Menuju konten utama

Daddy Issue dan Lara yang Manusiawi dalam Tomb Raider

Lara Croft dirombak ulang. Latar belakangnya diperdalam—agar lebih manusiawi dan masuk akal. Sayangnya prematur.

Daddy Issue dan Lara yang Manusiawi dalam Tomb Raider
Alicia Vikander sebagai Lara Croft dalam Tomb Raider. Warner Bros/Graham Bartholomew

tirto.id - Alicia Vikander jadi Lara Croft, karakter utama gim Tomb Raider, yang pada awal 2000-an lalu sempat diperankan Angelina Jolie. Gim-nya sendiri sudah ada sejak 1996, membuat Lara Croft jadi salah satu tokoh wanita yang berhasil bertahan dua dekade lebih dalam dunia gim. Ia sering digadang-gadang sebagai simbol feminisme, sekaligus bom seks.

Dalam versi awalnya, penampilan Lara dibikin super-seksi, untuk menarik minat para pemain gim yang didominasi laki-laki. Tank top dan hot pants ketat jadi salah satu ciri khasnya. Fesyen itu pula yang dipasangkan pada Lara Croft versi Jolie—yang saat itu juga jadi salah satu aktris simbol seks.

Anita Sarkeesian dari Feminist Frequency, organisasi nirlaba yang memantau representasi perempuan dalam budaya populer bilang, “Dia (Lara) adalah salah satu representasi perempuan dalam dunia gim paling ikonik, tapi bukan berarti hal itu bagus. Dia adalah karakter yang sensualitasnya dilebih-lebihkan dan mempromosikan objektifikasi yang pekat pada wanita.”

Menurut Sarkeesian, hot pants Lara memang sengaja diciptakan “agar para pemain (gim) melihatnya sebagai objek seks.”

Meagan Marie, dari Crystal Dynamics, perusahaan pengembang gim Tomb Raider tak menampik citra itu. Namun, ketenaran dan eksistensi Lara yang bertahan lebih dari dua dekade dianggap Marie juga punya nilai lebih. “Dia adalah ikon seks sekaligus ikon feminis, dan tak ada salahnya jadi kedua-duanya di saat bersamaan,” kata Marie seperti dikutip dari New York Times.

Hal itu juga yang ingin ditunjukan film Tomb Raider.

Maka, ketika nama Alicia Vikander dipilih sebagai pengganti Jolie, orang-orang jadi penasaran. Pasalnya, Vikander lebih dikenal sebagai aktor drama ketimbang ikon seks, seperti Jolie (yang kini lebih dikenal sebagai aktivis dan humatarian). Pemenang Oscar itu diharapkan bisa membawa karakter Lara Croft ke level tersebut. Pertanyaannya, berhasilkah ia?

Daddy Issue jadi Pemicu

Sasana tinju jadi latar pembuka film. Di atasnya ada Lara yang sedang berlaga dengan perempuan lain. Mereka berdua tampak sangat atletis, bugar, ditambah perut kotak-kotak. Singkat cerita, Lara kalah. Ia nyaris kehabisan napas saat dipiting lawan.

Di ruang ganti, Lara bergosip dengan kawannya yang lain tentang kekalahan itu. Ia tak rela diledek babak belur, dan—sambil bercanda—bertekad bikin babak belur balik lawannya tadi. Percakapan itu dipotong sang pelatih, yang juga pemilik sasana. Ia menagih iuran dari Lara yang rupanya sudah menunggak beberapa bulan.

Dari dua adegan tak sampai sepuluh menit itu saja, kita disuguhkan karakter Lara yang beda. Ia ternyata bukan manusia super-kuat yang tak terkalahkan, dan ingin bunuh diri. Dua sifat yang dimiliki Lara versi Jolie. Versi Vikander juga lumayan humoris.

Daur ulang itu langsung dibangun sutradara Roar Uthaug sejak awal film. Dalam lima belas menit pertama, kita akan melihat karakter Lara Croft yang baru dan lebih dalam. Ia memang masih keturunan keluarga Croft yang kaya raya, tetapi Lara versi Vikander tak mau menerima harta kekayaan ayahnya karena tak ingin menandatangani surat warisan. Sebab, tanda tangannya juga berarti sebagai surat kematian sang ayah—yang sudah hilang tujuh tahun dalam suatu perjalanan ekspedisi.

