tirto.id - Pada akhir 2018, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meneken peraturan 132 tentang pembinaan pengelolaan rumah susun milik (rusunami) atau apartemen. Anies menambal celah hukum yang dimanfaatkan oleh pebisnis properti untuk meraup untung.
Celah itu, menurut Meli Budiastuti dari Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Perumahan DKI Jakarta, menjadi akar beragam masalah apartemen. Sebab, para pengembang menambang keuntungan di balik kebutuhan hunian Jakarta. Polanya, para developer properti berusaha menguasai Pengurus Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS).
"Hitung saja Iuran Pengelolaan Lingkungan [IPL] dengan luas unit apartemen, jumlahnya bisa miliaran," kata Meli kepada reporter Tirto, akhir Maret lalu.
Misalnya saja apartemen The Lavande Residences di Jakarta Selatan. Tarif IPL hunian vertikal itu sebesar Rp20 ribu per meter persegi. Dalam sebulan, pemasukan yang bisa ditambang dari IPL mencapai sekitar Rp867 juta, sehingga dalam setahun sekitar Rp10,4 miliar.
Contoh lain adalah apartemen Kalibata City di kawasan Jakarta Selatan yang bisa menghimpun dana iuran dari penghuni sebesar Rp90 miliar per tahun.
Namun, dana itu dikelola oleh orang-orang non-penghuni kedua apartemen yang dibikin oleh PT Agung Podomoro Land, perusahan terbuka yang menjadi anak usaha PT Agung Podomoro Group.
Baik The Lavande Residences maupun Kalibata City dikelola oleh anak perusahaan Agung Podomoro, yakni PT Prima Buana Internusa (PBI) atau dikenal Inner City Management.
Meli Budiantara menuturkan, modus pengembang adalah tidak menjual semua unit di apartemen. Karena luasan yang belum dijual cukup tinggi, hak pilihnya dominan dalam menentukan kepengurusan P3SRS. Sistem pemilihan yang dipakai adalah Nilai Perbandingan Proporsional (NPP). Sistem inilah yang dihapus oleh Anies Baswedan.
"Digantilah baju dari pengembang menjadi pengelola building manajemen dengan membentuk perseroan terbatas," ujarnya.
Bisnis pengelolaan apartemen PT Agung Podomoro Group menggurita di DKI Jakarta. Salah satu gergasi properti terbesar di Indonesia ini memiliki sedikitnya 43 apartemen dari total hunian vertikal di Jakarta yang berjumlah sekitar 234 apartemen.
Anggota Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan, Togar Arifin Silaban, menuturkan sekitar 60 persen apartemen di Jakarta dikuasai holding besar. Salah satunya adalah Agung Podomoro Group.
Perusahaan yang didirikan oleh almarhum Anton Haliman pada 1969 ini memulai ekspansinya sejak 1992. Mereka membangun hunian vertikal Executive Menteng yang menjulang setinggi 15 lantai. Pada 2002-2003, perusahaan membangun enam apartemen, termasuk Gading Mediterania Residences, Permata Mediterania Residences, Mediterania Palace Residences, dan The Pakubuwono Residences.
Pada 2004 hingga 2006 lebih agresif lagi: membangun 12 apartemen di kawasan barat, pusat, selatan dan utara Jakarta.
Agung Podomoro Group beranak-pinak. Mereka membidani anak perusahaan, PT Prima Buana Internusa (PBI) atau dikenal Inner City Management, yang bergerak dalam bisnis pengelolaan manajemen properti.
Satu Atap Manajemen demi Menguasai Pengurus P3SRS
Melalui manajemen satu atap di bawah Inner City, Agung Podomoro menggerakkan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS). Sekretaris korporasi PT Agung Podomoro Land Justini Omas mengakui mayoritas apartemen yang dibangun Agung Podomoro pada akhirnya dikelola oleh Inner City.
“Daripada cari orang lain lagi yang belum tahu propertinya, mending menunjuk yang sudah tahu,” kata Justini saat dihubungi reporter Tirto pada Kamis pekan lalu.
Agung Podomoro Land juga berwenang menunjuk langsung berbagai perusahaan untuk membantu apartemen yang dibangunnya. Misalnya untuk perusahaan jasa layanan TV kabel dan broadband internet, termasuk instalasi, pemeliharaan jaringan tv, internet dan penyediaan konten TV. Perjanjian kerja sama akan berlaku minimal selama lima tahun.
Pola semacam itu diterapkan setidaknya untuk 13 apartemen di bawah Agung Podomoro Group. Keuntungannya, anak usaha Agung Podomoro menerima bagi hasil (revenue sharing) sebesar10 persen dari pendapatan pelanggan internet, setelah melalui tahun ketiga kerja sama.
Melalui anak perusahaannya, Agung Podomoro bisa mengerubungi berbagai lini bisnis dalam satu apartemen. Misalnya, petugas keamanan, petugas kebersihan, perawatan gedung, konsultan manajemen properti, tempat parkir, layanan TV kabel hingga internet.
Charli Novitriyanto, ketua pengurus Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS) tandingan atau versi penghuni di Lavande Residences, menjelaskan bagaimana kuatnya dugaan pola PT Agung Podomoro Land mendulang kekayaan dari penarikan iuran. Apartemen Lavande pernah didatangi Gubernur Anies Baswedan pada Februari silam buat menyimak curhatan para penghuninya.
