Menuju konten utama

Mereka yang Sukses Melawan Developer Apartemen

Beberapa apartemen sudah dikelola oleh warganya sendiri. Inilah pengalaman mereka.

Mereka yang Sukses Melawan Developer Apartemen
Ilustrasi Gurita properti apartemen di Jakarta. tirto.id/Lugas

tirto.id - Pada awal 1995, Fifi Tanang menerima paket yang tidak biasa. Sebuah surat kaleng di boks apartemen miliknya. Seketika, Fifi dan keluarganya panik karena surat kaleng itu berisi ancaman. Kejadian itu setelah negosiasi antara Fifi dan Muktar Widjaja, putra pendiri Sinar Mas Group, Eka Tjipta Widjaja.

Negosiasi itu bermula saat Fifi, pemilik unit apartemen, meminta transparansi pengelolaan Mangga Dua Court kepada Muktar, CEO PT Duta Pertiwi saat itu. Pertemuan berlangsung di lantai 8 ITC Mangga Dua, kantor PT Duta Pertiwi, dihadiri 7 orang mewakili pemilik unit apartemen dan 18 orang mewakili pihak Muktar, menurut cerita Fifi.

Fifi dan para penghuni bergerilya dari pintu ke pintu untuk mendapatkan dukungan. Mereka berhasil mengumpulkan Rp71 juta untuk menyewa pengacara dan melayangkan somasi kepada pengembang. Penghuni mempertanyakan sertifikat, meminta transparansi biaya pengelolaan dan laporan keuangan.

Negosiasi berlangsung alot, menurut cerita Fifi. Muktar bicara keras, menantang Fifi dan para penghuni mengelola sendiri apartemen di pusat bisnis Mangga Dua Court tersebut.

“Kalau kalian ambil alih, saya subsidi satu bulan. Selama ini rugi, (maka) kami ambil alih,” ujar Fifi menirukan ucapan Muktar saat itu, bercerita kepada saya pada akhir Maret lalu.

“Dia pikir kami takut. Kalau mau ambil alih, memang kami harus ulet.”

Fifi memimpin kepengurusan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS) di apartemen Mangga Dua Court. Ia memutuskan untuk menggelar tender demi mencari perusahaan pengelola apartemen. Setelah seleksi sekitar tiga perusahaan, penghuni mendapatkan pengelola yang memberikan tarif lebih murah dibandingkan PT Duta Pertiwi.

“Bulan pertama kami sudah surplus, padahal udah dag-dig-dug. Kami turunkan biaya perawatan 10 persen daripada pengembang (1 dolar AS) per meter persegi. Biar ada perbedaan. Untuk apa ambil alih jika tidak ada perbedaan?” kata Fifi, diplomatis.

Perjuangan itu tak sia-sia. Di bawah manajemen yang diatur oleh para penghuni apartemen, Fifi berkata beberapa pungutan bisa dihilangkan. Misalnya, biaya penarikan kabel telepon sekitar Rp300 ribu, biaya penambahan channel TV yang harus dibayar oleh 140 penghuni padahal yang minta tambahan saluran cuma satu orang.

Menurut Fifi, kini pengelola responsif terhadap keluhan warga apartemen di bawah P3SRS bikinan penghuni berkat perjuangan mereka pada 1990-an.

Penghuni versus Developer Apartemen

Cerita Fifi mungkin segelintir kisah sukses dari problem akut apartemen di Jakarta. Kebanyakan yang mendominasi pemberitaan adalah kisah sengketa penghuni versus pengembang. Laporan kami tentang masalah apartemen, di antara hal lain, adalah konflik kepengurusan perhimpunan versi penghuni versus versi pengembang.

Fifi Tanjung mengatakan partisipasi warga apartemen menjadi kunci sukses mengelola Mangga Dua Court. Contohnya, saat diskusi penaikan iuran pengelolaan lingkungan (IPL), pengurus P3SRS wajib mendapatkan persetujuan dari penghuni.

“Sejak 1995, saat kami ambil alih, kami sudah transparan. Kalau tidak transparan, apa bedanya dengan pengembang?” kata Fifi.

Transparansi itu misalnya menempel laporan keuangan di dekat lift apartemen rutin setiap bulan, menginformasikan daftar perbaikan apartemen dari nilai pekerjaan, nama kontraktor pelaksana, nomor kontak, sampai durasi pekerjaan.

“IPL baru naik setelah tujuh tahun pertama kami ambil alih, atas persetujuan warga penghuni. Sampai sekarang, IPL kami Rp10 ribu per meter persegi, termasuk free parking,” ujar Fifi.

Infografik HL Indepth Masalah Rusun DKI

Infografik Masalah apartemen di Jakarta. tirto.id/Lugas

Praktik transparansi itu berbeda dari apa yang dihadapi para penghuni apartemen Kalibata City, Mediterania Palace Residences, The Lavande, dan Ancol Mansion—beberapa apartemen yang penghuninya mengeluhkan pengembang menarik pungutan tanpa kejelasan.

Pengembang dan pengelola Kalibata City, misalnya, pernah menarik tagihan listrik kepada penghuni sebesar Rp1.600 per kWh atau 60 persen lebih mahal dari tarif rata-rata saat itu.

