tirto.id - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan duduk bersila di pelataran apartemen The Lavande Residences, Jakarta Selatan, Senin malam, 18 Februari silam. Hanya separuh pantatnya yang menempel ke karpet kecil.
“Itu praktik primitif,” kata Anies usai mendengar keluhan penghuni apartemen. “Di masa depan, tidak ada ruang untuk praktik primitif.”
Wajahnya gelap karena minimnya penerangan. Suaranya patah-patah karena sistem pengeras suara tak berfungsi dengan baik.
Kunjungan Anies memang tak direstui Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS) Lavande bentukan PT Agung Podomoro Land. Mereka berharap kedatangan Anies ditunda dengan alasan aula Lavande sedang direnovasi.
Akan tetapi, penghuni apartemen yang membentuk Perhimpunan tandingan menyambut dan menjamu Anies. Mereka memancang spanduk berisi ucapan selamat datang dan pernyataan sikap. Selain itu, mereka membawa karpet seadanya untuk alas dan makanan ringan.
“Kalau pengelola tidak tinggal di sini, terus mau mengelola apa? Kalau mengelola satu saja. Saya tahu ada yang ngurusin [P3SRS] di sini, di tempat lain, satu di [Jakarta] Selatan dan [Jakarta] Utara, orangnya sama,” ujar Anies.
Meski tidak ada perwakilan dari Perhimpunan versi pengembang yang hadir, tapi pertemuan itu dijaga ketat. Ada para satpam yang didatangkan oleh koperasi karyawan PT Agung Podomoro Land.
Pertemuan itu menjadi semacam ruang penghakiman bagi Perhimpunan versi pengembang apartemen. Para penghuni dan pemilik apartemen kerap mengistilahkan mereka yang menjabat pengurus Perhimpunan di banyak apartemen sebagai “boneka pengembang”.
Charli Novitriyanto, ketua Perhimpunan tandingan atau versi penghuni, menjelaskan bagaimana kuatnya dugaan pola PT Agung Podomoro Land mendulang kekayaan dari penarikan iuran pada warga. Ia menduga ada tiga pengurus Perhimpunan Lavande yang berafiliasi dengan pengembang. Anies juga berulangkali menyindir ada pengurus Perhimpunan bentukan pengembang itu.
Beberapa di antaranya seperti Luthfi Aldi Siregar, bendahara Perhimpunan Lavande, yang diduga menjadi ketua Perhimpunan di apartemen Mediterania Marina Residences di Ancol, Jakarta Utara. Pengembang apartemen Mediterania juga PT Agung Podomoro Land.
“Diduga dia [Luthfi] juga ketua harian di Sudirman Park. Kalau di-browsing lagi tahun 2012, diduga Lutfhi masih pegawainya PT Prima Buana Internusa,” kata Charli, Minggu kemarin
PT Prima Buana Internusa adalah anak perusahaan PT Agung Podomoro Land, yang kerap disebut sebagai Inner City Management. Perusahaan tersebut juga menjadi pengelola apartemen Kalibata City.
Selain itu, pengurus Perhimpunan versi pengembang lain adalah Budi Sitorus, yang diduga menjabat manajer PT Prima Buana Internusa di apartemen Kalibata City.
Perhimpunan versi pengembang tersebut kerap memutuskan pelbagai peraturan secara sepihak. Misalnya, terkait penetapan tarif Iuran Pengelolaan Lingkungan, yang dilakukan tanpa diawali sosialisasi atau pembahasan dengan penghuni apartemen.
Padahal dana iuran yang harus dibayarkan warga Rp14 ribu per bulan. Jika diasumsikan dengan luas Lavande sekitar 43.000 m2, maka uang yang dikelola Perhimpunan versi pengembang sebesar Rp7,229 miliar per tahun.
Namun, para penghuni dan pemilik apartemen tak pernah tahu rincian bagaimana dana iuran itu dikelola.
Itu baru iuran lingkungan apartemen. Belum tagihan listrik, air, hingga pungutan lain.
Charli mengklaim sudah sering warga apartemen meminta transparansi dan hasil audit keuangan. Namun, mereka kerap ditolak dan diminta melalui prosedur yang rumit.
“Untuk melihat audit keuangan itu hanya diperkenankan dilihat, enggak boleh fotocopy, enggak boleh difoto, hanya boleh satu kali,” kata Charli, menjelaskan rumitnya alur menuntut transparansi keuangan pengelolaan apartemen setelah mengirim surat permohonan untuk meminta hasil audit.
Maka, pemilihan pengurus Perhimpunan versi pengembang penuh intrik, ujar Charli. Misalnya, tahun lalu, hanya ada 4 dari 80 peserta rapat yang menggunakan hak pilihnya, tanpa diwakilkan orang lain yang bukan kerabat.
Selain itu, pemilihan berdasarkan Nilai Perbandingan Proporsional. Artinya, pengembang mempunyai hak suara lebih besar dari para penghuni apartemen. Terlebih hingga kini para penghuni apartemen tak tahu pasti berapa total jumlah penghuni Lavande yang memiliki hak suara.
Waktu rapat pemilihan pengurus Perhimpunan versi pengembang, banyak larangan bagi para peserta. Misalnya, tidak boleh membawa rekaman suara dan video. Di pintu masuk, mereka diperiksa dengan metal detector dan tubuhnya diraba.
“Waktu tahu prosesnya seperti itu saya walk out. Proses pemilihannya bisa dibilang cacat,” keluhnya.
Setiap ada penghuni apartemen yang protes karena Perhimpunan bentukan pengembang tak transparan, mereka diintimidasi. Caranya dengan pemadaman arus listrik, air, dan kartu akses.
“Tahun 2012 sudah ada surat edaran gubernur kalau terkait masalah IPL tidak mematikan air dan listrik. Bulan Agustus [2016], mereka [P3SRS pengembang] sempat mematikan sekitar 20 unit,” ujarnya.
Charli mengaku telah memiliki surat-surat seperti SHM Satuan Rusun hingga Akta Jual beli. Artinya, PT Agung Podomoro Land harus melepaskan diri. Apartemen Lavande menjadi murni milik penghuni dan pemilik unit apartemen.
Akan tetapi, janggalnya, kontrak kerja sama pengelolaan kawasan parkiran di apartemen Lavande masih antara pengembang dan vendor swasta. Diduga hal itu dilakukan tanpa melalui lelang yang transparan, ujar Charli.
“Masalah di Lavande mirip Kalibata City. Tapi Kalibata sudah stadium IV, kalau Lavande masih stadium II,” katanya.
Dualisme Pengurus P3SRS
Bambang Setiawan, salah satu penghuni Kalibata City, mengakui pendapat Charli. Bahkan 13 rekannya memenangkan gugatan terhadap PT Prima Buana Internusa dan Perhimpunan bentukan pengembang, akhir tahun lalu. Gugatan itu bernomor 339/Pdt.G/2017/PNJKT.SEL.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan PT Prima Buana Internusa dan Perhimpunan versi pengembang terbukti melakukan perbuatan melawan hukum. Mereka memanipulasi tarif tagihan listrik penghuni.
“Mark-up itu sudah jelas ada karena sudah diakui dan dibuktikan majelis hakim. Transparansi tidak pernah terjadi. Ada pemasukan-pemasukan yang tidak terbukukan,” ujar Bambang, Minggu kemarin.
Usai putusan itu, Pemprov DKI Jakarta membekukan Perhimpunan versi penghuni dan Perhimpunan versi pengembang. Masing-masing Perhimpunan itu saat ini mengajukan legalisasi.
Bambang menjelaskan, Perhimpunan versi penghuni akan membentuk sistem transparansi keuangan secara online. Tiap penghuni akan mudah mengawasinya melalui ponsel. Pemilihan perusahaan pengelola juga akan ditunjuk melalui lelang yang transparan.
Para pemilik dan penghuni apartemen Kalibata City sudah kenyang memprotes Perhimpunan versi pengembang.
“Demo sampai dorong-dorongan. Intimidasi sampai ada penggiat yang ban mobilnya robek, ban sepeda motornya hilang, motornya dibaret-baret. Waktu itu fokus ke masalah Iuran Pengelolaan Lingkungan,” ujar Bambang.
Apartemen Mirip Zaman Kolonial
Ketua Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun Kalibata City versi pengembang, Adjid Lawulata, merangkap menjadi pengurus Perhimpunan di apartemen Gading Mediterania Residences dan Mediterania Palace Residences.
Saat dikonfirmasi, Adjid mengakui hal itu. Namun, ia enggan menjelaskan menjadi pengurus di dua apartemen mana.
Adjid juga menjabat ketua umum Perhimpunan Pemilik & Penghuni Rumah Susun Indonesia, yang belakangan menolak Pergub 132/2018 yang diteken Anies Baswedan. Pergub itu mengatur soal pembinaan pengelolaan rusunami atau apartemen.
“Kalau merangkap sana dan sini biaya semakin efektif, efisiensi. Kalau masing-masing, semakin banyak sumber daya manusia yang digunakan. Jadi, semakin banyak biaya yang dikeluarkan,” ujarnya.
Ketua Asosiasi Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia Ibnu Tadji menegaskan, apa yang dilakukan Adjid itu melanggar Pergub 132/2018 dan Peraturan Menteri PUPR 23/2018 yang mengatur P3SRS.
Ibnu menegaskan, pengurus Perhimpunan wajib memiliki KTP dan berdomisili di salah satu apartemen. Maka, ia tidak bisa berstatus sebagai pengurus atau pengawas di apartemen lain.
“Kalau Anda tidak tinggal di sana, lalu ada sesuatu yang emergency, misalnya bencana, Anda akan lepas tangan?” kata Ibnu.
Ibnu menegaskan, ke depan Pemprov DKI Jakarta harus menguatkan penyaringan terkait syarat menjadi pengurus Perhimpunan sebab jika tak sesuai, kepengurusan dilarang disahkan.
Pendapat Ibnu senada dengan Meli Budiastuti, kepala bidang pembinaan, penertiban, dan peran serta masyarakat, Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman DKI Jakarta. Ia mengakui selama ini terjadi banyak penyimpangan terhadap Permen PUPR 23/2018 dan Pergub 132/2018 yang dilakukan Perhimpunan.
Maka, ia mendesak agar seluruh Perhimpunan di DKI Jakarta segera melakukan perubahan struktural. Ia memberi batas waktu hingga akhir Maret 2019. Jika bandel, sanksi yang diterapkan adalah pembekuan Perhimpunan.
“Jadi tetap harus dilakukan pemilihan ulang [pengurus P3SRS],” kata Meli.
Syaratnya, kata Meli, jika calon pengurus Perhimpunan benar-benar penghuni apartemen, ia harus dibuktikan dengan KTP dan Kartu Keluarga. Jika menempati unit non-hunian, misalnya unit usaha, juga harus dibuktikan dengan surat keterangan domisili di apartemen tersebut.
“Pengembang sebesar apa pun tetap harus mematuhi aturan yang dibentuk pemerintah,” tegasnya.
Meli juga menegaskan, pengelolaan oleh Perhimpunan harus diaudit oleh akuntan publik independen dan harus dilaporkan secara profesional.
“Pengurus yang sudah melakukan pengelolaan selama ini bahwa mereka dianggap melakukan pelanggaran hukum, baik pidana maupun perdata, itu menjadi hak pengurus P3SRS yang baru untuk melakukan entah itu gugatan atau laporan,” ujarnya.
Gesekan antara pemilik dan penghuni apartemen dengan perusahaan pengembang sudah terjadi lama.
Masalah di apartemen Kalibata City, misalnya, terjadi sejak 2012. Sedangkan di apartemen The Lavande Residences sejak 2010, bahkan hingga kini tak ada RT dan RW.
“Mendengar cerita mereka seakan kita berada di tanah yang ada kolonialisme,” kata Anies Baswedan usai menyimak keluhan penghuni Lavande, pertengahan bulan lalu.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam