tirto.id - Seorang pria tak dikenal tiba-tiba mencoba merangsek masuk ke Kompleks Istana Kepresidenan yang berada di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Senin 18 Desember 2017. Aksi Muhammad Khalifah itu langsung dicegah Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres).
Khalifah yang punya nama lain Ivon Rekso ini mampu masuk ke salah satu pintu dengan melewat penjagaan pasukan TNI yang bertugas di depan gerbang Istana Merdeka. Aksinya kemudian gagal setelah Paspampres menangkapnya. Khalifah kemudian diperiksa intelijen polisi dari Polres Jakarta Pusat.
Saat diperiksa, menurut keterangan polisi, Khalifah membawa gawai yang di dalamnya berisi berbagai bentuk ujaran kebencian dan ancaman pembunuhan. Ancaman tidak hanya dilayangkan buat Presiden Jokowi, tetapi juga untuk Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono.
“Jejak digital yang ada di hp-nya ternyata penuh dengan ujaran kebencian,” kata Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri, Kombes Martinus Sitompul di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (19/12/2017).
Setelah diperiksa polisi, Khalifah kemudian menjalani pemeriksaan kejiwaan di Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur. Dalam pemeriksaan itu, Khalifah menunjukkan inkonsistensi jawaban dari pertanyaan yang diajukan dokter. “Ditanya A, jawabnya B. Ditanya B dijawab C,” katanya lagi.
Meski begitu, Martinus menjelaskan Khalifah tidak langsung divonis mengalami gangguan jiwa. Polisi masih akan memeriksa lebih jauh sebelum memutuskan status hukum buat Khalifah.
Bukan Kejadian Pertama di 2017
Aksi serupa pernah dilakukan Brokington Sianturi (33) pada 28 Agustus 2017 dan Basulfi Tarsiwan (39) pada 13 November 2017.
Brokington merupakan pedagang alat terapi di Jakarta Pusat. Ia telanjang bulat saat mencoba memanjat pintu gerbang Istana Merdeka tanpa mengenakan sehelai busana. Peristiwa itu sempat menghebohkan lantaran video yang merekam adegan Brokington dipukuli Paspampres tersebar di dunia maya. Belakangan baru diketahui Brokington mengalami gangguan jiwa.
“Yang bersangkutan stres karena persaingan dagang semakin ketat,” kata Kapolres Jakarta Pusat kala itu, Kombes Suyudi Aryo Seto, Senin 28 Agustus 2017. Setelah ditangkap dan diperiksa polisi, Brokington kemudian dikembalikan ke keluarganya di Cengkareng, Jakarta Barat.
Dua bulan berselang setelah insiden Brokington, lelaki bernama Basulfi Tarsiwan (39) nekat merangsek ke Kompleks Istana Kepresidenan sekitar pukul 18.40 WIB. Ia bermaksud ingin bertemu dengan Presiden Joko Widodo.
Saat ditangkap anggota Paspampres, Basulfi mengaku anggota ISIS. Pasukan TNI itu kaget dan dengan sigap petugas langsung membawanya ke pos pengamanan. Polisi kemudian menyatakan pria asal Banyumas, Jawa Tengah, itu mengalami gangguan jiwa.
“Dulu pernah di rawat di RSJ. Akan dirujuk oleh keluarganya nanti,” kata Suyudi yang kala itu masih menjadi Kapolres Jakarta Pusat.
Tiga peristiwa ini memiliki beberapa persamaan. Baik Khalifah, Basulfi, dan Brokington sama-sama melakukan aksi mereka di awal pekan, tepatnya di hari Senin. Kesamaan kedua, para pelaku [kecuali Khalifah yang belum "divonis"] mengidap gangguan jiwa. Poin ini memang belum terbukti buat Khalifah, tapi polisi sudah menduga Khalifah tak berbeda jauh dengan Basulfi dan Brokington.
“Kalau patut diduga kelainan jiwa, kan, harus diperiksa lebih dari sekali," kata Kombes Martinus Sitompul.
Insiden di Zaman SBY
Aksi penerobosan Paspampres bukan hanya terjadi di era Joko Widodo. Pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), setidaknya sempat terjadi dua kali insiden yang mirip. Insiden yang terjadi di zaman SBY bahkan membuat pelakunya harus dibui seumur hidup lantaran mengibarkan bendera Republik Maluku Selatan.
Insiden terjadi di saat SBY menghadiri peringatan Hari Keluarga Nasional di Lapangan Merdeka, Ambon, Maluku, Jumat 29 Juni 2007. Saat itu SBY tengah menikmati tarian cakalele di tengah hujan deras. Sembari menari, sejumlah penari tiba-tiba membentangkan bendera RMS ukuran jumbo. Insiden ini membikin SBY berang sembari memberi peringatan.
“Jangan orang lain yang berbuat, semua kena getahnya,” kata SBY seperti dikutip dari Detikcom.
Peristiwa ini berbuntut panjang, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Ambon kemudian memvonis Johan Teterisa alias Yoyo (45) dengan pidana penjara seumur hidup, Ruben Saiya alias Eben (24) divonis 20 tahun penjara, dan Yohanis Saiya alias Ai divonis 17 tahun penjara.
Selain insiden di Maluku, peristiwa penerobosan pengamanan presiden juga terjadi di Bali. Kala itu, I Nyoman Minta melintas di depan panggung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat berlangsung pertunjukan aerobatik dalam ASEAN Fair 2011 di Nusa Dua, Senin 25 Oktober 2011.
I Nyoman Minta adalah tukang rumput di lapangan golf. Ia melintas dengan membawa karung berisi rumput dan kelapa kering dengan sepeda onthel. Ia lantas diseret Paspampres dengan keras. Nyoman Minta kemudian diperiksa marathon dari Senin malam 24 Oktober 2011 hingga Selasa siang, 25 Oktober 2011.
Pemeriksaan marathon ini membuat Minta dikabarkan hilang. Kabar hilangnya Nyoman Minta membuat sejumlah wartawan di Bali meminta Nyoman Minta dibebaskan. Setelah kabar ini menghangat, Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha kemudian meminta isu tersebut tidak dibesar-besarkan.
Kisah Setelah Penerobosan
Di balik kisah penerobosan ini, ada konsekuensi yang harus diterima para pelaku. Brokington dan Basulfi, misalnya, keduanya harus menerima pukulan hingga wajah mereka babak belur. Dengan wajah lebam dan bibir robek berdarah yang diduga hasil penyiksaan, foto Basulfi beredar di sejumlah laman media daring.
Kisah lebih tragis dialami Martha Sinay, istri Johan Teterisa alias Yoyo. Martha harus hidup tanpa suami, dan dicurigai macam-macam oleh keluarga suaminya. Yoyo dibui seumur hidup lantaran dipidana dalam kasus pengibaran bendera RMS di depan paspampres.
Martha juga harus pasrah gerak-geriknya diawasi aparat keamanan. Ia dituduh sebagai simpatisan Republik Maluku Selatan. Paling tidak ada lima kali patroli "pencarian RMS." Tiap operasi, ia harus naik ke hutan sembari membawa anaknya yang paling kecil. Dua anak lainnya dititipkan ke tetangga. Ia turun ketika operasi selesai. Ia dan anak-anaknya kelaparan tetapi ia tak bisa langsung memasak, harus tengok kanan-kiri dulu.
Ketakutan ini bukan tanpa alasan. Tetangganya sekampung, Yuliana H. Riry, istri Jordan Saija—tahanan politik Maluku lain yang ditangkap pada 2007 dan divonis 17 tahun penjara serta kini mendekam di Nusakambangan—juga mengalami tekanan psikis di Aboru.
Bagian terberat dari suami yang dipenjara belasan tahun adalah menghidupi anak-anak dan menyekolahkan mereka. Saat ditangkap, Johan Teterisa meninggalkan tiga anak, yang saat itu masih sekolah dasar, SMP, dan SMA.
Martha bekerja apa saja supaya anaknya tetap bisa makan dan sekolah. Ia bekerja sebagai tukang angkat batu, angkat pasir, berkebun, demi bertahan hidup bersama anak-anaknya.
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Mufti Sholih