Bambang Setiawan, warga Kalibata City dan juga Sekjen Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia (Aperssi), bersama ke-13 rekannya berhasil menyetop praktik manipulasi tarif listrik termahal se-Jakarta itu lewat gugatan di PN Jakarta Selatan.

Mark-up itu sudah jelas ada karena sudah diakui dan dibuktikan majelis hakim. Transparansi tidak pernah terjadi. Ada pemasukan-pemasukan yang tidak terbukukan,” ujar Bambang kepada reporter Tirto, awal Maret lalu.

Adjit Lauhatta, ketua pengurus P3SRS Kalibata City versi pengembang, membantah tudingan itu. Menurutnya, Perhimpunan sudah memberi informasi laporan keuangan tiga bulan sekali di mading apartemen, bahkan klaimnya, sebulan sekali.

“Itu suatu bentuk keterbukaan. Kalau mau perincian bisa, [tapi] sesuai aturan harus membuat surat permohonan kepada P3SRS,” kata Lauhatta kepada reporter Tirto, medio Maret lalu.

Lauhatta mempersilakan penghuni melihat laporan keuangan di kantor pengelola, tapi tujuannya “bukan untuk mencari kesalahan,” katanya.

Sependapat dengan Lauhatta, Sekretaris Dewan Pengurus Daerah Rela Estate Indonesia Jakarta, Arvin F. Iskandar, mengklaim pengelola apartemen sudah ditunjuk secara independen sehingga ada transparansi operasional maupun laporan keuangan.

"Enggak ada yang diumpetin bagi pengembang soalnya enggak ada keuntungan di sana. Yang ada keluar biaya dulu untuk talangin. Pasti rugi,” dalih Arvin kepada reporter Tirto, pekan lalu.

Jejak Adjit Lauhatta terbilang menarik. Ia adalah warga apartemen Kalibata City sekaligus karyawan PT Prima Buana Internusa. Perusahaan ini dibuat oleh Agung Podomoro Group sebagai pengelola apartemen-apartemen yang dibangun oleh gergasi properti Agung Podomoro.

Selain didaulat sebagai ketua P3SRS versi pengembang Kalibata City, Lauhatta menjabat wakil ketua P3SRS di Mediterania Palace Residence dan ketua P3SRS Gading Mediterania Residences, keduanya adalah apartemen yang dibangun Agung Podomoro.

Agung Podomoro, dalam laporan kami, memiliki sedikitnya 43 dari 234 apartemen dan rusun yang tersebar di DKI Jakarta, terbanyak dibandingkan developer lain seperti Agung Sedayu Group atau Sinar Mas Land.

Arvin F. Iskandar mewakili suara REI, mungkin perhimpunan developer terbesar di Indonesia. REI menolak peraturan menteri 32 tentang P3SRS. REI juga menolak langkah Anies Baswedan yang merilis Pergub 132 tentang pembinaan pengelolaan rusunami/ apartemen. Anies menerapkan aturan satu orang satu suara dalam pemilhan pengurus P3SRS, membatasi dominasi suara pengembang.

Dalih Pengembang Dibantah Warga Apartemen

Menurut Arvin, alasan pengembang tidak melepaskan kepengurusan P3SRS demi menjaga kepentingan aset apartemen yang belum terjual. Selain itu, pengembang menjaga nama brand. “Bila gedungnya dibangun, enggak mungkin dibiarkan jelek,” katanya.

“Penghuni mau enggak nombokin tetangga unitnya yang belum bayar?” katanya retorik, yang dijawab sendiri, “saya menjamin 100 persen penghuni-penghuni itu tak ada yang mau.”

“Kalau diserahkan kepada penghuni, enggak ada duit. Mungkin kebersihannya pun enggak bisa disewa,” tambahnya, dan menilai penghuni belum tentu punya pengalaman mengelola apartemen.

Namun dalih-dalih itu, yang menyebut warga apartemen tak cakap mengelola secara mandiri, dibantah oleh Paulus Tjung, yang punya pengalaman sebagai Ketua Pengurus P3SRS Puri Garden Residences, apartemen di Jakarta Barat yang dibangun oleh developer PT Mitra Prima Sejahtera.

Paulus menilai penghuni bisa mengelola apartemen dengan melakukan tender sembari belajar kepada perusahaan jasa manajemen apartemen. Selain praktik langsung, sudah banyak lembaga yang membuat seminar pengelolaan apartemen, ujar Paulus.

“Kami belajar dari GMT Property Management," ia menyebut perusahaan swasta yang menawarkan pelayanan manajemen properti.

Pembelajaran itu membuahkan hasil, klaim Paulus, termasuk mampu mempekerjakan 60 karyawan di bawah Perhimpunan warga apartemen Puri Garden. Ia bilang status pekerja apartemen bukan outsourcing, melainkan karyawan.

“Kerja seperti di perusahaan. Kami juga bayar BPJS-nya,” ucap Paulus.

======

Wan Ulfa Nur Zuhra membantu laporan ini lewat visualisasi data apartemen dan rusun DKI Jakarta.

Baca juga artikel terkait APARTEMEN atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Hukum
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam