tirto.id - Dalam sepekan, informasi perkembangan penyebaran Corona COVID-19 di Indonesia tumpang tindih antara satu pejabat dengan lainnya.
Mari merunut satu-persatu pernyataan yang disampaikan para pejabat dalam sepekan lalu lewat pemberitaan Tirto terkait update Corona. Pertama, ada informasi beda soal umur dua pasien positif Corona yang sembuh di RSUP Persahabatan pada 12 Maret 2020.
Jubir pemerintah terkait penanganan COVID-19, Achmad Yurianto menyebut tiga pasien sembuh yakni pasien kasus ke-6 laki-laki berusia umur 39 tahun yang merupakan WNI ABK Diamond Princess, kasus ke-14 laki-laki 50 tahun, dan ke-19 laki-laki 49 tahun.
Dalam pernyataan Yuri pada 9 Maret, kasus ke-16 merupakan WNI ABK Diamond Princess berusia 36 tahun, kemudian kasus ke-19 berumur 40 tahun. Tak jelas, mana pernyataan yang betul terkait umur pasien. Padahal, informasi tersebut bersifat mendasar dan dapat disampaikan secara transparan sesuai protokol.
Kedua, perbedaan angka positif Corona antara Yuri dengan Presiden Joko Widodo pada 13 Maret 2020. Jokowi mengumumkan jumlah positif Corona hari itu di Bandara Soekarno Hartta, ada 34 kasus dan dua orang meninggal.
Berselang beberapa jam, di Istana Negara Jakarta, Yuri menyebut ada kasus 69 positif Corona dan 3 pasien positif meninggal. Padahal, pada hari itu terjadi lonjakan dua kali lipat jumlah positif Corona. Mengapa angka sebesar itu tak langsung disampaikan Jokowi?
Ketiga, adalah tumpang tindih antara Pemprov Banten dengan Pemerintah Pusat terkait riwayat dan jumlah pasien. Gubernur Banten, Wahidin Halim menyebut pada 12 Maret ada 4 kasus positif Corona merupakan warganya.
Sedangkan Jubir Penanganan COVID-19, Yurianto membantah pernyataan tersebut. Pada 12 Maret, Yuri memang menyampaikan ada 31 positif Corona, tanpa menyampaikan identitas umum pasien.
Mengapa fungsi pemda menelusuri riwayat kontak kasus positif Corona disangkal pemerintah pusat? Padahal Pasal 155 UU 36/2009 tentang Kesehatan, pemda dapat melaksanakan pengawasan dalam penanganan penyakit menular?
Terkait hal ini, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Damar Juniarto sempat mengatakan salah satu penyebab kepanikan itu ialah nihilnya kanal informasi resmi dan utama dari pemerintah yang bisa dijadikan rujukan oleh masyarakat.
"Orang tidak tahu cara mencari informasi yang jelas tentang Corona di Indonesia." katanya kepada reporter Tirto, awal Maret lalu.
Keempat, puncak miskomunikasi antara Pemerintah Pusat dengan Pemda terjadi dalam pengumuman positif kasus ke-25 yang meninggal di Bali pada 10 Maret 2020. Pemprov Bali selama ini mengetahui pasien WNA Inggris sebagai suspect atau Pasien Dalam Pengawasan (PDP).
“Sampai tadi pagi meninggal dunia, dalam catatan kami di rumah sakit, pasien ini termasuk yang belum keluar hasil lab-nya. Sehingga statusnya masih dalam pengawasan. Ketika meninggal dunia, kami coba konfirmasi ke Kemenkes baru kemudian diinformasikan bahwa pasien ini kemarin salah satu yang diumumkan positif COVID-19,” ujar Sekda Pemprov Bali, Dewa Made kepada wartawan, Rabu (11/3/2020) di Bali.
Kelima, informasi ketersediaan alat pelindung diri berupa pakaian hazmat tak diketahui oleh petugas media di daerah. Mereka akhirnya pakai jas hujan di Garut sebagai pengganti hazmat. Saat itu, Yuri berkilah, stok pakaian hazmat mencukupi di tingkat provinsi, sehingga kewenangan selanjutnya ada di pemerintah provinsi.
"Betul APD ada yang kekurangan, kemarin. Kalau kita lihat APD saja, kita sudah ingatkan kepada rumah sakit yang di daerah buffer stok nasional ada di provinsi, sudah disiapkan di provinsi," kata Juru Bicara Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto di kantor Kepresidenan, Jakarta, Selasa (10/3/2020).
WHO Surati Jokowi
Di tengah misinformasi tersebut, Kementerian Kesehatan memang menyampaikan data terbaru, meski hanya angka.
Jumlah orang yang telah diperiksa per Minggu, 15 Maret 2020 adalah sebanyak 1.293 orang. Negatif usai tes Corona 1.167, Positif Corona COVID-19 sebanyak 117, sembuh setelah positif 8, meninggal setelah positif 5, dan 9 proses pemeriksaan.
Pekan lalu juga ada kabar keseriusan Presiden Jokowi menangani Corona. Jokowi menerbitkan Keppres Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Dalam Keppres yang ditandatangani Jokowi pada 13 Maret 2020, Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dikomandoi oleh Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) Doni Monardo.
Jokowi juga melibatkan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk menelusuri riwayat kontak pasien positif Corona. Namun, ia tetap menutup informasi persebaran Corona berdasar kota.
"Dalam penanganan memang kita tidak bersuara. Kita semuanya harus tetap tenang dan berupaya keras menghadapi kasus ini," klaim Jokowi.
Keppres tersebut terbit setelah Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyurati Jokowi pada 10 Maret 2020. Dirjen WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, mendesak kepada pemerintah RI untuk menyatakan darurat nasional pandemi Corona.
Jokowi didesak menempuh upaya ekstra dalam mendeteksi Corona. Di antaranya memeriksa pasien yang tak terkait riwayat kontak kasus positif Corona, memperluas jaringan laboratorium pemeriksaan, dan edukasi kepada masyarakat.
Tedros menyebut WHO telah melihat kasus yang tidak terdeteksi atau terdeteksi pada tahap awal wabah yang mengakibatkan peningkatan signifikan dalam kasus dan kematian di beberapa negara. Dalam konteks itu, Indonesia perlu merespons Corona dengan tanggap darurat nasional.
Menyikapi kondisi terkini, Jokowi mengajak warga menerapkan konsep social distance atau menjaga jarak aman dari kerumunan.
"Saatnya kita kerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah di rumah," ujar Jokowi dalam konferensi pers di Istana Bogor, Jawa Barat Minggu (15/3/2020).
Jokowi juga memberikan wewenang daerah untuk menentukan langkah sesuai kondisi masing-masing terkait perkembangan Corona.
Ia meminta pemda agar berkoordinasi dengan BNPB sebelum menetapkan daerahnya siaga darurat atau tanggap darurat bencana non-alam.
Dengan demikian, Jokowi memberi kesempatan kepada pemda untuk terlibat dalam penanganan dan pencegahan Corona di masa mendatang.
Hal ini berbeda dibanding sikap Pemerintah Pusat pekan lalu kepada pemda yang kurang terbuka dalam penanganan Corona, sehingga terjadi tumpang tindih informasi dan miskomunikasi.
Editor: Gilang Ramadhan