Menuju konten utama

Perppu Ormas Kian Mendiskriminasi Minoritas Agama dan Papua

Perppu 2/2017 yang mengubah UU organisasi kemasyarakatan tak cuma membidik HTI, melainkan berefek luas bagi individu yang dituduh "menodai agama" dan ekspresi politik damai oleh aktivis Papua dan Maluku.

Perppu Ormas Kian Mendiskriminasi Minoritas Agama dan Papua
Polisi membubarkan aksi massa Aliansi Mahasiswa Papua bersama Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua di Jakarta, Kamis (1/12), menuntut pemerintah Indonesia menggelar referendum di seluruh wilayah Papua. ANTARA FOTO/Juan Ferdinand/RN/foc/16.

tirto.id - Genap sembilan pekan sejak Menko Polhukam Wiranto mengumumkan "pemerintah perlu mengambil langkah-langkah hukum secara tegas membubarkan HTI," Rabu kemarin (12/7), orang yang sama mengumumkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Ormas Nomor 2/2017. Pasal-pasal dalam Perppu tersebut mengakomodasi pembungkaman yang jauh lebih luas dan tak cuma membidik Hizbut Tahrir Indonesia. (Baca: Pemerintah Ambil Langkah Tegas Bubarkan HTI)

KontraS, lembaga nonpemerintah pemantau hak asasi manusia berbasis di Jakarta, menyatakan bahwa keluarnya Perppu 2/2017 menunjukkan watak pemerintah yang "insecure" dan "kegagapan negara melihat dinamika kebebasan berserikat dan berkumpul" pasca-Orde Baru. Terbitnya Perppu ini, menurut KontraS, adalah "indikasi buruk" pemerintahan Joko Widodo yang gagal menangkap "semangat perlindungan kebebasan-kebebasan fundamental."

Puri Kencana Putri dari KontraS mengatakan tanpa Perppu 2/2017 sekalipun "negara seharusnya sudah dan mampu melakukan fungsi penegakan hukum." Perppu ini menjadi "jalan pintas" pemerintahan Jokowi yang tampak ingin menyederhanakan praktik penegakan hukum yang buruk mengatasi tindakan diskriminasi, ujaran kebencian, dan kekerasan yang muncul selama ini, menurut Puri.

Kehadiran Perppu ini, demikian Puri, adalah wujud "kekuatan tafsir politik" lewat hak prerogatif (istimewa) presiden "untuk mengontrol ruang kebebasan berserikat dan berkumpul di Indonesia."

"Stabilitas Politik dan Keamanan" Menutupi Kegagalan Penegakan Hukum

Sebagaimana bisa dibaca dalam Perppu tersebut, pemerintah memakai alasan "keadaan darurat" alias asas "kegentingan yang memaksa" sehingga dianggap sejalan dengan pasal 4 dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. Negara juga memakai alat ukur HAM lewat Deklarasi HAM Asia Tenggara di Bangkok pada 1993 yang menyatakan negara-negara ASEAN punya "kekhususan bersifat regional dan nasional" sehingga bisa mengabaikan hukum universal dari hak asasi manusia.

KontraS mengkritisi seharusnya pembatasan HAM bersifat nonpermanen dan melewati "ukuran yang ketat" sebagaimana sudah diatur dalam Kovenan tersebut, yang telah diratifikasi Indonesia pada 2005. Ia tidak langsung memberi dasar bagi pemerintah Indonesia bahwa keadaan yang dianggap "darurat" itu mengancam "kedaulatan NKRI".

"Apakah pengelola negara telah mendeklarasikan bahwa situasi negara masuk pada ukuran “darurat” dan “genting yang memaksa”?" demikian rilis KontraS. "Maka keberadaan Perppu ini layak diuji dengan ukuran legalitas dan ketersediaan penegakan hukum yang dapat memberikan panduan."

Adapun soal "relativisme" bahwa HAM di Indonesia harus berdasarkan Pancasila, ranah ini dalam sorotan serius karena memberi infrastruktur legal sehingga pemerintah Indonesia bisa gampang melakukan langkah-langkah anti-demokrasi dan praktik kesewenang-wenangan.

Pendek kata, pembatasan HAM dalam situasi "darurat" harus dapat dipisahkan dari larangan atau pembatasan yang dibolehkan di masa damai atau normal, yang "sebenarnya bisa dilakukan dengan ukuran-ukuran penegakan hukum yang sudah tersedia di Indonesia," demikian KontraS.

"Tidak menggunakan pendekatan penegakan hukum terlihat dari ketiadaan mekanisme peradilan dalam menguji larangan pembubaran ormas. Justru yg dipakai adalah instrumen eksekutif politik: Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM," tegas Puri Kencana Putri.

Amnesty International, organisasi nonpemerintah yang mempromosikan hak asasi manusia berbasis di London, mengkhawatirkan Perppu 2/12017 "bakal jadi alat hukum yang jauh lebih keras dari UU Ormas dalam membatasi kebebasan berserikat, berekspresi, dan berpikir serta menyampaikan hati nurani dan pandangan agama."

"UU Ormas 17/2013 telah menghambat kerja-kerja pembela hak asasi manusia serta mendukung sikap diskriminatif terhadap kelompok-kelompok tertentu. Perubahan atas UU tersebut lewat Perppu akan mengubah situasi tersebut lebih buruk," menurut Amnesty.

Makin Mendiskriminasi Minoritas Agama dan Ekspresi Politik Damai di Papua

Andreas Harsono, peneliti Indonesia untuk Human Rights Watch, organisasi internasional yang memantau hak asasi manusia berbasis di New York, mengatakan "Perpu ini ancaman buat minoritas agama yang sering dituduh sesat di Indonesia. Organisasi mereka bisa dibubarkan pada tingkat nasional atau daerah."

"Ia juga bisa dipakai terhadap apa yang sering disebut separatisme di Indonesia, misalnya di Papua dan Maluku," ujar Harsono.

Organisasi tempat Harsono bekerja pernah merilis, di antara hal lain, laporan mengenai kekerasan terhadap minoritas agama dan penyiksaan terhadap orang Papua dan Maluku.

Laporan ini menggambarkan bagaimana muslim Ahmadiyah, jemaah Syiah, minoritas Kristen, dan komunitas Gafatar, di antara hal lain, diganyang di sejumlah daerah di Indonesia. Komunitas agama yang "dituduh sesat" ini dijadikan sasaran penyegelan dan penghancuran rumah ibadah mereka, serangan fisik dan verbal, pemimpinnya dipidanakan karena dituduh melakukan "penodaan agama", serta mereka diusir dari kampung halaman dan menjadi apa yang disebut "internally displaced person" alias pengungsi di negara sendiri.

Bila diurutkan, kasus-kasus kekerasan berbasis sentimen agama dan keyakinan punya sejarah panjang di Indonesia, tetapi makin meluas dan diakomodasi oleh hukum di era pasca-Soeharto. Pembatasan dan larangan itu termasuk SKB 3 Menteri tentang Rumah Ibadah 2006, SKB Anti-Ahmadiyah 2008, dan ancaman yang semakin kental lewat RUU Kerukunan Umat Beragama. Ada juga peran apa yang disebut Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem), di bawah Kejaksaan Agung, yang “mengawasi aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara.”

Baca:

Untuk kasus-kasus penyiksaan di Papua dan Maluku, dua wilayah yang punya sejarah gerakan pro-kemerdekaan, Indonesia memakai Peraturan Pemerintah 77/2007 tentang lambang daerah, terutama pada pasal 6 ayat 4. Pasal ini menyatakan "desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau ... separatis".

Aturan itu telah dipakai secara luas oleh aparatur keamanan negara dan penegak hukum buat membungkam protes politik damai orang Maluku dan Papua. Para pesakitan politik ini, termasuk yang terkenal adalah Filep Karma, dihukum antara 3 sampai 15 tahun penjara. Sebelum mendekam di balik jeruji, mereka mengalami penyiksaan; di antaranya bahkan cacat permanen. Setelah bebas, kehidupan pribadi dan keluarga mereka terganggu.

Pasal 59 dalam Perppu 2/2017 menyebutkan, di antaranya, ormas dilarang melakukan penistaan agama dan praktik kekerasan, termasuk mengambil sikap dan tindakan menyerupai aparat penegak hukum. Ormas juga dilarang dalam kegiatan separatisme termasuk penyebarluasan ide dan ajaran yang bertentangan dengan Pancasila. Ia juga mengatur larangan nama, lambang, bendera, atau simbol ormas "sama ... dengan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang."

Bagi yang melanggar pasal-pasal tersebut, lewat Perppu ini, pemerintah bisa menghukum "setiap orang" dengan pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun penjara.

"Saya bayangkan ada warga Ahmadiyah, Syiah, atau Millah Abraham (Gafatar) dihukum penjara karena mempertahankan iman mereka," kata Harsono. "Di Jayapura (ibu kota Papua) dan Manokwari (ibu kota Papua Barat), Perppu 2/2017 bisa dipakai buat memenjarakan aktivis dan pemuda Papua. Perppu ini kemunduran besar buat demokrasi Indonesia."

Amnesty International pun menyatakan Perppu 2/2017 "semakin menyempitkan ruang" bagi aktivis politik di Papua dan Maluku. Kebebasan politik mereka yang terbatas, sekalipun kegiatannya tanpa melibatkan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan, semakin "sangat dibatasi" lagi. Ratusan orang telah ditangkap dan dipenjara karena kegiatan semacam itu, ujar Amnesty.

Puri Kencana Putri dari KontraS mengatakan "setiap ide progresif" yang menuntut akuntabilitas negara, termasuk para pemuda Papua yang terhimpun dalam pelbagai organisasi yang mendesak pengungkapan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Papua, "akan disamakan dengan aktivitas mempromosikan separatisme."

Jadi, menurut Puri, Perppu ini "tidak hanya" mengontrol ormas keagamaan internasional dan nasional yang berafiliasi dengan partai politik. Ia juga tak cuma membatasi setiap organisasi yang kiprahnya dikenal memakai metode kekerasan dan ujaran kebencian.

Baik apa yang semula untuk membidik HTI, Perppu 2/2017 juga akan memperluas target individu lain dari organisasi yang dituduh "sesat" atau melakukan "penistaan agama" serta aktivisme politik damai di Papua. Pendeknya, langkah pintas yang ditawarkan pemerintahan Jokowi lewat Perppu ini memakai "keranjang solusi instan yang sama" untuk mengatasi problem mendasar masyarakat-masyarakat Indonesia di bawah perubahan politik pasca-Orde Baru.

FOTO HL HTI

Rapat akbar Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Stadion Gelora Bung Karno. FOTO/Reuters

Konteks HTI: Dari Partai Politik Menjadi Ormas

Hizbut Tahrir atau Partai Pembebasan di Indonesia berpusat di Yordania, Suriah, dan Lebanon. Di Lebanon, Hizbut Tahrir sempat mengikuti pemilu tetapi tidak mendapat hasil memuaskan.

Di Indonesia, HTI memiliki perangkat organisasi di tingkat pusat, provinsi, kabupaten, dan kota, hingga kecamatan seperti halnya partai politik. Di level provinsi, sayap HTI tersebar di 34 titik. Di tingkat kabupaten dan kota, ada lebih dari 300 cabang.

Sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas), HTI menyandang status perkumpulan, dengan mengantongi surat bernomor AHU-00282.60.10.2014, sesuai UU Ormas 2013. Surat itu ditandatangani atas nama Kemenkum HAM yang diwakili oleh Dirjen Administrasi Hukum Umum Aidir Amin Daud.

HTI sempat terdaftar di Kemendagri pada 2006. Mereka mengantongi Surat Keterangan Terdaftar (SKT) No.44/D.III.2/VI/2006. Kepada reporter Tirto, Ismail Yusanto, sekretaris umum dan juru bicara HTI, menujukkan surat keterangan terdaftar sebagai wajib pajak dari Departemen Keuangan Dirjen Pajak. Dalam surat itu, HTI diklasifikasikan sebagai partai politik.

Pada 2 Juli 2014, HTI mengantongi surat pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan dari Kemenkum HAM. Ismail menegaskan, hingga kini sebenarnya HTI adalah partai politik tetapi memakai kemasan sebagai ormas.

“Sebenarnya (HTI) tetap partai. Cuma di dalam konteks Indonesia, di dalam kerangka gerak kita di Indonesia, kita menempatkan diri sebagai ormas. Karena situasi dan kondisi kita memungkinkan hal itu,” kata Ismail, 8 Mei lalu di hari ketika Wiranto mengumumkan langkah hukum pembekuan HTI.

Status hukum HTI beralih dari Kemendagri ke Kemenkum HAM karena ada UU Ormas pada 2013. Dalam UU ini, ormas didefinisikan antara berbadan hukum yayasan atau perkumpulan dan yang tidak berbadan hukum. Jika ormas itu tidak berbadan hukum, ia pun tidak wajib mendaftarkan diri ke Kemendagri. Sedangkan ormas berbadan hukum harus mendapat legalisasi dari Kemenkum HAM.

Untuk membubarkan ormas yang tidak berbadan hukum, Kemendagri cukup meminta fatwa hukum dari MA. Tapi, jika ormas berbadan hukum, pembubaran harus dilakukan melalui proses pengadilan.

HTI bergerak dalam dakwah Islam dan menyebut diri berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Ia mengemban cita-cita "melanjutkan kehidupan Islam dengan menegakkan syariat Islam" sehingga kelak dapat terwujud "masyarakat Islam yang sebenar-besarnya." Ini tercantum dalam anggaran dasar HTI pada Bab II pasal 4 dan Bab III pasal 6.

Baca laporan Tirto bagaimana HTI dipakai pemerintahan Jokowi sebagai uji target pembekuan ormas: Pilkada DKI Jakarta sebagai latar pemberangusan HTI

UU Ormas Warisan Rezim Otoriter Soeharto

Wacana untuk membubarkan organisasi kemasyarakatan berasal dari kehendak negara untuk bikin kelompok serba seragam. Di era Orde Baru, Undang-undang 8/1985 tentang ormas lahir dengan upaya dasar melakukan kontrol dan represi.

Presiden Soeharto membentuk konsep wadah tunggal organisasi. Para wartawan dikumpulkan dalam Persatuan Wartawan Indonesia. Organisasi buruh digabung dalam Serikat Pekerja Seluruh Indonesia. Organisasi mahasiswa, pemuda, dan pelajar dilebur dalam Komite Nasional Pemuda Indonesia. Kaum ulama dikemas dalam satu wadah Majelis Ulama Indonesia.

Wahyudi Djafar, wakil direktur riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), menjelaskan izin ormas era Orde Baru di bawah wewenang dan tanggung jawab Dirjen Sosial dan Politik Kementerian Dalam Negeri. Mayoritas orang yang menjabat menteri dalam negeri adalah perwira TNI. Salah satunya Letjen TNI Syarwan Hamid, yang menjadi Mendagri antara 1998 dan 1999, periode terakhir kekuasaan Soeharto.

Pada era reformasi, UU Ormas 8/1985 dimanifestasikan dalam UU 17/2013 di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. UU ini dibentuk guna mengendalikan ruang gerak ormas. Namun, ia berpotensi tinggi dipakai negara sebagai alat menyerang balik terhadap ormas yang kritis terhadap kebijakan pemerintah.

Segera setelah UU ini disahkan, pelbagai kelompok sipil mengajukan evaluasi yudisial kepada Mahkamah Konstitusi.

Permohonan pengujian diajukan pada 10 Desember 2013 dengan menguji 10 pasal dalam UU Ormas. Pada 22 Oktober 2014, hakim konstitusi yang diketuai Hamdan Zoelva mengabulkan sebagian permohonan. Beberapa di antaranya hanya terkait pasal 29.

Dalam putusan MK No.3/PUU-XII/2014 tercantum pendapat Syamsuddin Haris, peneliti politik dari LIPI. Haris berpendapat UU Ormas ialah warisan dari rezim otoriter. Melalui UU tersebut, demikian Haris, pemerintah memosisikan masyarakat sebagai sumber ancaman dan musuh negara atau pemerintahan yang sah.

Haris menyatakan, cara pandang yang dipakai pemerintah tersebut keliru dan sesat.

“Secara substansial, UU 17/2003 justru lebuh buruk dari UU 8/1985 yang diterbitkan oleh rezim otoriter Orde Baru,” ujarnya, sebagaimana dicatat dalam putusan tersebut.

Baca juga artikel terkait PEMBUBARAN ORMAS atau tulisan lainnya dari Fahri Salam

tirto.id - Hukum
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Fahri Salam
Editor: Fahri Salam