih,” harapnya.

Kota Bandung dan Ambisi Juara Umum Peparda

Sementara itu Sekretaris Umum National Paralympic Committee Indonesia (NPCI) Kota Bandung, Djumono turut mengapresiasi perhatian dan dukungan yang diberikan pemda. Meski menurutnya ada peningkatan yang masih diperlukan.

Sejumlah sarana dan prasarana untuk atlet disabilitas, menurutnya masih kurang begitu memadai. NPCI Kota Bandung mengharapkan, kebutuhan akan fasilitas latihan para atlet bisa segera dipenuhi pemerintah kota.

"Alhamdulillah dukungan sudah cukup bagus, baik pembinaan, pengawasan, maupun bantuan anggaran. Tapi karena atlet memiliki [keterbatasan] berbagai fasilitas disabilitas, kami masih membutuhkan sarana dan prasarana tambahan," jelas Djumono.

Dia mengatakan beberapa alat perlu didatangkan dari negara lain. Hal ini semata-mata untuk meningkatkan daya saing para atlet di Kota Bandung.

"Misalnya, kursi roda khusus atletik yang harus impor, juga peralatan lain yang belum memadai dibandingkan daerah pesaing seperti Bekasi dan Bogor. Itu membutuhkan dukungan penuh dari pemerintah kota dan DPRD agar anggaran bisa mencukupi," ucapnya.

Kejuaraan renang disabilitas di Jakarta

Peserta memacu kecepatannya saat tampil dalam kejuaraan renang disabilitas di Kolam Renang Bulungan, Jakarta, Kamis (24/4/2025). ANTARA FOTO/Fauzan/Spt.

Meski masih ada sejumlah peningkatan yang diperlukan, Djumono melihat peningkatan antusiasme dari para atlet disabilitas. Pada tahun 2025 ini, ada sebanyak 200 atlet dan 100 pelatih lolos seleksi program pelatihan cabang (Pelatcab) yang akan diturunkan dalam Peparda 2026.

"Tapi bulan Desember nanti akan dilakukan seleksi lagi untuk mengevaluasi prestasi atlet selama pelatihan. Dari situ akan dipilih atlet yang masuk tim inti menuju Peparda 2026 di Kabupaten Indramayu pada November 2026," ungkap Djumono kepada Kontributor Amad NZ yang melaporkan untuk Tirto, Senin (15/5/2025).

Sebagian besar atlet itu berasal dari Kota Bandung, tapi ada juga beberapa atlet dari luar daerah yang lolos seleksi. Ia menyebutkan, para atlet dari luar daerah, ialah mereka yang belum pernah bergabung di NPCI daerah masing-masing sebelumnya.

"Mereka ada yang sudah berpengalaman, ada juga yang baru. Selama memenuhi syarat, mereka bisa ikut seleksi dan menjadi bagian dari Pelatcab NPCI Kota Bandung," ujar Djumono.

Ia menambahkan, terdapat wajah-wajah baru yang bakal memperkuat tim kontingen dari Bandung. "Betul, ada sejumlah atlet baru dengan prestasi yang cukup bagus. Mereka kami masukkan dalam Pelatcab," tambahnya.

Namun atlet-atlet senior pun masih mendominasi daftar kontingen yang diturunkan nanti. Prinsipnya, kata Djumono, siapapun yang punya peluang meraih prestasi, akan diberi kesempatan untuk bertanding mewakili Kota Bandung.

Terutama setelah tiga periode sebelumnya, NPCI Kota Bandung absen menjadi juara umum. Padahal menurut Djumono, Bandung sejak awal adanya Peparda pada tahun 2002, selalu menjadi juara umum. Setidaknya hingga Peparda IV pada tahun 2014.

"Pada 2018 di Kabupaten Bogor, kami berada di posisi kedua. Lalu di Peparda 2022, Kota Bandung berada di urutan ketiga setelah Bekasi dan Bogor. Jadi sejak 2018 hingga 2022, Kota Bandung hanya konsisten tiga besar," ucapnya.

Target khusus pun diemban kontingen Bandung. Menurutnya target tersebut dibalut rasa optimistis tinggi, lantaran para atlet menjadi memiliki jam terbang membela Jabar di Peparnas beberapa waktu lalu. "Kami ingin kembali merebut juara umum," ungkapnya.

Ia mengungkapkan, cabang unggulan NPCI Kota Bandung, sejauh ini diantaranya angkat berat, tenis meja, catur, renang, dan atletik. Selain itu, cabang voli duduk juga pernah menyumbang prestasi.

Seperti halnya pada Peparda 2022 silam, tim voli duduk putri Kota Bandung menjadi juara umum meski hanya dipertandingkan di level grup.

Baca juga artikel terkait DISABILITAS atau tulisan lainnya dari Amad NZ

tirto.id - News Plus
Kontributor: Amad NZ
Penulis: Amad NZ
Editor: Alfons Yoshio Hartanto