tirto.id - Pada 1992, melalui novelnya yang berjudul Snow Crash, Neal Stephenson memperkenalkan konsep bernama metaverse. Menukil novel bertema fiksi ilmiah tersebut, konsep itu "tidak benar-benar ada. Namun, saat ini, jutaan orang melangkah, menjelajah, dan beraktivitas di dalamnya [...] menggunakan komputer ataupun mesin yang cukup kuat."
Stephenson terinspirasi dari kerja John Walker dan Jaron Lanier dari Autodesk dalam menciptakan teknologi bernama virtual reality (VR). Dalam benak Stephenson, sebagaimana dipaparkan Cory Ondrejka dalam studinya berjudul "Escaping the Gilded Cage: User Created Content and Building the Metaverse" (2004), "metaverse merupakan lingkungan daring, dunia selain dunia fisik, yang menjadi tempat nyata lain bagi para penggunanya untuk melakukan beragam aktivitas, baik sosial, bisnis, maupun hiburan."
Semenjak Stephenson memperkenalkan metaverse, banyak pihak berupaya mewujudkannya menjadi nyata. Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh populasi komputer yang kian menggurita, melalui pelbagai gim bertema MMORPG alias "massively multiplayer online role-playing game" yang tumbuh pada pertengahan 1990-an, semisal Meridian 59, World of Warcraft, The Sims, hingga Ragnarok Online.
Namun, karena MMORPG adalah video gim, maka ia gagal menghidupkan ruh sebenarnya dari metaverse. Ia hanya menyajikan dunia virtual untuk bermain, sedikit menyentuh interaksi sosial, dan gagal total terkait aktivitas bisnis bagi para penggunanya. Sementara itu, kembali merujuk Ondrejka, kegagalan MMORPG menjadi metaverse sesungguhnya terutama dipengaruhi oleh "besarnya modal yang harus disiapkan untuk membuat semesta sebesar metaverse." Terlebih, kala itu, meskipun komputer lumrah dimiliki, teknologinya masih terbatas.
Meskipun pelbagai video gim MMORPG yang muncul pada pertengahan hingga akhir 1990-an gagal mewujudkan metaverse seperti yang dipikirkan Stephenson, namun upaya penciptaan metaverse sebenarnya tak pernah sirna. Pada awal tahun 2000-an, misalnya, Valve Software memelopori kemunculan video gim yang mempersatukan kerja sama, realisme, dan gameplay yang menarik sesuai dengan gerak nyata manusia melalui Counter-Strike--hasil modifikasi dari video gim Half-Life.
Upaya ini lantas disempurnakan dengan kemunculan Second Life, video gim buatan Linden Labs pada 2003. Hal ini memantik para penggunanya untuk membuat konten di dalam semesta gim ini hingga lahir Pokemon Go--gim yang dipelopori penggagas Google Earth dan Google Maps dengan menyatukan dunia nyata dengan dunia maya. Membuat arti "hidup" dalam dunia fisik, hadir pula dalam dunia digital. Sebuah arti yang kian digembar-gemborkan melalui film Ready Player One (2018)garapan Steven Spielberg.
Roblox dan Mimpi Zuckerberg
Hampir 30 tahun setelah konsep metaverse diperkenalkan Stephenson, bukan The Sims, Counter Strike, Second Life, ataupun Pokemon Go yang berhasil menghidupkan konsep kehidupan virtual ini menjadi nyata, melaikan Roblox.
Diciptakan oleh Erik Cassel dan David Baszucki, Roblox merupakan perwujudan baru dari video gim dengan mempersatukan kaidah-kaidah aplikasi komputer atau smartphone. Tempat para penggunanya bermain gim, juga menciptakan gim yang beragam, berinteraksi sosial, melakukan jual-beli, menghadiri konser, menjelajah berbagai tempat, dan pelbagai kegiatan lainnya. Mereka terlebih dahulu berubah bentuk dari tubuh fisik manusia menjadi avatar.
Menurut Baszucki dalam wawancaranya dengan Tony Sims untuk Wired pada 2013, Roblox merupakan tempat pelarian orang-orang dari dunia fisik ke dunia digital untuk memperoleh pengalaman yang menyenangkan nan imajinatif. Pusat dunia maya yang menghubungkan segala hal. Popularitas ini lantas diganjar dana segar dari pelbagai kapital ventura, seperti Meritech Capital dan Tencent yang memberi dana senilai $335 juta, serta Andreessen Horowitz yang menyuntik dana segar senilai $4 miliar untuk Roblox.
"Saya pikir, Roblox akan menjadi metaverse (dalam arti Stephenson) yang sebenar-benarnya," tegas Horowitz, salah satu investor terkemuka di Silicon Valley, mengenai keputusannya berinvestasi pada Roblox.
Dipengaruhi kesuksesan Roblox mewujudkan metaverse, juga mencoba menghindar dari pelbagai skandal, Mark Zuckerberg mengubah Facebook menjadi "Meta" dalam arti metaverse. Menurutnya, keputusan ini diambil karena "metaverse merupakan evolusi berikutnya dari jaringan sosial. Tempat di mana orang-orang dari seluruh dunia berkumpul untuk bersosialiasi, belajar, berkolaborasi, bermain dengan cara yang melampaui apa yang mungkin dapat dilakukan saat ini."
Keputusan Zuckerberg mengubah Facebook menjadi Meta, menurut Steven Levy dalam Facebook: The Inside Story (2020), merupakan upaya media sosial ini untuk bertahan hidup, agar tak mengalami nasib serupa Friendster ataupun MySpace. Terlebih pada 2012, dengan uang senilai $2 miliar serta bonus $700 juta untuk pendirinya, Zuckerberg berhasil membeli Oculus--perangkat gim virtual reality bikinan Palmer Luckey dan John Carmack.
Oculus kata Zuckerberg, "mengguncang otakku", saat dia mencobanya untuk pertama kali. Dia percaya bahwa Oculus dapat dimanfaatkan selain untuk bermain gim, misalnya menyimpan ingatan manusia dalam bentuk digital usai memanfaatkannya untuk merekam tindak-tanduk Max, putri Zuckerberg.
"Ini benar-benar keren!" tegas Zuckerberg melihat potensi Oculus, yang dipercayanya dapat mengubah Facebook menjadi metaverse sesungguhnya.
Dengan mengubah nama Facebook menjadi Meta, Zuckerberg mengalihkan fokus perusahaan. Menurutnya, seperti dipaparkan Megan Graham untuk The Wall Street Journal, "Facebook hari ini (Meta) berbeda dengan Facebook dahulu."
Ia bukan sebagai media sosial semata, tetapi bertransformasi menjadi platform digital--yang diberdayakan dengan Oculus--sebagai tempat bagi siapa pun di seluruh dunia melakukan kegiatan apa pun. Sebuah strategi bisnis yang meniru langkah Google tatkala perusahaan yang didirikan Larry Page dan Sergey Brin itu merestrukturisasi perusahaan dengan membentuk Alphabet pada 2015 untuk membedakan divisi yang mengerjakan Search--sebagai inti usaha Google--dengan divisi lain alias Other Bets.
Kala Facebook berubah menjadi Meta, Zuckerberg mengemas aplikasi Facebook, Instagram, Messenger, dan WhatsApp menjadi satu kesatuan dalam naungan Family of Apps. Di sisi lain, dia meluncurkan Facebook Reality Labs guna mencoba peruntungan membangun metaverse. Inilah mimpi basah Zuckerberg untuk menguasa dunia.
Editor: Irfan Teguh