Lara bukannya tak mau kaya. Ia cuma enggan mengakui kematian sang ayah, yang diam-diam diyakininya masih hidup.

Daddy issue ini yang kemudian dikembangkan Uthaug jadi batang utama kisah Tomb Raider. Ia juga akan memberi sepotong-dua potong ingatan Lara tentang masa kecilnya dan sang ayah. Uthaug ingin penonton paham kedekatan Lara dan Lord Richard Croft, yang diperankan Dominic West. Sehingga, nanti ketika pilihan-pilihan Lara terasa ganjil di tengah film, kita akan ingat bahwa motivasi karakter utama adalah sang ayah. Dari sana, kita juga akan paham, bahwa kemampuan memanah Lara tidak datang tanpa latihan keras dan panjang.

INFOGRAFIK TOMB RAIDER

Lima belas menit awal ini sungguh menjanjikan. Lara Croft versi Vikander jadi tampak lebih manusiawi dan punya motivasi jelas. Uthaug juga menyelipkan adegan kejar-kejaran di jalanan London yang menonjolkan sifat pemberontak Lara—sejauh ini, versi Vikander memang lebih sesuai dengan karakter penonton milenial. Ia bahkan tampil dengan pakaian lebih tertutup dari versi Jolie, bukti bahwa karakter perempuan dalam gim tak mesti tampil seksi agar menjual—sesuatu yang dikutip Uthaug dari Lara versi Crystal Dynamics.

Setelah dikenalkan dengan Lara versi baru, petualangan sang calon arkeolog lantas tertebak belaka. Bak ejakulasi dini, sisa film yang diputar tak lagi semulus sekaligus dalam seperti lima menit pertamanya. Plot yang disajikan Uthaug selanjutnya sangat dangkal. Mirip dengan plot Indiana Jones and the Last Crusade, dan film-film petualangan sejenis dari era 1980an akhir sampai awal 2000-an.

Dalam kasus Tomb Raider: Lara terbang ke Hong Kong untuk bertemu Lu Ren (Daniel Wu) yang otomatis jadi sidekick-nya. Kemudian mereka berlayar ke sebuah pulau tak berpenghuni di Jepang, bertemu dengan Mathias Vogel (Walton Goggins)—tokoh antagonis utama yang hadir semata-mata untuk jadi penjahat, dengan motivasi yang tak terlalu jelas dan nyaris tak tergali. Tomb Raider kemudian tampil sebagai tontonan monoton yang pesannya jelas: perang antara kebajikan versus kejahatan.

Di zaman ini, film-film adaptasi komik sudah tampil dengan gebrakan jalan cerita segar yang tak lagi monoton. Marvel misalnya, dengan Black Panther-nya, berani menampilkan jalan cerita yang lebih kompleks. Killmonger, sang antagonis utama, hadir dengan perspektif unik yang bisa bikin penonton berkhianat dari T’Challa, sang tokoh utama. Pilihan berisiko itu ternyata disambut baik.

Sayangnya, Tomb Raider belum bisa sampai ke sana. Seperti film-film adaptasi dari gim lainnya semacam War Craft dan Assasin Creed, petualangan Lara versi Vikander juga terasa tanggung. Pergolakan batinnya saat pertama kali terpaksa membunuh seseorang tak diasah tajam. Kita cuma sempat melihatnya menangis sekejap. Saat anak panahnya mulai membunuh satu per satu anak buah Vogel, Lara tampak sudah terbiasa. Tapi, tak ada yang berubah dari karakter Lara sebelum dan setelah ia jadi pembunuh berdarah dingin. Tangis sekejap di tengah film itu pun jadi makin hambar.

Kedangkalan ini masih bisa diperbaiki Uthaug dalam sekuel Tomb Raider, yang masih belum tahu jadwal tayangnya. Namun, menimbang ujung film ini, sukar membayangkan kalau Lara versi Vikander cuma berakhir di sini.

Baca juga artikel terkait TOMB RAIDER atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Film
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Windu Jusuf