Menuju konten utama
TirtoEco

Meramal Bencana Alam dengan Kembali ke Tanda-Tanda Alam

Masyarakat lokal di berbagai negara punya kepekaan kuat terkait tanda alam datangnya bencana. Namun, perlu penelitian lagi untuk menggunakannya secara luas.

Meramal Bencana Alam dengan Kembali ke Tanda-Tanda Alam
ilustrasi tanda-tanda alam datangnya bencana. foto/istockphoto

tirto.id - Bencana alam selalu hadir tiba-tiba dan sering meninggalkan jejak kerugian besar. Banjir, gempa bumi, hingga tanah longsor menjadi ancaman yang terus berulang di berbagai belahan dunia.

Meski teknologi modern telah berkembang, sistem peringatan dini masih memiliki keterbatasan. Di sisi lain, sejak lama, masyarakat telah mengandalkan tanda-tanda alam untuk membaca kemungkinan bencana atau cuaca.

Perilaku aneh beberapa hewan disinyalir sebagai pertanda akan munculnya bencana besar di suatu wilayah. Sebagai contoh, pada September 2019, warga pesisir di Kecamatan Leitimur Selatan, Kota Ambon, khawatir tsunami datang setelah melihat ribuan ikan mati dan terdampar di pantai. Kekhawatiran serupa juga terjadi pada November 2024 lalu. Warga di sekitar puncak Gunung Marapi mengungkap kecemasan terkait bencana setelah menemukan beberapa hewan hutan yang turun ke permukiman warga.

Pengenalan terhadap tanda-tanda ini lahir dari pengamatan turun-temurun. Ia kemudian diwariskan sebagai pengetahuan lokal.

Tanda-Tanda Alami sebelum Bencana Alam

Kepekaan masyarakat lokal dalam mengenali tanda alam sebagai salah satu peringatan dini datangnya bencana tidak timbul begitu saja. Sejak ribuan tahun silam, manusia sudah memperhatikan perilaku alam di sekitarnya.

Catatan sejarah dari Yunani pada 373 SM membuktikan hal tersebut. Salah satu literatur kuno menyebutkan bahwa tikus, ular, dan hewan lain, akan meninggalkan tempat tinggal mereka beberapa hari sebelum gempa besar terjadi.

Fenomena serupa juga ditemukan di Eropa. Misalnya, kejadian gempa bumi L’Aquila di Italia yang terjadi pada April 2009 dan menewaskan lebih dari 300 orang.

Beberapa hari sebelum gempa, terjadi fenomena menarik setelah para peneliti mengamati sebuah kolam di dekat desa San Ruffino, Italia, yang lazimnya jadi tempat katak berkumpul dan berkembang biak.

Dalam studi berjudul “Ground water chemistry changes before major earthquakes and possible effects on animals” (2011), Richard A. Grant dan rekannya menemukan bahwa kolam tersebut, yang biasanya ramai oleh katak, mendadak kosong, terutama lima hari sebelum gempa terjadi. Padahal, kondisi cuaca saat itu stabil, dan biasanya katak jantan akan bertahan di sana untuk menarik perhatian betina.

Baru pada hari kesepuluh setelah gempa, populasi katak kembali ke jumlah semula di kolam itu.

Richard dan rekannya menilai, pola ini terlalu konsisten untuk disebut kebetulan. Mereka menduga katak merespons perubahan kimiawi di air tanah yang terjadi akibat tekanan geologi sebelum gempa.

Aktivitas tektonik memang secara alamiah melepaskan zat-zat tertentu, seperti radon atau partikel bermuatan kimiawi yang mengubah kualitas air. Merespons hal itu, katak-katak memilih untuk pergi dari kolam desa San Ruffino.

 ilustrasi tanda-tanda alam datangnya bencana

ilustrasi tanda-tanda alam datangnya bencana. foto/istockphoto

Pengamatan alam untuk menafsirkan suatu bencana atau cuaca juga dilakukan di padang luas Kenya Utara. Hal tersebut diteliti dalam studi berjudul “The use of indigenous climate forecasting methods by the pastoralists of Northern Kenya” yang terbit di jurnal Pastoralism (2016).

Kepekaan dalam memahami cuaca, baik musim hujan maupun kemarau panjang, telah menjadi pengetahuan yang sangat penting bagi masyarakat Borana, Kenya. Mereka memperhatikan pergerakan bintang di langit malam, arah dan kecepatan angin, serta perilaku burung dan hewan. Hal itu tak lepas kaitannya dengan pencaharian mereka sebagai di bidang peternakan.

Sebagai misal, saat belalang atau semut muncul dalam jumlah besar, biasanya menandakan datangnya musim kering. Lalu, mekarnya bunga pohon tertentu dianggap pertanda datangnya hujan. Sementara itu, dedaunan yang meranggas lebih cepat dibaca sebagai tanda kemarau.

Pengetahuan ini tidak hanya menjadi alat untuk bertahan hidup, tetapi juga dasar pengambilan keputusan kolektif, mulai dari pengelolaan padang rumput dan sumber air hingga keputusan waktu memindahkan ternak ke wilayah lain. Dari generasi ke generasi, pemahaman itu menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Borana.

Di belahan dunia lain, pengalaman serupa tercatat dalam konteks bencana besar. Gempa bumi Haicheng yang terjadi pada 4 Februari 1975 di Provinsi Liaoning, Tiongkok, tercatat dengan magnitudo 7,3 dan menewaskan lebih dari 2.000 orang. Namun, jumlah korban itu jauh lebih sedikit dibanding perkiraan karena sebagian besar warga telah dievakuasi sebelumnya.

Menariknya, keputusan evakuasi bukan hanya didasarkan pada data seismik modern yang saat itu masih terbatas. Laporan tentang perilaku aneh hewan turut memberi bobot pada keputusan evakuasi dini. Di antara tanda yang dicatat saat itu adalah keluarnya ular secara tiba-tiba dari sarang, padahal masih musim dingin; anjing melolong tanpa sebab jelas; serta tikus berlarian di siang hari.

Peristiwa unik tersebut ditulis oleh Tributsch dalam When the Snakes Awake: Animals and Earthquake Prediction (1984) yang diterbitkan MIT Press.

Tributsch menekankan, meski data foreshock (serangkaian gempa kecil yang terjadi sebelum gempa utama) menjadi dasar utama prediksi, laporan tentang perilaku hewan memberi keyakinan tambahan.

Bagi petugas evakuasi, tanda-tanda itu memperkuat keyakinan bahwa gempa besar memang sedang mengintai sehingga evakuasi segera dilaksanakan. Banyak ilmuwan kemudian menilai perilaku hewan tersebut tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan mitigasi.

Upaya Menjelaskan Insting Hewan Menghadapi Bencana Alam

Bukan hanya manusia yang sejak dulu mengandalkan alam untuk memprediksi bencana. Kemampuan ini juga dimiliki hewan, bahkan diwariskan melalui proses evolusi.

Hewan yang mampu merespons lebih cepat terhadap bencana alam memiliki peluang bertahan hidup lebih tinggi. Oleh karenanya, kepekaan terhadap lingkungan sekitar menjadi bagian dari insting hewan-hewan tersebut.

Salah satu contoh yang paling dikenal adalah gajah di Asia Selatan. Saat tsunami besar melanda pada 2004, banyak laporan menyebutkan kawanan gajah bergerak ke dataran tinggi jauh sebelum ombak raksasa datang.

Salah satu penelitian menjelaskan, gajah mampu mendeteksi getaran berfrekuensi rendah atau infrasound yang merambat melalui tanah dan udara. Sinyal itu muncul akibat pergeseran tektonik atau gelombang laut besar, dan gajah bereaksi lebih cepat dibanding manusia.

 ilustrasi tanda-tanda alam datangnya bencana

ilustrasi tanda-tanda alam datangnya bencana. foto/istockphoto

Burung pun punya kepekaan yang khas. Penelitian yang terbit di jurnal Experimental Biology (2013) menunjukkan, burung sering terlihat kembali ke sarang atau menunda migrasi saat tekanan barometrik turun drastis.

Penurunan tekanan barometrik biasanya menandakan potensi cuaca buruk atau datangnya badai. Burung dapat merasakan penurunan barometrik karena mereka memiliki organ sensor di telinga tengah yang disebut paratympanic,organ yang peka terhadap fluktuasi tekanan udara.

Hubungan antara perilaku hewan dan datangnya bencana kerap diceritakan. Namun masalahnya, untuk membuktikan keterkaitan langsung secara ilmiah, itu bukan perkara mudah.

Misalnya, di California pada awal 1980-an, beberapa orang percaya bahwa meningkatnya jumlah iklan “Lost and Found Pets” di koran San Jose Mercury News adalah sinyal akan datangnya gempa.

Untuk menguji hal itu, peneliti menganalisis lebih dari 41 ribu laporan hewan peliharaan hilang antara 1983–1985. Data itu lalu dibandingkan dengan catatan 224 gempa bumi bermagnitudo ≥ 2,5 dalam radius 70 mil dari wilayah Teluk San Francisco.

Hasilnya ternyata jauh dari harapan. Memang ada beberapa puncak laporan hewan hilang yang bertepatan dengan gempa. Akan tetapi, pola itu tidak konsisten.

Selain itu, ada jeda waktu antara hewan hilang dan iklan yang dipasang di koran sehingga kronologinya tidak selalu cocok dengan tanggal gempa.

Hilangnya hewan yang kebetulan bertepatan dengan terjadinya gempa tidak bisa langsung dianggap memiliki hubungan sebab-akibat.

Maka dari itu, klaim bahwa hewan dapat menjadi peringatan dini bencana perlu ditelaah lebih lanjut secara ilmiah.

Baca juga artikel terkait BENCANA ALAM atau tulisan lainnya dari D'ajeng Rahma Kartika

tirto.id - TirtoEco
Kontributor: D'ajeng Rahma Kartika
Penulis: D'ajeng Rahma Kartika
Editor: Fadli Nasrudin