Charli menduga ada tiga pengurus Perhimpunan Lavande yang berafiliasi dengan pengembang. Beberapa di antaranya seperti Luthfi Aldi Siregar, bendahara Perhimpunan Lavande, yang diduga menjadi ketua Perhimpunan di apartemen Mediterania Marina Residences di Ancol, Jakarta Utara, yang pengembangnya adalah PT Agung Podomoro Land.
“Diduga dia [Luthfi] juga ketua harian di Sudirman Park. Kalau di-browsing lagi tahun 2012, diduga Lutfhi masih pegawainya PT Prima Buana Internusa,” kata Charli kepada reporter Tirto.
Selain itu, pengurus Perhimpunan versi pengembang lain adalah Budi Sitorus, yang diduga menjabat manajer PT Prima Buana Internusa di Apartemen Kalibata City.
Contoh lain adalah Adjit Lauhatta, penghuni apartemen Kalibata City. Ia adalah karyawan PT Prima Buana Internusa, manajemen satu atap properti bentukan Agung Podomoro. Selain didaulat sebagai ketua P3SRS versi pengembang Kalibata City, Lauhatta menjabat wakil ketua P3SRS di Mediterania Palace Residence dan Ketua P3SRS Gading Mediterania Residences.
Pengelolaan Uang Tidak Transparan
Lezatnya bisnis pengelolaan apartemen menggiurkan bagi para pengembang. Usai pembangunan gedung, para pengembang berusaha menguasai pengelolaan apartemen dari penghuni.
Ketua Umum Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia (Aperssi) Ibnu Tadji mengatakan, ada perputaran uang yang besar di tiap apartemen di Jakarta. Pada 2010, Aperssi menghitung, dari 200 apartemen di Jakarta, ada Rp5 triliun yang terus bertambah. Sedangkan dari data paling mutakhir, Aperssi mengklaim ada Rp10 triliun per tahun yang ditambang dari warga apartemen.
Penghitungan itu, kata Ibnu, baru sebatas Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL). Ia belum termasuk parkir, sewa BTS, kolam renang dan ruang rapat bersama.
Untuk apartemen kelas menengah, menurut taksiran Aperssi, rerata biaya IPL sebesar Rp12 hingga 15 ribu per meter persegi. Sedangkan untuk kelas menengah-atas sebesar Rp18 hingga Rp30 ribu per meter persegi.
Permasalahannya, selain biaya iuran ditetapkan secara sepihak dan memberatkan penghuni, pengelolaan uangnya pun tidak transparan. Padahal, kata Ibnu, jika uang itu dikelola serius, bisa mengurangi tagihan IPL kepada penghuni apartemen.
“Biaya IPL bisa berkurang 30-40 persen,” klaim Ibnu.
Berdasarkan data Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman DKI Jakarta, ada 20 permasalahan apartemen. Di antaranya manajemen pengelolaan apartemen tidak transparan, dualisme P3SRS, status kepemilikan terkatung-katung, pertelaan belum dibikin, sertifikat diagunkan, pengembang kabur, tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB), tidak ada sertifikat laik fungsi (SLF), dan sebagainya.
Sekjen Aperssi Bambang Setiawan berharap, Permen PUPR 23/2018 tentang P3SRS dan Pergub DKI Jakarta 132/2018 merupakan upaya dari negara untuk bertanggung jawab melindungi konsumen dari praktik apa yang disebutnya "pengisapan" oleh pengembang.
"Secara pribadi, sudah benarlah [Permen dan Pergub]. Jadi kenakalan-kenakalan yang selama ini berjalan bisa diminimalisir," kata Bambang.
Sikap Aperssi memang berseberangan dengan Real Estate Indonesia (REI), salah satu perhimpunan properti. Bisa disederhanakan, pandangan Aperssi mewakili para penghuni apartemen, sementara REI merepresentasikan developer properti.
Sikap REI sendiri, melalui sekjennya Totok Lusida dalam laporan kami pada awal Maret lalu, keberatan dengan Permen 23 dan Pergub 132. REI melayangkan gugatan ke Mahkamah Agung, tapi kemudian ditolak. Anies Baswedan, salah satu yang digugat REI, memuji keputusan MA yang telah menerapkan "prinsip keadilan."
Kacaunya pengelolaan apartemen menjadi problem akut yang dihadapi Ibu Kota. Ini semua beririsan dengan problem hak rumah layak di tengah pemukiman semakin padat dan tanah semakin mahal di Jakarta. Nyaris 50 persen warga Jakarta tuna rumah. Bahkan sepanjang 2018, ada 13.100 orang mengungsi akibat delapan peristiwa bencana alam.
Sekalipun warga kelas menengah di Jakarta punya uang buat tinggal di apartemen, toh mereka pun menghadapi masalah hak hidup secara adil. Sebagian besar dari mereka membayar iuran tapi tangannya terpangkas buat mengelolanya.
Sebagai gambaran: perputaran uang di The Lavande Residences dan Kalibata City hampir mencapai sekitar Rp100 miliar per tahun. Ini belum dikalikan dengan 43 apartemen yang dikuasai Agung Podomoro Land. Namun, hingga kini, melimpahnya uang yang dikeluarkan warga apartemen ini tak cukup membereskan beragam masalah pada mayoritas apartemen Jakarta.
======
Wan Ulfa Nur Zuhra membantu laporan ini lewat visualisasi data apartemen dan rusun DKI Jakarta.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana & Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam