tirto.id - Lengan ekskavator tak berhenti berputar di atas kepala ketika saya sibuk mengais gunungan sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat.
Tugas ekskavator itu adalah menyerok sampah dari lereng gunung sampah dan ditumpahkan di sisi puncak. Tugas saya adalah memungut sampah plastik yang ditumpahkan ekskavator dan memasukkannya ke keranjang yang saya pikul di punggung.
Tak sembarang plastik yang bisa saya pungut, hanya sampah yang masih dalam keadaan baik dan kira-kira laku dijual.
Syarat itu membuat saya bergerak lamban sekali. Keadaan saya makin buruk lantaran tak tahan dengan bau busuk dan terik matahari Bekasi yang membakar tengkuk.
Di sebelah saya ada belasan pemulung lainnya yang lincah sekali memungut plastik dengan ganco, batang besi sederhana bersudut 90 derajat dengan ujung lancip untuk memungut sampah. Mereka tampak tidak terganggu dengan bau atau terik matahari.
"Udah nih bang, nanti malah saya nyusahin gara-gara dapetnya dikit, haha," kata saya sambil menyerahkan ganco dan keranjang ke salah seorang pemulung.
Sebuah warung menjadi pemberhentian saya selanjutnya. Warung itu sama saja dengan warung lainnya, tapi posisinya yang ada di atas gunungan sampah membuatnya berbeda. Setidaknya ada 4 warung serupa bahkan posisinya ada yang lebih tinggi lagi.
"Rokok, bang," kata saya sambil menyorongkan sebungkus rokok dan korek ke Bimbim.
Bimbim juga pemulung. Ia mengaku pertama kali datang ke Jakarta pada 2001 dari Indramayu dan langsung mendarat di Bantargebang. Tuntutan ekonomi menjadi alasan utama ia merantau.
Bimbim biasanya bekerja sejak pukul 09.00 hingga 16.00 WIB. Jika sedang beruntung, ia bisa mengumpulkan 200 kg sampah, tapi rata-rata hanya mampu setengahnya.
Bimbim akan memisahkan sampah-sampah yang sudah ia kumpulkan berdasarkan bahan: plastik, beling, dan kaleng. Plastik pun dipisahkan lagi antara yang bening dan berwarna. Setelahnya sampah-sampah itu akan dimasukkan ke dalam karung ball.
"Satu kuintal itu 3-4 ball," katanya.
Kemampuan itu tak sembarangan ia peroleh. Ada masa latihan yang harus ia lalui ketika baru tiba di Bantargebang. Ia diajari untuk memilah mana sampah yang bisa dijual lagi dan mana yang tidak.
"Nanti kami dikira nipu bos," kata Bimbim.
Bos yang dimaksud Bimbim adalah para pengepul. Mereka umumnya datang sekitar pukul 16.00 dengan menggunakan mobil pikap. Para pemulung langsung sibuk menggelindingkan karung-karung ball mereka ke jalanan jika bos datang.
Sebelum diangkut, para pengepul lebih dulu menimbang karung-karung ball tersebut. Mereka biasanya mematok Rp2.000 untuk tiap karung yang sudah disortir. Namun ada pula pemulung yang langsung mengumpulkan hasil pulungannya tanpa disortir. Biasanya pengepul hanya membayar mereka Rp800-Rp1.000 per kuintal.
Harta Karun
"Ini apa? Kamu tahu enggak?"
Seorang pemulung bernama Wawan menghampiri saya membawa sebuah kotak. Kotak itu masih bersih dan tidak penyok. Tanda jika itu barang baru.
Di kotaknya tertulis 'rechargeable shaver'. Begitu dibuka memang benar: isinya seperangkat alat cukur lengkap dengan mata pisau dan colokan untuk mengisi daya.
"Ini saya nemu kemarin."
"Ini sih buat cukur, pak," balas saya.
Seorang pemulung di sebelahnya langsung mengambil kotak itu dan melihat isinya. Dia juga mencoba alat cukur itu di dagunya. Tiba-tiba ia membuka harga.
"Ini dijual Rp100 ribu enggak?"
"Ya sudah kalau kamu mau."
"Disimpan saja dulu."
Fenomena 'barang nemu' memang lazim terjadi di sini. Mulai dari uang dolar, ponsel, jam tangan, kamera, sampai kepala manusia. Yang paling spektakuler tentu saja penemuan emas batangan.
Hasan mengaku pernah melihat sendiri emas tersebut. Penemuan itu, katanya, terjadi tahun 2011. Dia memamerkan jari telunjuk dan jari tengahnya untuk menggambarkan ukuran emas tersebut.
Hasan lantas merogoh tasnya dan mengeluarkan cincin yang tak lagi bulat. Ia meyakini di dalam cincin itu ada kandungan emas.
"Tapi enggak bisa dikeluarin soalnya lapisannya tebal banget," katanya.
Di samping potensi menemukan harta karun, nyatanya bekerja di Bantargebang juga penuh risiko. Pada 17 Mei 2011 terjadi longsor sampah yang menewaskan seorang pemulung. Longsor terjadi lagi pada 27 Januari 2016 dan menimpa seorang pemulung.
Pada 2015, sempat terjadi kebakaran besar di penampungan sampah terbesar di Asia Tenggara itu. Tak kurang dari 12 hari api melahap gunungan sampah di zona III Bantargebang.
Sofyan, salah seorang warga, bercerita kebakaran itu dimulai dari puntung rokok yang membakar rumput kering. Sialnya api membesar hingga ke sampah yang mengandung zat metana. Terang saja api menjadi makin tak terkendali.
"50 mobil pemadam kebakaran ganti-gantian. Itu juga lama padamnya," kata Sofyan.
Entah sampai kapan orang-orang yang saya temui ini akan terus bekerja sebagai pemulung di Bantargebang. Mungkin mereka memang tak punya pilihan dan satu-satunya cara agar perut tetap bisa diisi makanan memang hanya itu: memunguti sampah yang sebagian besarnya berasal dari warga Jakarta.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino