tirto.id - Belasan—kalau bukan puluhan—judul film telah diangkat dari novel fantasi anak-anak kenamaan karya Carlo Collodi, The Adventures of Pinocchio. Pada 2022 ini saja, setidaknya ada tiga film panjang yang mengadaptasi kisah boneka kayu yang hidup itu.
Lalu, mau diapakan lagi ceritanya, didaur ulang bagaimana lagi?
Selepas film animasi Pinocchio yang dirilis pada 1940, rasanya tak banyak adaptasi Pinocchio yang mendobrak—bahkan untuk sekadar menarik minat menonton. Hingga, maestro kisah fantasi Guillermo del Toro menghadirkan interpretasi baru-baru ini.
Guillermo del Toro's Pinocchio hadir hanya beberapa bulan setelah sang maestro menggarap karya-karya horor yang unik dalam Guillermo del Toro's Cabinet of Curiosities.Karenanya,banyak penggemar del Toro juga kisah fantasi yang tertarik. Terlebih, kisah Pinocchiodisebut-sebut sebagai passion project-nya sang sutradara bahwa sejak lama.
Proyek ini sempat mendekam di fase development hell selama bertahun-tahun. Hingga akhirnya, iabenar-benar berlanjut dan resmi ditayangkan sejak awal Desember 2022 di Netflix.
Berangkat dari desain Gris Gimly—yang menangani ilustrasi untuk buku Collodi versi 2002, Guillermo del Toro's Pinocchio tampil dengan gaya distingtif, dalam format animasi stop-motion.Kali ini, del Toro tak sendirian di bangku sutradara karena ada Mark Gustafson yang membantunya.
Modifikasi Semi-Fantasi
Guillermo del Toro's Pinocchiotetapberbagi banyak kesamaan dengan kisah orisinalnya. Termasuk dalam premisnya, di mana sesosok boneka kayu kreasi seorang pemahat tua menjadi hidup.
Pembeda pertama adaptasi del Toro ini adalah latar kisahnya. Bila adaptasi lain lazimnya mengambil tempat sepenuhnya di dunia fantasi, Pinocchio-nya del Toro mengambil latar di dunia semi-fantasi dengan lini masa realistis.
Latar waktu cerita ini berkisar di antara dua perang besar yang pernah melanda Italia. Plot utamanya sendir berlangsung di akhir dekade 1930-an atau awal 1940-an, ketika Benito Mussolini dan fasisme mulai menunjukkan tajinya. Dunia pun tengah di ambang Perang Dunia II.
Dinarasikan oleh seekor jangkrik yang sedang mencari rumah untuk menyelesaikan karya tulis terbarunya, Sebastian J. Cricket (Ewan McGregor), kisah ini mengambil tempat di sebuah desa di Italia.
Di sana, semula segalanya berjalan nyaris normal. Termasuk keseharian sang pemahat Master Geppetto (David Bradley) dan putranya Carlo (Gregory Mann). Namun, kehidupan biasa-biasa saja nan bahagia di pedesaan segera berubah menjadi kisah tragis.
Bom yang dijatuhkan sebuah pesawat tempur menewaskan Carlo, meninggalkan Geppetto sebatang kara. Tak ada hari tanpa dia berduka dan merutuki nasib. Sampai suatu hari, amarah mendorong Geppetto mengukir “anak baru” dari pohon pinus yang tumbuh di dekat pusara putranya.
Peri Hutan (Tilda Swinton) yang bersimpati dan bertujuan menghadirkan kebahagiaan dalam sisa hidup Geppetto lantas menghidupkan boneka kayu itu. Saat fajar menyingsing, Pinocchio (juga diperankan oleh Gregory Mann) pun memulai kehidupannya.
Ini masih ceritaPinocchio yang familier di benak banyak orang. Dengan poros cerita dan poin-poin plot serupa, semisal Pinochhio berteman dengan bocah bernama Candlewick, kehilangan kaki-kaki kayunya, meninggalkan sekolah dan buku pemberian Geppetto demi sirkus, dilahap dogfish raksasa, hingga pada akhirnya, menjadi makhluk mortal.
