tirto.id - "Di sini yang ngga bisa jadi duit cuma daun sama obat," kata Wiknyo tegas, seakan berusaha membujuk saya untuk beralih profesi.
"Daun kan tetap diolah sama unit jadi kompos, jadi duit juga," sanggah Togog sambil menunggu klarifikasi dari Wiknyo yang pura-pura tidak mendengar.
Wiknyo dan Togog adalah 2 orang pemulung di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, area pembuangan sampah terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas penampungan 49 juta ton yang menerima paling sedikit 7000 ton sampah setiap hari.
Pelayanan kelurahan terdekat berhenti setiap pukul lima sore dan libur pada akhir pekan, tapi tidak di Bantar Gebang. Dunia luar berganti musim secara rutin, tapi tidak di Bantar Gebang. Detik jam punya otoritas mutlak pada manusia di kota anda, tapi tidak di Bantar Gebang. Bantar Gebang barangkali sanggup memaksa T.S. Elliot bangkit dari kubur dan merevisi The Waste Land.
Pernyataan Wiknyo pada paragraf pembuka adalah respons terhadap pertanyaan saya sebelumnya, "Jenis sampah apa saja yang laku dijual?"
Mendengar jawaban mereka yang separuh bercanda, membuat saya sadar betapa katrok pertanyaan saya. Saya mengais-ngais isi otak saya yang lebih dari setengahnya tertinggal di suatu tempat dan berhasil menemukan pertanyaan lain: barang apa saja yang pernah mereka temukan dalam gunung sampah setinggi 40 meter?
Kalau pertanyaan ini mereka jawab dengan bercanda lagi, saya menyerah.
Togog memasang tampang serius—sebuah pertanda baik. Ia berpikir sebentar kemudian menceritakan pengalamannya. Beberapa hari lalu, ia menemukan peti kayu kecil seukuran bungkus rokok. Di dalamnya ia menemukan jenglot, lengkap dengan potongan kain kafan sebagai pelengkap elemen mistis. Ketika saya menuntut bukti atas ceritanya, Togog dengan ketangkasan yang khas menjawab: "Saya bacain surat Al-Ikhlas terus saya taruh lagi, ngga berani saya.”
Mengingat TPST Bantar Gebang adalah penampungan sampah hasil buangan jutaan orang Jakarta dan sekitarnya, saya tidak menemukan alasan untuk tidak mempercayai cerita Togog, apalagi baru saja sore tadi saya bertemu dengan seorang pemulung yang menggunakan (kemungkinan besar replika) Stahlhelm M35 besi serupa helm Wehrmacht Nazi pada era PD II.
Menurut mereka, gunung sampah adalah harta karun secara harafiah. Salah satu penemuan yang paling umum adalah uang kertas dengan berbagai nominal dan kondisi, dan lintas negara, dari rupiah hingga dollar, dari kondisi setengah terbakar hingga uang "gepokan" yang terbungkus rapi dalam kantong plastik.
Wiknyo menimpali bahwa pernah ada pemulung yang menemukan sebuah dompet kecil berisi belasan kalung emas. Karena mengira imitasi, dengan teatrikal ia membagi-bagikan kalung tersebut ke pemulung lainnya. Hanya butuh waktu beberapa jam baginya untuk mendapatkan kabar bahwa kalung-kalung tersebut ternyata emas asli.
Ia sendiri bercerita pernah menemukan kamera "sony persis kamera situ" lengkap dengan kardus dan bersegel. Segala barang temuan itu dijual ke pengepul yang akan datang ke lokasi dalam hitungan menit setelah dihubungi melalui telepon. Transaksi dilakukan di tempat dan saat itu juga, tentu setelah harga taksiran pengepul disepakati oleh penemu barang.
Cerita paling spektakuler yang saya dapatkan adalah seorang pemulung yang menemukan emas balokan beberapa hari setelah tahun baru kemarin, hampir seluruh pemulung yang sempat saya temui membenarkan cerita itu. Beberapa pemulung bersaksi melihat sendiri dan mengatakan terdapat tulisan ‘999’ dan ‘gold’ di permukaannya. Karena penasaran, saya menelusuri cerita itu dengan menemui pengepul yang mengaku membeli emas balokan tersebut dengan harga 65 juta rupiah sesudah memastikan bahwa emas itu asli.
Setelah berkeliling di TPST Bantar Gebang selama 3 hari, keberuntungan sepertinya ikut menghinggapi saya. Malam itu saya menemukan uang pecahan 5 ribuan di antara tumpukan sampah dalam kondisi relatif utuh, tetapi lusuh dan berlendir karena tercampur sampah dan hujan yang turun beberapa hari terakhir. Saya bergegas mampir ke lapak warung terdekat dan memesan segelas kopi instan seharga 3 ribu rupiah. Ketika membayar dengan uang yang baru saja saya temukan tadi, Ibu penjaga warung berkata,
"Ini uang nemu ya? Ngga usah kembalian ya, kan uangnya bau."
Saya tersenyum dan mengangguk setuju.
Pulang dari Bantar Gebang, saya duduk di kursi belakang kantor. Melamun dan memikirkan sesuatu. Saya baru menyadari satu hal: motor saya tertinggal di suatu tempat.
Penulis: Sabda Armandio
Editor: Sabda Armandio