tirto.id - Pacific Rim (2013) adalah salah satu film impian Guillermo del Toro, sutradara berdarah Meksiko yang tenar di pasar Hollywood. Ia memang dikenal punya kegilaan sendiri pada dunia monster—sesuatu yang kemudian ia pelihara dalam film-filmnya.
Setelah sukses dengan Hellboy (2004), Pan’s Labyrinth (2006), dan dua saga The Hobbit (2012 dan 2014), Pacific Rim jadi obsesi monster del Toro.
Di sana, del Toro terinspirasi Godzilla untuk menciptakan Kaiju—monster jahat dari dimensi lain yang ingin menginvasi Bumi. Nama itu diambil dari bahasa Jepang yang artinya binatang buas. Untuk melawan sang monster, ia menciptakan Jaeger—robot petarung, yang rakitannya mirip Transformer atau robot Power Rangers—terinspirasi dari anime mecha macam Gundam dan tokusatsu macam Ultraman. Jaeger sendiri adalah bahasa Jerman yang berarti pemburu.
Film itu kemudian sukses meraup sekitar 411 juta dolar di seluruh dunia.
Tapi angka paling besar—sekira 114 juta Dolar AS—justru datang dari negeri Cina, yang menempatkan Pacific Rim jadi film keenam terlaris sepanjang masa di negeri dengan penduduk terbanyak di dunia itu.
Tentu saja kesempatan bisnis ini tidak disia-siakan: sebuah sekuel kemudian dirancang. Namun, kursi sutradara tak lagi milik del Toro. Ia berpindah kursi jadi Produser Eksekutif, sementara kursi lamanya ditempati Steven DeKnight—dikenal sebagai produser Daredevil dan Spartacus.
Sekuel ini berjudul Pacific Rim: Uprising—selanjutnya disebut Uprising. Plot ceritanya masih tentang para Jaeger dan pilotnya yang melawan Kaiju. Bagi yang belum menonton film pertama, tak perlu khawatir bingung. Beberapa menit pertama, semua kejadian di film sebelumnya dijelaskan lewat narasi singkat Jake Pentecost (John Boyega)—anak Stacker Pentecost (Idris Elba), tokoh utama di Pacific Rim yang mati sebagai pahlawan demi melindungi Bumi dari kedatangan Kaiju.
Uprising mengambil latar 10 tahun setelah film pertama—tempat sebagian Bumi masih berbenah karena kehancuran yang disebabkan pertarungan raksasa Kaiju dan Jaeger; sementara sebagian lain masih berupa puing-puing.
Jake hidup di sebuah mansion mewah yang separuh bopeng dan ditinggalkan pemiliknya. Ia hidup sebagai pedagang pasar gelap, yang khusus menyediakan onderdil bekas Jaeger yang tercecer di zona perang. Dalam sebuah transaksi yang berakhir kejar-kejaran dengan polisi, Jake bertemu Amara Namani (Cailee Spaeny), bocah yatim piatu berusia 15 tahun yang pintar membuat Jaeger mini.
Adegan pertemuan itu singkat dan padat. Jake dan Amara sekonyong-konyong punya chemistry kuat. Mereka langsung senang beradu mulut, tapi bukan seperti orang asing yang baru bertemu, melainkan kakak-adik yang dipaksa berjumpa dalam acara keluarga. DeKnight kentara sekali tak ingin membuang waktu. Keakraban Jake dan Amara harus sesegera mungkin dibangun kalau ia ingin adegan pamungkas yang melibatkan dua tokoh itu di pengujung film berhasil. Tak ada salahnya, cuma tetap saja terasa janggal.
Plot makin janggal ketika Jake ternyata disuruh jadi guru di akademi pilot Jaeger sebagai hukuman tindakan kriminalnya. Kesempatan itu ia pakai untuk menenteng Amara jadi muridnya. Dua kriminal ini benar-benar beruntung karena nasib membawa mereka jadi pahlawan. Sebuah keberuntungan yang sebenarnya bikin sebal dan tak berfaedah apa-apa ke jalan cerita. Kenapa tidak sekalian bikin saja cerita kalau Jake dan Amara memang partner in crime di dunia pasar gelap onderdil Jaeger? Setidaknya chemistry sekonyong-konyong mereka akan jauh lebih masuk akal, toh?
Sisa plot ke belakang juga bikin sebal. Terlalu banyak ranjau konflik yang disebar DeKnight dengan ujung menggantung—tanpa resolusi, tanpa penyelesaian.