Selain latar dan desain, pembeda lain dari adaptasi del Toro adalah modifikasi diterapkan di sana-sini. Baik itu pendekatan musikal, penulisan yang dirancang ulang dalam mencapai poin-poin plotnya, hingga pemanjangan hidung si boneka kayu yang terlihat lebih organik.
Jelang pertengahan film, kisahnya benar-benar terasa baru dan segar. Penandanya adalah momen kematian perdana Pinocchio. Seiring kemunculan para petugas pengurus arwah dan Death, peri yang mengurusi kehidupan setelah kematian, del Toro menghadirkan pendalaman kisah secara perlahan—menjadikan Pinocchio yang ini tergolong istimewa.
Isu yang Lebih Mendesak
Karakter Pinocchio yang berbeda ketimbang Carlo juga menghadirkan lapisan plot lain. Pinocchio hidup dan belajar untuk dicintai Geppetto dan disukai orang-orang. Namun di saat bersamaan, dia tetaplah bocah lugu dan tak punya standar apa pun soal nilai-nilai yang lazim dalam masyarakat sekitarnya.
Dalam kisah aslinya, bocah-bocah yang hanya bermain sepanjang waktu dan ogah belajar akan dihukum menjadi keledai. Ini bolehlah ditafsir sebagai konsekuensi atas ketidakpatuhan anak pada orang tuanya. Kisah orisinalnya mungkin memang menekankan pesan agar anak-anak patuh pada orang tuanya.
Berkait dengan itu, ekspektasi keliru orang tua terhadap anak menjadi tema berulang dalam film ini. Selain dalam hubungan Geppetto dan Pinocchio, itu juga dapat ditemui pada relasi Candlewick dan ayahnya, Podestà, yang merupakan opsir pemerintahan fasis.
Namun,Pinocchio-nya del Toro tak membatasi diri hanya bicara soal itu. Ia juga mengetengahkan soal bagaimana menjadi diri sendiri. Maka Pinnochio dalam film ini sering kali berimprovisasi pada perintah dan situasi yang dihadapi, menyesuaikan diri dan menoleransi manusia lain, menerima kekurangan dan merayakan kelebihan masing-masing.
Di luar topik hubungan ayah-anak yang membingkai kisahnya, Pinocchio juga menyajikan banyak tema lain.
Kian gelapnya dunia tak lain akibat andil beragam kepentingan orang-orang dewasa di hadapan kekuasaan. Keunikan Pinocchio menjadikannya bidikan eksploitasi Count Volpe (Christoph Waltz), dalang sekaligus pemilik sirkus.
Sementara itu, keabadian si boneka kayu (Pinocchio akan selalu kembali dari kematian) menjadi sasaran pemerintahan fasis akan serdadu yang sempurna.
"Walaupun itu [perang] sesuatu yang buruk?" tanya Pinocchio. "Ya, suka atau tidak, kita harus mematuhi hukum," jawab Geppetto dalam satu perbincangan ketika Pinocchio bakal dikirimkan untuk berlatih perang.
Tanpa influens orang dewasa, anak-anak punya gagasan berbeda tentang perang. Itu ditunjukkan melalui aksi Pinocchio dan Candlewick ketika mereka mengibarkan dua bendera dalam satu latihan tempur. Nurani, kalau bukan kemurnian diri, mendorong mereka melawan kesewenang-wenangan terhadap anak-anak. Juga terhadap Spazzatura, seekor babun yang diperbudak bosnya.
Pinocchio sebagai wayang tanpa kendali seolah menjadi anomali di negeri totalitarian.
Perenungan akan tujuan hidup serta kefanaan makhluk hidup juga membuat film ini terasa lebih mendalam. Pada banyak titik, kesialan Sebastian si jangkrik, selain dimaksudkan sebagai poin-poin kelucuan dalam film, kerap diisi celetukan-celetukan bernas.
Dalam dialog-dialog Pinocchio dan Death, disingkapkan bahwa hidup mampu menghadirkan kesengsaraan. Dus, hidup selamanya bisa berarti menghadirkan kesengsaraan yang kekal.
Kebersamaan dalam hidup yang singkat mestinya dirayakan sebisa mungkin. Aspek itu kembali ditekankan dalam ending kisahnya. Alih-alih ditutup dengan klise mereka-hidup-berbahagia-selamanya, kita mendapati Pinocchio mendampingi Geppetto, Sebastian, dan Spazzatura sampai hari-hari terakhir dan meninggalkannya seorang diri.
Tak Mesti dalam Wujud Kulit dan Daging
Guillermo del Toro's Pinocchio mungkin terasa lebih gelap atau muram ketimbang banyak versi Pinocchio, meskipun sesungguhnya kisah aslinya pun sudah cukup gelap. Dengan kata lain, versi del Toro ini hanya lebih menitikberatkan pada aspek-aspek kisah Pinokio yang lazimnya dikesampingkan.
“Film ini menceritakan lagi kisah yang kita pikir kita sudah tahu, padahal sebenarnya kita belum tahu,” aku del Toro dalam dokumenter Guillermo del Toro's Pinocchio: Handcarved Cinema.
Meski membawa narasi muram di beberapa titik, del Toro mengimbanginya dengan nuansa cerah pada desain, voice acting, hingga musik. Desain-desain makhluk tak biasa terasa cocok untuk semesta rekaan del Toro, sekaligus menyegarkan dunia Pinocchio.
Begitu pula desain si boneka kayu yang khas sekaligus tetap impresif, ditampilkan dalam "patah-patahnya" stop-motion yang memukau.
Barangkali untuk alasan universalitas atau alasan lainnya, yang pasti tak semua pengisi suara Pinocchio terdengar beraksen Italia. Di baliknya, ada aktor anak-anak Gregory Mann yang sukses memanggul karakter utamanya menjadi karakter yang tak hanya riang tapi betulan hidup.
Ada pula pembawaan unik sekaligus pelanturan berbagai bahasa yang luwes dari Christoph Waltz. Kapan lagi mendengar aktor macam dia, atau bahkan Ewan McGregor, bernyanyi dalam film? Tak hanya "menjual nama" bintang papan atas Hollywood, Pinocchio juga setidaknya menghadirkan sosok yang memang populer sebagaivoice actor seperti Tom Kenny.
Nada-nada pengiringnya kadang menghadirkan suasana manis lagi whimsical. Ia pun mengingatkan pada judul-judul film animasi stop-motion lain, seperti Fantastic Mr. Fox-nya Wes Anderson. Wajar saja, mengingat ada komposer yang sama yang bertanggung jawab untuk musiknya, Alexandre Desplat.
Ini adalah kolaborasi keduanya bersama del Toro selepas The Shape of Water. Kali ini, keduanya juga menulis bersama beberapa lagu yang dilantunkan dalam film. Dan yang mengejutkan, mereka cukup sukses menghasilkan sederet lagu-lagu lucu yang cepat meresap di telinga.
Meski menyajikan interpretasi yang segar, perpindahan alur Pinocchio tak senantiasa mulus. Pun terdapat beberapa kejanggalan dalam penceritaannya, semisal bagaimana Spazzatura bisa berbicara melalui boneka kayu yang ia kendalikan?
Namun, itu mudah saja dilewatkan karena bagaimana pun ini adalah film fantasi.
Ada pula kesan “dipaksakan” pada alur bagaimana Pinocchio harus mencapai lautan (demi tetap bersua Geppetto dalam perut dogfishraksasa). Sementara itu, hidung panjangnya memang dapat berguna dan difungsikan dengan baik ke dalam cerita. Namun, mengapa pula hadirnya solusi dari Sebastian mesti menunggu kehadiran Pinocchio terlebih dulu?
Adapun modifikasi dan penyesuaian dengan kisah aslinya yang paling penting justru muncul dalam transformasi Pinocchio menjadi makluk mortal. Selain terwujud karena andil Sebastian dan keinginan Pinocchio sendiri untuk menyelamatkan ayahnya, dia juga tak mesti berubah wujud menjadi bocah manusia sungguhan.
Tanpa kulit dan daging, Pinocchio tetap dicintai. Dia tetap dicintai makhluk-makhluk terdekatnya karena hatinya, karena sosoknya sendiri. Ini bisa jadi poin paling krusial dalam menjadikan Pinocchio-nya del Toro tak hanya lebih segar dan relevan, tapi juga berkali lipat lebih kuat.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi