tirto.id - “Mungkin lebih beralasan mengatakan bahwa rasa malu dan rasa salah lebih mirip dua saudara kembar. Seseorang yang tidak merasa bersalah karena mencuri juga tidak akan malu kalau ketahuan mencuri..” – Ignas Kleden.
Rasa malu merupakan sifat yang penting dimiliki seorang pemangku jabatan publik. Penggalan kalimat dari sosiolog Ignas Kleden dalam kolom bertajuk “Bangsa dan Rasa Malu”yang terbit di majalah Tempo (1999) itu mencerminkan bahwa rasa malu dan bersalah saling berkelindan. Orang yang tahu malu akan sangat hati-hati karena tindak tanduknya selalu berpotensi melahirkan salah. Sebaliknya, ia yang tak tahu malu, akan terus tancap gas tanpa pernah merasa bersalah.
Maka pejabat yang tak tahu malu adalah sosok yang tanpa tedeng aling-aling tak merasa bersalah, meskipun melakukan tindakan tak patut atau niretika. Alih-alih merasa bersalah, pejabat tak tahu malu lebih nyaman melempar kesalahannya kepada rakyat.
Sudah banyak masyarakat yang justru minta maaf ke khalayak sebab mengkritik atau memviralkan ketidakpatutan pejabat publik. Paling anyar dan segar diingatan adalah polemik petugas patwal mobil dinas berpelat nomor RI 36.
Lexus hitam berpelat RI-36 yang dikawal petugas dari Polda Metro Jaya itu ramai diperbincangkan publik sebab dinilai menampilkan arogansi pejabat dan aparat di jalan raya. Perdebatan soal siapa pejabat pemerintah pengguna mobil tersebut berlangsung berhari-hari. Usai situasi semakin gaduh, barulah diakui bahwa mobil itu milik Utusan Khusus Presiden Bidang Generasi Muda dan Pekerja Seni, Raffi Ahmad.
Wadirlantas Polda Metro Jaya, AKBP Argo Wiyono, mengakui bahwa gestur anak buahnya memang terlihat arogan. Meski begitu, menurutnya, si petugas sebetulnya ingin melerai perdebatan dua pengguna mobil di jalan.
Sementara itu, Raffi Ahmad lewat keterangan pers akhir pekan lalu mengaku bahwa dia sedang tidak di dalam mobil saat kejadian. Raffi juga menyampaikan bahwa perekam video mobil dinasnya itu sudah minta maaf karena membuat gaduh.
“Perekam video viral mobil RI 36 yang dikawal patroli dan pengawalan (patwal) menerobos kemacetan di Jalan Jenderal Sudirman Jakarta diketahui sudah menyampaikan permohonan maaf melalui akun TikTok,” tulis pihak Raffi Ahmad.
Jika tidak mau disebut aneh, tanggapan pers Raffi Ahmad atas kasus mobil dinasnya boleh disebut lucu. Pasalnya,kenapa pula perekam kejadian itu harus minta maaf? Apakah artinya seseorang bersalah bila menyampaikan kritik publik atau merekam ketidakpatutan pejabat negara?
Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arif Maulana menyebut bahwa sesuai Pasal 9 UU 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN, masyarakat berhak berperan serta untuk mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang penyelenggaraan negara.
Masyarakat juga berhak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap penyelenggara negara. Mereka juga seharusnya berhak pula mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan haknya.
Hal tersebut sebagai bentuk hak dan tanggung jawab masyarakat untuk ikut mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih. Artinya, kata Arif, masyarakat tidak perlu minta maaf saat pendapat dan kritiknya benar dan bisa dipertanggungjawabkan.
“Oleh karena itu, ketika masyarakat memviralkan fakta penyalahgunaan wewenang atau kesewenang-wenangan pejabat publik atau aparat, mestinya diapresiasi bukan justru disuruh minta maaf,” kata Arif kepada reporter Tirto, Selasa (14/1/2025).
Mengkritik Pejabat adalah Hak Warga
Kejadian lucu dan aneh macam kasus mobil dinas Raffi Ahmad bukan sekali ini terjadi. Misalnya, pada tahun lalu, Polda Sumatra Barat disorot publik sebab anggotanya diduga telah menganiaya bocah bernama Afif Maulana hingga tewas.
Ketika kasus kematian Afif bergulir, Polda Sumbar malah gagal fokus dengan mencari-cari orang yang memviralkan kasus tersebut. Kapolda Sumbar, Irjen Suharyono, akhirnya mengklaim orang yang dicari sudah ketemu dan sudah meminta maaf kepada kepolisian.
Kejadian lain, yakni ketika sebuah ambulans diberhentikan oleh pengawal iring-iringan mantan Presiden Joko Widodo di depan RSUD dr. Murjani Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, Rabu (26/6/2024).
Dalam video yang direkam oleh si sopir ambulans, terlihat dia terpaksa menghentikan kendaraannya demi menunggu mobil Jokowi lewat. Video sopir ambulans itu lantas viral dan membuat Istana mengeluarkan permintaan minta maaf.
Belakangan, si sopir ambulans, Muhamad Rizkyansah, justru juga mengunggah video permintaan maaf dan menjelaskan bahwa dia merekam peristiwa pengawalan Jokowi secara spontan.
Belum lagi kejadian yang menimpa Bima Yudho Saputro, pemilik akun TikTok Awbimax Reborn. Melalui akun Awbimax Reborn, Bima memang dikenal getol menyampaikan kritik, terutama terhadap Pemerintah Provinsi Lampung. Alhasil, orang tua Bima harus menemui Gubernur Lampung, Arinal Djunaidi, untuk meminta maaf.
Bima sempat bercerita bahwa keluarganya diduga mengalami tekanan dari aparat kepolisian. Namun, orang tua Bima membantah hal tersebut dan memintanya untuk tidak membuat video kritik lagi.
Menilik itu semua, Arif Maulana dari YLBHI menilai masyarakat umumnya belum menyadari bahwa mereka berhak berpendapat, melontarkan kritik, dan mengawasi pejabat atau aparatur negara. Hak itu pun dijamin oleh konstitusi dan hukum sebagai bagian dari partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan negara.
Justru keliru, kata Arif, jika aparat penegak hukum malah mencari orang yang mengunggahinformasi terkait ketidakpatutan pejabat atau memviralkan aparat yang melanggar hukum.
“Apalagi, sering kali mengintimidasi agar masyarakat menghapus konten atau melakukan kriminalisasi,” ucap Arif.
Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menyatakan bahwa masyarakat memang takut untuk melakukan kritik atau memviralkan ketidakpatutan pejabat publik. Pasalnya, mereka sering kali mengalami bentuk-bentuk intimidasi berbagai rupa setelah itu.
Bahkan, kata Bivitri, bentuk intimidasi ini terkesan bukan sebuah tindak kekerasan, tapi menciptakan efek takut lewat hal-hal yang merepotkan.
Misalnya, warga justru didatangi dan ditanya-tanya oleh aparat kepolisian setelah mengkritik atau memviralkan kelakuan pejabat yang tak patut. Mereka terkadang datang berseragam, sering pula memakai setelan sipil. Situasi ini tentu saja menciptakan ketidaknyamanan secara psikologis bagi warga yang menyampaikan atau memviralkan kritik.
“Enggak ada dasar hukumnya kan. Enggak mungkin, misalnya, dibawa ke penjara atau apa dengan mudah. Tapi kan, banyak sekali masyarakat kita yang awam hukum,” ucap Bivitri kepada reporter Tirto, Selasa (14/1/2024).
Tidak Perlu Minta Maaf
Senada dengan Arif Maulana dari YLBHI, Bivitri mengatakan bahwa mengkritik dan mengawasi pejabat dijamin undang-undang. Maka tidak ada dasar hukumnya warga harus meminta maaf jika memviralkan ketidakpatutan pejabat.
Dia menilai bahwa warga terpaksa memilih jalan “no viral, no justice” karena memang tidak tersedia mekanisme pelaporan warga yang andal. Menurut Bivitri, selama pejabat atau aparat memang melakukan ketidakpatutan—seperti pelanggaran etika dan hukum, warga tidak perlu sungkan mengkritiknya.
Bivitri menambahkan bahwa perilaku pejabat yang enggan diawasi memang akan sewenang-wenang dan tidak tahu malu. Budaya malu sebetulnya merupakan salah satu akar untuk mempertahankan demokrasi.
Pasalnya, demokrasi menitikberatkan akuntabilitas pemerintahan terhadap demosalias rakyat. Maka saat pejabat dan aparatur negara yang notabene adalah pelayan publik tidak menjalankan amanah dengan baik, publik jelas berhak menyatakan protes.
Bahkan, warga punya basis material bernama pajak. Masyarakat bayar pajak agar negara melayani warga sebagai demosdengan pantas dalam sebuah negara demokrasi. Dalam hal ini, jika pejabat publik tidak tahu malu dan sewenang-wenang, sama juga menyalahgunakan mandat demokrasi.
“Pejabat publik itu tidak paham bahwa mereka itu bukan seperti bangsawa dalam masa lalu, saat kerajaan, sebelum demokrasi itu muncul. Tapi, mereka [saat ini] adalah pelayan publik,” kata Bivitri.
Untungnya, Presiden Prabowo Subianto tanggap dalam merespons polemik anak buahnya yang membuat gaduh masyarakat. Prabowo dikabarkan langsung menegur Raffi dan mengingatkan jajarannya untuk tidak mengulang tabiat arogan. Hal ini disampaikan Prabowo lewat Sekretaris Kabinet, Teddy Indra Wijaya.
"Pak Prabowo sudah ngasih arahan melalui Seskab ya. Pak Mayor Teddy sudah menyampaikan," kata Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, usai mengikuti pelantikan pejabat Kementerian Komunikasi dan Digital di Jakarta Pusat, Senin (13/1/2025).
Sementara itu, pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, merasa heran mengapa masyarakat justru selalu meminta maaf saat ada polemik ketidakpatutan perilaku pejabat yang viral. Castro, sapaan akrabnya, justru memandang fenomena ini sebagai anomali.
Sebab, pejabat publiklah yang seharusnya meminta maaf kepada rakyat atas kelakuannya yang tak patut.
Seorang pejabat seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat dan tidak perlu didewakan. Sifat pejabat yang ingin dihormati terus-menerus dan enggan dikritik merupakan budaya feodalisme.
Negara seharusnya berterima kasih kepada warga yang sudah berani mengawasi dan memviralkan pejabat berkelakuan tidak pantas. Bukannya justru diintimidasi dan diancam kriminalisasi.
“Menurut saya, kalau misalnya ada pejabat yang menampakkan perilaku-perilaku yang tidak wajar di luar batas, ya harusnya ya dia diberhentikan aja. Bahkan, kalau perlu dipecat secara tidak hormat oleh presiden,” tegas Castro kepada reporter Tirto, Selasa.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi