tirto.id - Dalam banyak kesempatan, Guillermo del Toro selalu bilang kalau film teranyarnya adalah karya paling personal. “(Bahkan) ada dua adegan yang tak bisa kudiskusikan tanpa.. mewek,” katanya dalam sebuah wawancara dengan Hollywood Reporter.
Film itu berjudul The Shape of Water, yang rilis tahun lalu. Sebuah kisah cinta klasik antara si cantik dan si buruk rupa. Kurang lebih seperti film-film bertema serupa macam King Kong (1933, 1976, 2005), Beauty and the Beast (2017), atau Creature from the Black Lagoon (1954), yang kata del Toro memang menginspirasi filmnya kali ini.
Tokoh utamanya: seorang perempuan bisu, dan sesosok monster laut yang desain kostumnya mirip Abe Sapien dari film Hellboy (2004)—film yang juga disutradarai del Toro. Keduanya bertemu di fasilitas rahasia pemerintah Amerika Serikat. Elisa, sang perempuan bisu, bekerja sebagai petugas kebersihan di sana. Sementara si monster adalah “aset rahasia” yang sedang diteliti untuk dijadikan senjata melawan Rusia. Tahun latarnya adalah 1962.
Punya dua tokoh utama yang sama-sama tak bisa bicara bukan tak jadi tantangan bagi del Toro. Kisah cinta mereka harus dirakitnya sedemikian rupa, agar tetap bisa ‘bicara’ meski tanpa kata-kata. Apalagi ini bukan kisah cinta manusia biasa—ada karakter monster yang harus dirancang serupa manusia, tapi tetap cukup sangar dan berbeda untuk disebut monster. Semuanya dilakukan agar kisah cinta tak lazim itu bisa masuk akal penonton.
Proses pembuatannya memang tak sebentar: dua tahun untuk mendesain tokoh, dan setahun untuk mengeksekusinya.
Hasilnya? The Shape of Water disambut baik. Ragam penghargaan diboyong del Toro, paling anyar ia dapat 7 nominasi di Golden Globe, dan berhasil menang sebagai sutradara terbaik. Kabar baik lainnya, ia juga jadi favorit Academy Awards, karena memboyong 13 nominasi dalam Oscar tahun ini—film paling banyak masuk nominasi.
Alasannya tak susah ditebak. Sebagaimana Oscar memenangkan Moonlight tahun lalu—lengkap dengan insiden salah baca nama pemenang yang berhasil jadi kepala berita—tahun ini masuknya The Shape of Water jadi unggulan juga dibalut dugaan politis.
Pada 2016 lalu, saat Donald Trump belum terpilih jadi Presiden Amerika Serikat, ajang Academy Awards atau Piala Oscar dijuluki rasis karena tak ada satu orang kulit hitam pun dalam nominasinya. Dipandu Chris Rock, aktor kulit hitam, malam penganugerahan tahun itu dipenuhi satire yang mengejek betapa rasisnya The Academy.
Seolah ingin memperbaiki citra, tahun 2017 nominasi-nominasi Oscar memang lebih berwarna. Jimmy Kimmel, pembaca acara tahun ini, bahkan sempat menyindir The Academy dalam monolog pembukanya.
“Kita harusnya berterima kasih pada Presiden Trump, ingat tahun lalu Oscar disebut rasis?” hadirin tertawa. Maksud Kimmel, The Academy rupanya perlu ‘tekanan’ seperti Trump untuk mengintrospeksi diri agar lebih luas memasukkan orang-orang ke dalam nominasinya.
Tahun ini, protes pada Trump juga masih sorotan utama Oscar dan para seniman Hollywood. Membuat kehadiran The Shape of Water jadi unggulan terasa wajar.
Pertama, karena karakter utama film ini adalah perempuan bisu, dari kalangan ekonomi bawah. Karakter Elisa jadi simbol yang tepat melambangkan gerakan progresif perempuan dalam dua tahun terakhir yang terus bergaung di AS. Dalam film ini, meskipun tak punya kuasa apa-apa, ia berani menyelundupkan Si Aset atas nama perikemanusiaan, dan tak gentar melawan Strickland, bos tempatnya bekerja.
Strickland sendiri (yang diperankan Michael Shannon) digambarkan del Toro secara gamblang sebagai lambang kekuasaan Trump saat ini: orang pemerintahan, pria, dan kulit putih. Secara implisit, lewat karakter Strickland, ia juga ingin menunjukkan privilege yang digenggam golongan tersebut sudah sejak lama memang ada dan nyata.
Perseteruan kuasa meyoritas versus kaum minoritas itu terang sekali dipaparkan del Toro. Setidaknya lewat tokoh-tokoh protagonis lainnya: seperti Giles, tetangga Elisa yang gay; Zelda, perempuan kulit hitam dari kelas bawah; dan Si Aset sendiri—yang melambangkan perbedaan, yang tetap harus dihormati dan diperlakukan setara tanpa siksaan dan diskriminasi.
Alasan lain film ini jadi favorit di Oscar adalah karena ia merupakan karya del Toro, sutradara kenamaan dunia yang berasal dari Meksiko—salah satu negara yang paling sering disebut Trump secara negatif selama kampanye dan masa pemerintahannya. Kemenangan del Toro dalam Oscar—ajang pesta perfilman terbesar di AS—akan jadi simbol protes paling akbar buat sang presiden dari para seniman Hollywood.
Tetap Kontrovesial
Meski The Shape of Water adalah simbol protes yang positif bagi Oscar, kehadirannya sebagai unggulan dalam beberapa festival lainnya justru masih kontroversi. Pasalnya, tahun lalu ada banyak film-film bagus yang juga disambut kritikus dan dirayakan. Misalnya, Call By Your Name dari Luca Gudagnino dan Lady Bird dari Greta Gerwig. Dua film berbujet rendah itu, secara mengejutkan ternyata menyita perhatian besar secara global dan turut jadi unggulan di banyak festival film, termasuk Oscar.
Namun, buat saya sendiri film-film tersebut punya keunggulan masing-masing. Begitu pula dengan The Shape of Water. Cerita yang disampaikan del Toro lewat film ini memang unggul dalam penyampaian pesan politisnya. Selain menonjolkan kisah represi kaum berkuasa atas kaum bawah, del Toro juga mempromosikan gagasan-gagasan progresif.
Elisa misalnya, tak cuma digambarkan lewat aktivitas masturbasinya di setiap pagi. Lewat printilan kecil, seperti pakaian-pakaiannya yang berwarna hijau, jam sebagai simbol waktu yang hadir di banyak sekali adegan, sepatu bertumit, dan sinematografi dengan gradasi hijau, del Toro mempertebal pesan-pesan itu. Dalam sepotong dialog salah satu karakternya, hijau memang disebut sebagai lambang masa depan.
Untuk sebuah karya personal, del Toro memang perfeksionis menyiapkan itu semua. Membuat The Shape of Water memang terasa tidak seperti kriya sembarangan. Ia sendiri mengaku memang sengaja membuat film ini untuk masa sekarang. “Aku merasakan ada kebutuhan politis mendasar yang mendesak supaya Anda (sekalian) bisa melihat keindahan dari mereka yang berbeda, bukannya merasa takut dan benci,” kata del Toro.
Maka kalaupun The Shape of Water yang menang di Oscar untuk kategori film terbaik, misalnya, bukan berarti nominasi lain kalah karena lebih jelek. Hanya saja, karena pesan yang ingin disampaikan Oscar tahun ini lebih baik dipresentasikan oleh karya del Toro.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Windu Jusuf