Jake diceritakan sebal setiap kali dikait-kaitkan dengan nama besar ayahnya. Tapi tak ada penjelasan kenapa hal itu penting terjadi di film ini. Kita cuma akan diberi jawaban: “Aku bukan ayahku”, yang diucapkan Jake dua kali, di narasi pembuka dan ceramah perdananya sebelum perang besar. Kemudian, ada kisah cinta segitiga yang hadir antara Jake dan co-pilotnya Nate Lambert (Scott Eastwood), dengan seorang teknisi perempuan yang muncul hanya untuk bumbu cerita tak berfaedah ini. Jika bagian itu dipotong, niscaya kita sebagai penonton tak akan merugi.
DeKnight juga memberikan penonton teaser sejak awal cerita, bahwa karakter Amara punya masa lalu berat terkait Kaiju dan cerita kehilangan orang tuanya. Ia ingin membuat kita yakin bahwa motivasi sang yatim piatu cukup kuat untuk menciptakan mental seorang prajurit yang tak takut mati. Sayangnya, presentasi itu lagi-lagi menggantung.
Motivasi Amara cuma hadir agar Uprising punya adegan serupa dengan film sebelumnya: ketika Mako (Rinko Kikuchi)—kakak angkat Jake—hampir menghancurkan pangkalan armada Jaeger karena teringat masa kecilnya saat proses sinkronisasi pikiran pilot. Amara juga punya adegan serupa dalam Uprising, ketika ia harus mensinkronkan pikirannya dengan Jake—proses itu memang harus dilewati pilot Jaeger, sebab robot itu harus dikendalikan dua orang yang pikirannya terkoneksi.
Entah kenapa adegan ini harus hadir dalam Uprising. Mungkin DeKnight ingin penonton sadar betapa pentingnya karakter Amara—sebagaimana peran Mako dalam Pacific Rim. Masalahnya, untuk apa menyadarkan penonton bahwa karakter mereka penting, jika Mako pun akhirnya dibikin tewas dalam seperempat sekuel ini?
Lagi pula adegan Mako kecil yang hampir diinjak Kaiju dalam Pacific Rim lebih menggetarkan, ketimbang adegan Amara kecil disenggol Kaiju yang ingin menyebrang. Ditambah lagi akting Mana Ashida sebagai Mako kecil lebih berkesan dan mustahil dilupakan.
Satu-satunya yang membuat karakter Amara jauh lebih menarik dari Mako adalah sifat pemberontaknya. Dalam Uprising tak ada adegan-adegan mansplaining dari Jake ke Amara, sebab bocah itu selalu melawan dan bersikeras mempertahankan pendapatnya. Dalam Pacific Rim, tokoh Railegh (Charlie Hunnam) sayangnya selalu melakukan mansplaining pada Mako, sehingga pesan feminis di dalamnya jadi hambar.
Secara keseluruhan, dasar logika yang digunakan DeKnight untuk membangun sekuel Pacific Rim memang tak setangguh film pertamanya. Ia memilih tampil dengan racikan alur seadanya, yang serba setengah-setengah. Setengah tentang Jake yang hidup dalam bayang-bayang nama besar Pentecost, setengah tentang Amara si yatim piatu dengan nasib besar menanti. Namun sedikit sekali tentang upaya Kaiju menguasai Bumi lewat Gunung Fuji.
DeKnight cuma berhasil mempertahankan koreografi tarung khas Jaeger versus Kaiju yang epik. Jika del Toro menyajikan visual CGI itu dengan latar malam dan gelap, maka DeKnight patut dipuji karena berani mengambil latar siang dengan hasil yang sama menariknya.
Hal lain yang terang-terangan disajikan DeKnight adalah premis untuk tidak selalu berburuk sangka pada negeri Cina. Ada putaran plot yang—sebenarnya kentara sekali—hadir di tengah-tengah cerita tentang kecurigaan Jake pada Shao Industry, sebuah perusahaan robot Cina yang dianggap punya udang di balik batu. Nyatanya, Liwen Shao, sang pemimpin perusahaan tidak seperti yang diduga.
Premis ini kentara sekali sebagai upaya Uprising memelihara penggemar mereka di Cina. Apakah salah?
Ya, tentu saja tidak. Kalau film ketiga masih diharapkan ada, sekuel ini 'kan memang harus laku dulu.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Windu Jusuf