tirto.id - Dalam waktu 11 hari, jumlah penderita pandemi Corona COVID-19 di Indonesia terus berlipat ganda. Kasus positif gelombang pertama--disebut 'kasus ke-1 dan kasus ke-2'--diumumkan pada 2 Maret lalu langsung oleh Presiden Joko Widodo. Hingga 8 Maret, kasus positif mencapai enam.
Kasus positif Corona lantas melonjak drastis menjadi 19 pada Senin 9 Maret dan 34 orang per 11 Maret. Angkanya bahkan berlipat dua kali lipat per 13 Maret menjadi 69. Ada yang sembuh, ada pula yang meninggal. Jumlah korban meninggal per 13 Maret mencapai empat: kasus ke-25, ke-35, ke-36, dan ke-50.
Maka sangat wajar jika akhirnya masyarakat khawatir. Ini dibuktikan, misalnya, dengan aksi panic buying yang terjadi beberapa waktu lalu.
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto sempat mengatakan salah satu penyebab kepanikan itu ialah nihilnya kanal informasi resmi dan utama dari pemerintah yang bisa dijadikan rujukan oleh masyarakat. "Orang tidak tahu cara mencari informasi yang jelas tentang Corona di Indonesia." katanya kepada reporter Tirto, awal Maret lalu.
Pemerintah lantas menunjuk Achmad Yurianto sebagai juru bicara resmi pemerintah. Tugasnya memperbarui informasi soal Corona. Mereka juga lantas membuka layanan hotline di Kementerian Kesehatan--yang sayangnya kurang maksimal.
Keadaan semakin runyam karena menurut Anis Hidayah, Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care sekaligus tetangga kasus-1 dan kasus-2, "ada koordinasi yang lemah antara pusat dan daerah."
Ini pernah terjadi ketika Achmad Yurianto heran dengan pernyataan Gubernur Banten Wahidin Halim yang mengumumkan adan empat orang warga Banten yang positif terjangkit Corona. Atau, ketika Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD malah menyindir alasan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menunda Formula E. Anies menundanya karena khawatir Corona, tapi Mahfud menilai itu akal-akalan saja karena tak ada jaminan ajang balap mobil listrik itu akan mendatangkan banyak penonton.
Anis juga menyebut pemerintah membatasi informasi untuk masyarakat. "Ini terlihat dari minimnya informasi tentang lokasi-lokasi penularannya," katanya kepada reporter Tirto, Jumat (13/3/2020) kemarin.
Sebagai informasi, pada kasus-1 dan kasus-2, pemerintah (pusat dan daerah) mengumumkan identitas jelas pasien, yang membuat korban merasa tertekan. Pemerintah kemudian menyamarkan informasi itu dalam pengumuman selanjutnya. Namun informasi kian minim diberikan dalam konferensi pers kemarin, meskipun sama sekali tidak terkait dengan privasi pasien.
Dalam konferensi pers terakhir itu pemerintah hanya mengumumkan jenis kelamin, usia, dan kondisi kesehatan terkini korban. Pemerintah tak menyebut lagi pasien termasuk dalam klaster apa, kewarganegaraannya, dan di rumah sakit mana mereka dirawat sebagaimana dalam konferensi pers sebelumnya.
Analisis Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, bahkan menilai pemerintah telah memonopoli informasi dari pemerintah daerah. Dan itu jelas-jelas "tidak boleh," katanya kepada reporter Tirto, Jumat.
Achmad Yurianto mengatakan pemerintah daerah memang dilarang bicara soal status akhir pasien, apakah positif atau negatif. "Agar ranah-ranah medis, biar medis yang mengumumkan," katanya, Selasa (3/3/2020).
Trubus mengatakan mekanisme itu berbahaya. "Persoalannya begini, apa yang dilaporkan pemerintah pusat mengenai Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP) itu seperti fenomena gunung es. Perkembangannya cepat sekali. Ini sifatnya force majeure."
"Buka saja daerah mana yang ada ODP dan PDP. Biar nanti daerah-daerah yang membentuk satgas untuk menanganinya," katanya.
Satu contoh kasus ke-25, orang pertama yang meninggal karena Corona di Indonesia. Dinas Kesehatan Provinsi Bali dan RSUP Sanglah, tempat kasus ke-25 dirawat, mengaku tak tahu kalau pasien yang mereka tangani meninggal karena Corona sampai pemerintah pusat mengumumkannya.
"Ketika meninggal dunia, kami coba konfirmasi ke Kemkes, baru kemudian diinformasikan bahwa pasien ini kemarin salah satu yang diumumkan positif COVID-19," kata Sekda Provinsi Bali Dewa Made Indra. Sementara Achmad Yurianto mengatakan pemda memang tak wajib tahu status pasien.
Hal semacam itu, menurut Trubus, semakin membuat panik masyarakat. Mereka bukannya mendapatkan informasi yang bermutu, justru hanya menonton drama silat lidah pusat dan daerah. "Padahal kepala daerah itu maunya, kan, melindungi masyarakat. Mereka punya tanggung jawab."
Daerah Resah
Para kepala daerah memang terlihat tidak terlalu sepakat dengan kebijakan pusat.
Wali Kota Surakarta F.X. Hadi Rudyatmo, misalnya, mengusulkan daerah diberikan kewenangan cek laboratorium dengan alasan agar hasilnya lebih cepat diketahui dan tak membuat resah masyarakat karena terlalu lama menunggu informasi.
"Jika menunggu hasil melalui provinsi juga waktunya lama, karena membawahi 35 kabupaten/kota. Pusat dapat memberikan acuan saja, cek laboratorium alatnya seperti apa, dan daerah bisa menyiapkan," ujarnya Rudyatmo di Solo, Jumat.
Hal serupa diungkapkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Gubernur Jawa Barat Ridwa Kamil. Alasan mereka serupa: cara ini dapat mempercepat hasil sekaligus mengakselerasi tracing.
Presiden Jokowi punya alasan kenapa pemerintah terkesan memonopoli informasi. Menurutnya ini semua dilakukan agar masyarakat tidak panik. "Oleh karena itu, dalam penanganan COVID-19, kami tidak bersuara," katanya, Jumat.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino