tirto.id - Martha Sinay tak akan lupa hari penangkapan suaminya, Johan Teterisa.
Jumat, 29 Juni 2007, Martha sedang di rumah menunggu anak-anaknya sekolah di Neira, sebuah kampung di sebelah Aboru, Pulau Haruku. Kampung Aboru heboh karena penangkapan itu disiarkan langsung di televisi. Tampak di layar, Teterisa, yang bertelanjang dada, dipiting oleh aparat gabungan pengawal presiden, polisi, dan tentara. Sesekali mereka melayangkan tinju ke badannya sebelum dibawa ke sebuah mobil.
“Bapa ikut acara di Ambon,” kata Martha dilanda bingung. “Anak-anak menangis.”
Ambon-Aboru dipisah laut, dan perlu sejam naik perahu motor untuk menyeberanginya. Seminggu Martha pontang-panting mencari tahu keberadaan suaminya di Ambon. Anak-anak ditinggal di Aboru.
“Mama ketemu Bapa di Polda. Bapa direndam air sebetis. Lantas pindah di Tantui (markas Densus 88/Anti-Teror). Disiksa. Dipukul. Dicambuk. Direndam dalam air. Mandi darah,” kata Martha, kini 49 tahun, menuturkan kepada saya sembari menyeka air mata, awal Agustus lalu.
Hidup tanpa suami bikin Martha dicurigai macam-macam oleh keluarga suaminya. Dituduh selingkuh, tak peduli anak, hingga kawin lagi. Tak hanya menuduh lisan, mereka pun melakukan kekerasan fisik. Martha dipukul hingga dibacok dengan parang. “Untung bagian tumpulnya yang kena beta,” ujarnya.
Usai penangkapan suaminya, Martha diawasi gerak-geriknya oleh aparat keamanan. Ia dituduh sebagai simpatisan "Republik Maluku Selatan." Paling tidak ada lima kali patroli "pencarian RMS." Tiap operasi, ia harus naik ke hutan sembari membawa anaknya yang paling kecil. Dua anak lainnya dititipkan ke tetangga.
Ia turun ketika operasi selesai. Ia dan anak-anaknya kelaparan tetapi ia tak bisa langsung memasak, harus tengok kanan-kiri dulu.
Ketakutan ini bukan tanpa alasan. Tetangganya sekampung, Yuliana H. Riry, istri Jordan Saija—tahanan politik Maluku lain yang ditangkap pada 2007 dan divonis 17 tahun penjara serta kini mendekam di Nusakambangan—dipukuli polisi dalam satu patroli di Aboru.
“Tiga hari setelah suami ditangkap, beta lagi di rumah dengan tiga anak mo tidur,” kata Yuliana. Pintu rumah diketuk polisi. Istri Jordan mendengar polisi-polisi itu bicara lewat Handie Talkie. Mereka berkata bahwa “target sudah ditemukan.”
“Beta buka pintu langsung ditampar sampai terduduk di kursi dan ditendang sampai terlempar di pojok ruangan,” tutur Etha, panggilan akrab Yuliana.
Tak ada tanya-jawab saat kejadian. Mendengar keributan di rumah Etha, para tetangga berkumpul. Setelah menyaksikan yang terjadi pada Etha, warga marah dan mengusir polisi yang berpatroli.
Rumah Martha juga sempat didobrak aparat yang berpatroli tetapi saat itu ia tak di rumah.
Dipecat dari PNS
Bagian terberat dari suami yang dipenjara belasan tahun adalah menghidupi anak-anak dan menyekolahkan mereka. Saat ditangkap, Johan Teterisa meninggalkan tiga anak, yang saat itu masih sekolah dasar, SMP, dan SMA.
Martha bekerja apa saja supaya anaknya tetap bisa makan dan sekolah. Ia bekerja sebagai tukang angkat batu, angkat pasir, berkebun, di antara hal lain, demi bertahan hidup bersama anak-anaknya.
“Dibiayai dengan tulang sendiri, jual sayur, jual kasbi (singkong),” ujarnya.
Johan adalah seorang guru sekolah negeri. Setelah ditangkap, Martha masih menerima gaji suaminya. “Biasanya gajinya dibagi dua, separuh buat saya dan separuh buat dikirim ke Bapa di Nusakambangan,” ujar Martha.
Namun, ini tak berlangsung lama. Sekitar tahun 2010, gaji suaminya diputus saat anak keduanya hendak ujian SMA.
Martha berusaha mencari tahu kenapa gaji suaminya dihentikan. Ia bertanya kepada kawan-kawan guru suaminya dan atasannya.
“Katanya tidak mengabdi. Beta tanya ke guru-guru lain di Masohi,” ujarnya. “Dorang bilang, 'Bu, karena Bapa Johan tak mengajar, jadi gajinya ditarik.'” Masohi adalah sebuah kota di Maluku Tengah, jadi Martha harus pergi ke sana dengan perahu motor dari Pulau Haruku.
Gaji suami ditarik adalah malapetaka bagi Martha dan anak-anaknya. Untuk makan, mereka berharap belas kasihan dari keluarganya. “Gaji ditarik paling susah, makan saja susah, untung ada orangtua, saudara yang bisa bantu,” tutur Martha.
Senasib dengan Johan Teterisa, tapol yang dipecat dari PNS antara lain Petrus Rahayaan (41), David Tapilatu (63), Frans Sinmiasa (63), dan Yacobis Tesiwarissa.
Petrus Rahayaan, ditangkap pada 2007 dan dipenjara 12 tahun, dipecat dari pegawai tata usaha di SMU 1 Ambon setelah bekerja tujuh tahun.
David Tapilatu, ditangkap pada 2004 dan dipenjara 1 tahun, dipecat pada 2009 jelang setahun lagi pensiun. Begitu pula Yacobis, yang ditangkap pada 2006 dan dipenjara 2 tahun, dipecat saat usianya 53 tahun. Keduanya pegawai di kantor Pendidikan dan Kebudayaan.
Frans Sinmiasa, yang pernah ditangkap pada 2010 dan dihukum 3 tahun penjara, juga dipecat dari PNS di kantor gubernur menjelang pensiun. Saat ini ia sudah usia lanjut dan sakit-sakitan di penjara Ambon. Ia keluar-masuk penjara tiga kali karena kasus “bendera RMS”.
Saya membesuk Frans di Ambon tapi tak diperkenankan masuk oleh petugas. “Bapak Angky seng bisa keluar kamar. Sakit dirawat di klinik. Di kamar sudah satu minggu. Masih kaku-kaku,” ujar Daniel Malawau, 72 tahun, sesama tahanan politik yang masih ditahan di penjara Ambon.
David Tapilatu juga sakit komplikasi di rumahnya, sedang Yacobis meninggal dunia empat tahun lalu.
Keluarga Johan Teterisa
Ketiga anak Martha Sinay dan Johan Teterisa sudah lulus SMA. Mereka ingin melanjutkan kuliah tetapi tak ada uang. Sambil menangis, mereka memohon Mamanya supaya bisa dikuliahkan.
“Mama, orang sekolah jauh-jauh,” ujar Martha, meniru permintaan anak pertama dan keduanya.
Sementara anak ketiganya ingin jadi tentara. “Ais (Yohanis Teterisa) mau tes tentara. Mama bilang, 'Bapa su dicap. Seng bisa. Mama tra mampu. Hidup hari-hari saja susah.'”
Dengan setengah putus harapan, Ais menjawab, “Orang dapat hidup, kita lihat saja.”
Ketiga anak Teterisa akhirnya mencari kerja di Ambon. Karena Bapanya sudah dicap "aktivis RMS," mereka susah mendapatkan pekerjaan bagus. Mereka akhirnya pindah ke Jakarta.
Kini mereka menjalani hidup keras di ibu kota, pusat bisnis dan kekuasaan Indonesia. Mereka bekerja macam-macam, dari buruh pabrik helm hingga penarik utang.
“Di Jakarta, hidup juga susah, gaji sejuta kontrakan 800 ribu. Mereka kerja untuk hidup mereka,” tutur Martha.
Kehidupan yang keras menjadikan mereka tak begitu mempedulikan kesehatan dan mengonsumsi alkohol. “Kadang sehari makan sekali, kadang tak makan sama sekali. Cuma minum,” tutur Joncard Teterisa, putra kedua Johan dan Martha.
Tubuh ketiga anak Johan Teterisa kurus kering dan mereka sering sakit-sakitan. “Sebelum Natal kemarin, Aldo (Rivaldo, anak pertama) dan Joni (Joncard ) sakit. Aldo sakit tipes dan Joni ginjal, asam urat, dan jantung kiri membengkak,” tutur Martha.
Martha tak sampai hati membiarkan anak-anaknya sakit sendiri di Jakarta. Meski tak ada uang, ia meminjam tetangga untuk menengok anak-anaknya, Desember tahun lalu.
“Kalau melihat anak-anak menderita, kadang sakit juga. Berat. Kecewa. Tapi mau bagaimana lagi? Terima saja. Mau bagaimana?” ujar Martha. “Setelah dirawat Mama di Jakarta, Aldo sembuh. Mama lalu pulang ke Ambon. Lalu Joni menyusul sakit."
Sakit Joni lebih parah dan utang belum dibayar. Akhirnya, Joni diminta pulang ke Ambon untuk diobati dengan obat kampung.
“Awal tahun, beta pulang, su enam bulan,” tutur Joni. “Diobati dengan ramuan, daun-daun dan akar-akar.”
Kondisi Joni sudah membaik dan ia balik ke Jakarta lagi. Martha berpesan, “Jangan terlalu minum-minuman dan cari-cari masalah. Rajin berdoa. Karena lagi susah. Kalau kerja, setia. Lebih baik sedikit keringat sendiri daripada bergantung pada orang.”
Beban hidup Martha lebih berat lagi ditambah utang. Artinya, ia harus bekerja lebih keras. Lebih lama berkebun dan lebih banyak lagi memikul batu dan pasir.
Tenaganya makin berkurang, ditambah beban pikiran yang membuat konsentrasinya kadang hilang. Minggu lalu, saat ia memikul sayur dan kasbi dari hutan, Martha terjatuh.
“Jatuh di kebun, patah tangan kanan. Mama lagi bawa makanan, kasbi, sayur kelapa,” ujarnya. “Seng periksa dokter, tra ada uang. Uang buat bawa ibadah saja seng ada. Utang si Joni saja belum habis.” Martha memijati tangannya sendiri dengan minyak.
Hukum Besi Pasal Karet
Johan Teterisa sekarang masih menjalani hukuman di Penjara Batu, Nusakambangan, Pulau Jawa—berjarak 3.000 kilometer dari Pulau Ambon. Ia divonis seumur hidup karena memimpin tarian Cakalele—tarian perang tradisional—dan membentangkan bendera 'Benang Raja', simbol Republik Maluku Selatan, ketika peringatan Hari Keluarga Nasional di Ambon, Juni 2007.
Teterisa bersama 28 penari lain—kebanyakan dari Aboru—mengekspresikan pandangan politiknya secara damai di depan hidung Susilo Bambang Yudhoyono di acara tersebut, di tengah banyak tamu undangan kenegaraan. Yudhoyono murka.
Mereka ditangkap dan disiksa. Pada 2009, sebagian tahanan politik ini dijauhkan dari keluarga mereka di Ambon dan dipindahkan ke beberapa penjara di Pulau Jawa termasuk Nusakambangan.
Teterisa mengajukan banding dan hukumannya menjadi 15 tahun penjara. Selain Teterisa, ada lima tapol lain dari kasus yang sama, yang masih ditahan di Lapas Kembang Kuning, Nusakambangan.
Mereka adalah dua bersaudara Ruben dan Yohanis Saija (keduanya dihukum 20 tahun dan 17 tahun penjara), serta Romanus Batseran, Jordan Saija, dan John Marcus—ketiganya dipidana 17 tahun penjara.
Dua tapol lain ditahan di Lapas Porong: Jonathan Riry dan Fredy Akihary, yang dipidana 15 tahun penjara.
Satu tapol di Lapas Bangkalan, Jawa Timur, adalah Pieter Johanes (15 tahun penjara), dan dua tapol lain di penjara Ambon: Daniel Malawau (15 tahun penjara) dan Frans Sinmiasa.
Baca juga: Nasib Tak Tentu Tapol Papua dan Maluku di Bawah Jokowi
Sejarahnya, pada 25 April 1950, Chr. R.S. Soumokil memproklamasikan kemerdekaan Republik Maluku Selatan. Proklamasi ini direspons oleh pemerintah Jakarta dengan mengirim pasukan dan menggelar operasi militer dan menekan pemberontakan hingga berhasil ditundukkan pada 1966.
Para pemimpin yang selamat mengungsi ke Belanda dan mendirikan pemerintahan di pengasingan itu di bawah pimpinan John Wattilete.
Baca juga:
Soumokil: antara Federalis dan Separatis
RMS yang Mencoba Bertahan di Negeri Belanda
Dalam skala kecil, sentimen nasionalis Maluku masih hidup hingga kini. Isu kemerdekaan dan kedaulatan menyelinap di tengah kekerasan komunal antara penduduk Kristen dan muslim dari Jawa dan Sulawesi pada 1999 hingga 2005. Ribuan tewas dan puluhan ribu lain mengungsi.
Pada 2010, Alex Manuputty mendirikan Front Kedaulatan Maluku (FKM), mengklaim bahwa konflik hanya bisa dihentikan jika Maluku meraih kemerdekaan dan mendirikan republik independen Maluku Selatan. FKM dibekukan oleh Saleh Latuconsina pada 2001—saat itu gubernur Maluku (1997-2002).
Pengibaran bendera RMS, terutama saat peringatan 25 April, menjadi metode utama ekspresi publik ketidaksenangan sebagian masyarakat Maluku terhadap pemerintahan Indonesia. Banyak tahanan politik Maluku dihukum karena ekspresi semacam ini. Puncaknya saat ada peringatan kenegaraan pada 29 Juni 2007.
Susilo Bambang Yudhoyono merasa dipermalukan, dan menyerukan “tak ada toleransi terhadap separatisme."
Pejabat Ambon bereaksi dengan menangkap para penari dan membawanya ke markas Densus 88 di Tantui, Ambon. Dalam laporan Human Rights Watch berjudul "Kriminalisasi Aspirasi Politik" (Juni 2010), kepolisian Ambon menangkap sekitar seratusan orang yang diduga terlibat dalam tarian tersebut. Mereka disiksa habis-habisan dan dipidana antara 5-20 tahun dengan pasal makar 106 dan 110 KUHP.
Belakangan, pemerintah Indonesia enggan mengakui orang-orang yang ditangkap, disiksa, dan dipenjara karena mengekspresikan pandangan politiknya secara damai—baik dari Maluku maupun Papua—sebagai “tahanan politik” dan menganggap mereka sebagai narapidana biasa.
Padahal pasal yang dipakai oleh otoritas Indonesia, yang bikin mereka tersiksa, adalah pasal makar, pasal karet warisan kolonial Belanda. Baik pasal 106 maupun 110 ini paling banyak dipakai untuk merepresi ekspresi politik damai.
Yudhoyono juga menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 77/2007, yang mengatur lambang daerah “tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau ... separatis.”
Peraturan ini juga kian mempertegas pasal karet tersebut. Belakangan, Juli 2017 lalu, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Ormas, yang kian menaikkan sentimen anti-pandangan politik lain, yang membuat kritik atas pola-pola pendekatan pemerintah yang represif dapat dianggap “membahayakan stabilitas politik dan keamanan negara.”
Baca juga: Perppu Ormas Kian Mendiskriminasi Minoritas Agama dan Papua
Pada awal tahun ini, pasal-pasal karet itu diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk dikaji ulang, sebab telah melanggar hak paling mendasar dari Konstitusi Indonesia: kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berserikat.
Johan Teterisa menyebut nasib dirinya dan kawan-kawannya sebagai “tahanan politik yang dilupakan.”
Nasib Anak-Anak Tapol
Saya mengingat perjalanan saya setahun lalu, Juni 2016, saat bersama organisasi nonpemerintah lain mengatur perjalanan keluarga tapol ke pelbagai Lapas di Pulau Jawa. Semua kunjungan ini resmi dengan izin dari I Wayan Kusmiantha Dusak, direktur jenderal pemasyarakatan di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kami mengusahakan setiap tapol dikunjungi dua anggota keluarga. Kami menelepon keluarga mereka di Ambon dan Aboru.
Mereka rindu setengah mati. Mereka bertemu terakhir kali di Ambon dengan kondisi anaknya, suaminya, atau ayahnya babak belur disiksa polisi. Mereka bahkan tak dapat pemberitahuan kalau pohon keluarga mereka dipindah ke Jawa. Setelah beberapa bulan, mereka baru tahu dari mulut ke mulut.
Mereka ingin bertemu tapi jarak jauh bikin keadaan sulit. Sebagai petani, perjalanan yang pernah mereka lakukan paling banter ke Ambon. Ongkos menjadi kendala utama.
Etha Saija, istri Jordan Saija, misalnya, harus menyeberang dengan perahu motor ke Ambon untuk sampai ke bandara terdekat. Ini perjalanan terjauhnya dan ia memendam bermacam kecemasan.
Ia tak pernah naik pesawat. Bagaimana ongkos naik perahu ke Ambon? Bagaimana masuk bandara? Siapa yang menemani di bandara? Apakah ada uang saku selama di Jawa? Harus bawa oleh-oleh apa? Dan pertanyaan cemas lain.
Beruntung Arens Saija—satu saudara dengan Ruben dan Yohanis—pernah di Jawa. Ia pernah ditahan di Kedungpane, Semarang, untuk kasus yang sama dengan pidana 8 tahun penjara. Ia dibebaskan karena sakit keras di penjara.
“Saya disiksa dan hampir mati di tahanan,” kata Arens Saija.
Pengalamannya ke Jawa cukup menenangkan rombongan dari Aboru. Mereka berangkat pagi-pagi dari rumah lalu disambung perjalanan udara ke Jakarta, kemudian naik bus menuju Cilacap, perhentian terakhir sebelum menyeberang ke Nusakambangan.
“Terakhir ketemu muka suami saya … lebam-lebam penuh luka,” tutur Etha Saija terisak dan memegang kepala putranya, Fredy Saija, usia 12 tahun.
Setahun kemudian, saya mendatangi keluarga-keluarga ini.
Keluarga kesebelas tapol ini tak jauh berbeda dari kondisi Martha Sinay dan anak-anaknya—istri Johan Teterisa. Mereka hidup dalam kondisi kemiskinan akut. Tak sedikit dari mereka yang anak-anaknya putus sekolah.
Johana Teterisa, 31 tahun, istri Ruben Saija, punya kesedihannya sendiri. Suaminya divonis 20 tahun, paling lama di antara tahanan politik kasus tarian Cakalele. “Beta langsung pingsan mendengar vonis tersebut,” tutur Johana.
Pasangan ini baru menikah dua tahun dan baru lahir putri kecil yang manis. “Pada 2005 menikah, punya anak kecil. Tahun 2007 suami kena tangkap,” ujarnya.
Yohana Akihary, 65 tahun, Mama Ruben Saija, juga amat terpukul. “Waktu anak ibu ditangkap, hidup Mama susah. Menangis saja. Mama jadi pu pikiran banyak. Susah. Susah,” tutur Yohana.
Yohana punya tujuh anak dan ini kali kedua anaknya kena tangkap karena menyuarakan keresahan politis. Anaknya tidak mencuri, anaknya tidak korupsi, anaknya tidak melakukan kejahatan yang merugikan negara.
Yang paling berat: Yohana menanggung penderitaan bahwa tak cuma satu anaknya yang kena tangkap. Pada penangkapan pertama, ada lima anaknya; penangkapan kedua, ada tiga anaknya.
“Yang ditahan pertama masih kuat besuk. Yang kedua tra lagi. Kaki su sakit semua,” ujar Yohana, memendam kepedihan.
Yohana tak mampu besuk juga karena penahanan ketiga anaknya dibawa ke Jawa. Ruben dan Yohanis Saija di Nusakambangan, dan Arens Saija di Lapas Kedungpane. Selain itu, ia harus merawat cucu-cucunya yang masih balita.
“Saat Ruben dan Arens di penjara, beta yang asuh anak-anak mereka,” ceritanya.
Johana Teterisa, istri Ruben, tahu betul pahitnya ditinggal suami. Sama seperti istri-istri tapol lain, ia tanam pisang, tanam kasbi, memikul batu dan pasir sebagai buruh bangunan agar bisa bertahan. Makanan bisa dicari di kebun tetapi cari duit susah sekali di Aboru, “Setengah mati. Hari-hari mati cari pekerjaan.”
Setengah mati juga ia mengumpulkan duit buat membelikan susu anaknya. ”Anak seng bisa minum susu. Duit dari mana? Minum teh gula saja.”
Tak tahan dengan kemiskinan, ia berusaha keluar kampung dan pergi ke Kota Ambon. Anaknya yang masih balita dititipkan mertuanya.
“Ruben ditahan dua tahun di Ambon, lalu dipindah ke Nusakambangan. Beta ke Ambon cari kerja,” cerita Johana, sembari berlinang airmata.
Bermodalkan ijazah SMP, ia mencari kerja di Ambon. Ini bukan perkara gampang. Susah bagi penduduk umumnya dan lebih susah lagi bagi istri aktivis. “Bertahun-tahun baru dapat pekerjaan,” kata Johana, “Teman diminta cari kerja. Enam kali lamar kerja. Rumah makan, toko, seng mau.”
Johana akhirnya bekerja di rumah makan di Ambon. Ia bekerja tujuh hari tanpa henti untuk penghasilan Rp1 juta lebih dikit per bulan. Lebih dari separuhnya ia pakai untuk sewa tempat tinggal, sisanya dikirim ke kampung.
“Kirim beras, uang buat jajan. Titip orang yang bawa speedboat,” jelasnya.
Ia juga tak tentu menengok anaknya di Aboru, paling cepat dua bulan sekali, kadang tiga bulan sekali. Namun, sejak Desember tahun lalu, ia belum juga pulang menengok anaknya.
Anaknya, Vike Saija yang waktu ditinggal Ruben berusia setahun, kini sudah kelas satu SMP. Ia sudah tahu artinya kesepian dan rindu ayah dan ibunya.
“Mama seng ada, Papa seng ada, Vike sendiri. Sunyi,” kata Vike bila ditelepon.
Johana tak tahu harus jawab apa. Ia minta anaknya berdoa. “Sembahyang saja, nanti Papa pulang,” jawab Johana sekenanya.
Yang menyenangkan Johana adalah Vike anak yang pintar; sering dapat ranking bagus di sekolah. Namun, ia sedih bila mendengar Vike menangis ingat Papa dan Mamanya.
Vike juga sering sakit perut bagian bawah. Yohana memprediksi karena putrinya suka jajan sembarangan. Karena tak ada duit, Vike belum dibawa ke dokter.
“Su lama sakit. Sebelum dia besuk ke Nusakambangan itu dia su sakit. Kalau kumat, dia sampai jongkok-jongkok kesakitan,” ujar Mamanya.
Setahun lalu, saat kami mengantar Johana dan Vike bertemu Papanya di Nusakambangan, Vike tak mengenal Papanya.
“Waktu istri dan anak saya tiba di pintu portir, anak saya melewati saya. Itu pun saya sengaja: Apakah anak saya masih kenal dengan saya atau tidak? Ternyata saya dilewati oleh anak saya,” kata Ruben Saija, yang lantas mendekati Yohanna.
Vike mendekati Mamanya dan bertanya, “Mama, itu Om siapa?”
“Itu Bapa,” jawab Johana. Vike heran dan terkejut dan memandangi Papanya lama sekali.
Lantas Ruben membuka pembicaraan, “Ini Papa … coba dilihat, muka Papa dan Vike sama atau tidak?”
Putrinya mengangguk. Seketika Ruben menarik anaknya. Memeluk. Mencium. Memangkunya.
Vike cepat dekat dan mereka bermain dan mengobrol.
Dua jam waktu besuk—tanpa diberi keistimewaan khusus padahal perjalanan ini sangat berarti bagi keluarga-keluarga tapol—berlalu begitu cepat. Saat disuruh pulang, Vike menolak; ia ingin menginap di Nusakambangan bersama Papanya.
“Beta mo tidur deng Papa,” rajuk Vike.
Sampai Kapan Mereka Harus Berpisah?
Semakin lama Papa mereka ditahan, dan semakin banyak anak-anaknya, kondisi keluarga yang ditinggalkan pun semakin sulit.
Setidaknya itu yang dialami Yacomina Usmany, istri Fredy Akihary, tapol Maluku yang hingga kini masih mendekam di Lapas Porong.
Saat ditangkap pada 2007, Fredy meninggalkan enam anak yang masih kecil-kecil. Dua di antaranya sudah lulus SMP dan tak bisa melanjutkan studi SMA.
“Seng ada uang,” tutur Yacomina, kini 57 tahun. “Mereka dua bantu beta kerja kebun untuk sekolah adik-adiknya.” Empat anak lain masih sekolah.
Meski dibantu dua anaknya bekerja di kebun, kondisi keluarga tak banyak berubah. Biaya sekolah tiap bulan, sekitar Rp80 ribu, terlalu mahal bagi keluarga tapol. Anak-anaknya satu per satu berhenti sekolah karena kesulitan biaya.
“Anak nomor 4, 5, dan 6 seng lulus SMP,” ujar Yacomina.
Tanpa pendidikan cukup, tentu mencari kerja formal bertambah sulit. Ditambah cap buruk terhadap keluarga tapol. Ini kian menyulitkan anak-anak Akihary untuk dapat pekerjaan.
“Enam-enamnya seng kerja. Kalau habis sekolah bisa kerja. Kalau seng habis, seng bisa. Sehari-hari cuma kerja kebun semua,” ujar Mama mereka.
Satu harapan Yacomina adalah suaminya segera dipulangkan dan dibebaskan untuk membantu kehidupannya yang sangat kesusahan. Ini harapan yang sama dari semua istri tapol Maluku.
“Satu jalan saja. Kasih pulang suami torang. Supaya bisa bantu kehidupan sekarang,” tutur Yacomina.
“Hidup susah. Uang seng ada itu kekurangan kita. Karenanya (anak-anak) kita seng bisa sekolah.”
Penulis: Imam Shofwan
Editor: Fahri Salam