tirto.id - Steven Spielberg, lewat film terbarunya, berupaya membawa rupa-rupa imajinasi yang biasanya terpampang dalam gim maupun film animasi ke dalam genggaman tiap orang. Tak sekedar medium untuk bersenang-senang, melainkan juga dijadikan alat perlawanan. Tujuannya: menyelamatkan umat manusia dari penindasan.
Kira-kira seperti itulah narasi Ready Player One. Perlawanan, orang-orang yang disepelekan, korporasi besar teknologi, sampai pertarungan kebaikan versus kejahatan adalah hal-hal yang bakal dijumpai sepanjang sekitar dua jam film berlangsung, selain tentunya tokoh-tokoh animasi yang diambil dari produk pop culture macam Gundam, Jurassic Park, dan lain sebagainya.
Cerita bermula saat teknopreneur eksentrik bernama Halliday (Mark Rylance) mengumumkan akan menyerahkan semua kekayaannya asalkan orang-orang dapat menemukan telur emas miliknya di sebuah tempat rahasia. Halliday adalah pendiri sekaligus pencipta OASIS, virtual reality (VR) yang sangat populer di masyarakat.
Pengumuman tersebut membuat orang-orang, terutama pengguna OASIS, antusias. Mereka berlomba-lomba memenangkan kompetisi ciptaan Halliday. Tak terkecuali bagi Wade (Tye Sheridan), Samantha (Olivia Cooke), dan Sorrento (Ben Mendelsohn).
Tiga orang itu punya tujuan sendiri-sendiri. Wade ingin jadi kaya dan pindah dari rumah tantenya yang gemar gonta-ganti pasangan. Ia terpaksa tinggal di sana sebab orangtuanya sudah lama meninggal. Samantha menjadikan lomba OASIS ajang balas dendam atas kematian ayahnya. Sedangkan Sorrento berharap menang agar bisa membawa perusahaannya, IOI (Innovative Online Industries), menguasai OASIS dan jadi raksasa teknologi nomor satu.
Perlombaan dibagi jadi tiga tahapan. Setiap tahapan menyediakan kunci untuk membuka petunjuk tahapan selanjutnya yang menuntun ke telur emas. Petunjuk yang diberikan berisi semua hal mengenai sosok Halliday. Untuk dapat berpartisipasi dalam lomba ini, tiap orang harus memakai kacamata VR dan menentukan karakter sesuai pilihannya (Wade punya avatar bernama Parzival, Samantha dengan Art3mis).
Fase inilah yang coba ditonjolkan oleh Spielberg sebagai kekuatan Ready Player One. Di dalam perlombaan tersebut, ada banyak avatar yang diambil dari budaya pop. Anda bisa menjumpai Lara Croft, Iron Giant, King Kong, Millenium Falcon, sampai Gundam. Banyaknya avatar dari budaya pop itu tak mengagetkan, mengingat salah satu moto OASIS adalah “bisa jadi siapapun dan pergi ke tempat mana pun yang ingin kalian tuju.”
Keberadaan para avatar tersebut dibungkus dengan visualisasi yang proporsional. Adegan perlombaan hingga pertarungan antar avatar yang berisikan banyak perkakas canggih begitu memanjakan mata seperti sedang berada di era kejayaan Final Fantasy. Dalam urusan ini, Spielberg berhasil membuat perhatian terpusat pada layar. Setidaknya untuk saya pribadi.
Hal lain yang patut diapresiasi adalah kala Spielberg berupaya menyertakan pesan keberagaman dan posisi perempuan melalui karakter-karakternya yang tak hanya jadi kosmetik semata. Tentang keberagaman dapat dilihat pada avatar bernama Sho dan Daito—sama-sama berwujud samurai—yang diperankan oleh orang Asia (Win Morisaki serta Philip Zhao).
Sementara itu, pesan mengenai perempuan dapat dijumpai dalam karakter Aech (Lena Waithe) yang juga kulit hitam dan Art3mis. Dengan kedua karakter itu, Spielberg hendak menegaskan perempuan dalam dunia virtual maupun kenyataan punya porsi besar yang mampu menentukan. Bahkan, untuk avatar Aech sendiri, Spielberg menggambarkannya dengan sosok yang kuat dan jago merakit teknologi.
Masalahnya, hanya poin itu yang jadi keunggulan Ready Player One. Untuk urusan efek visual dan bagaimana Spielberg menyelipkan banyak ikon budaya pop di satu tempat, Ready Player One bisa dibilang sukses. Namun, untuk perkara cerita dan konteks yang ingin disampaikan, film ini masih lemah dan tak jelas ke mana arahnya.
Sejak awal, cerita Ready PlayerOne sudah padat membawa muatan terlalu banyak. Di satu sisi, cerita film ini berangkat dari kegelisahan Halliday akan penerus masa depan OASIS. Seiring bergulirnya plot, tiba-tiba muncul narasi perlawanan terhadap korporasi IOI yang digambarkan tamak dan berambisi berkuasa. Namun, di akhir laga, muncul narasi lain yang sifatnya lebih personal yang menyentil relasi Halliday dengan rekannya, Odgen Morrow (Simon Pegg).
Ketidakjelasan cerita yang dibangun Spielberg, merusak sajian visual yang sudah disusun rapi. Ihwal inkonsistensi ini membuat saya berkali-kali harus menyusun satu per satu kepingan yang ada untuk mencari benang merah yang mungkin saja disembunyikan. Namun, apa daya, benang merah itu tak pernah ada. Spielberg pun membiarkan cerita Ready Player One menjalar sampai ke mana-mana.
Hal lain yang mengganggu dari Ready Player One adalah dua pemandangan yang berbeda dan tak sejalan antara dunia virtual serta kenyataan. Di dunia virtual, Anda disediakan kemewahan untuk jadi siapa saja. Namun, di dunia nyata, hal itu tidak berlaku, seperti yang dialami tokoh utama Wade yang tetap jadi pecundang dan takut mengambil keputusan dalam hidupnya kendati di dunia virtual ia berjaya serta dielu-elukan bersama avatarnya, Parzival.
Satu-satunya karakter yang konsisten dalam fantasi dan realita di Ready Player One adalah Sorrento yang kejam, bengis, dan tak ragu menyingkirkan siapa saja yang menghalangi langkahnya. Sedangkan dunia virtual dan kenyataan asli karakter lain digambarkan begitu kontras. Dari sini lantas muncul pertanyaan: bagaimana mereka, para tokoh utama, membangun dunia yang lebih baik jika hanya berani bertindak dan bersembunyi di balik dunia virtual?
Tak sebatas itu saja. Pada akhirnya keberhasilan Wade dan kawan-kawannya mendapatkan telur emas serta menyingkirkan ambisi jahat IOI memang tidak mengubah situasi di dunia nyata. Orang-orang di sekitarnya mereka tetap saja miskin, tinggal di kawasan kumuh, serta jadi pengangguran yang kerjanya hanya bermain virtual reality bikinan OASIS.
Ironis, bukan?