tirto.id - Belum genap sebulan, Lombok kembali diguncang gempa berkekuatan di 6,9 Skala Richter (SR) pada Minggu (19/8). Berdasarkan keterangan BMKG, ada enam gempa susulan 5,0-5,8 SR hingga Minggu malam pukul 23.37.
Dalam kurun waktu kurang dari sebulan, guncangan gempa telah merenggut ratusan korban jiwa. Data sementara dari Kementerian Sosial RI menyebutkan 548 korban meninggal dunia. Dari jumlah sebanyak itu, 471 korban telah diverifikasi.
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) penyebab gempa bumi beruntun di Lombok adalah aktivitas Sesar Naik Bujur Belakang Flores (Flores Back Arc Thrust), yang akrab disebut Sesar Flores atau Patahan Flores. Dalam kasus gempa Lombok pada Minggu lalu, Rahmat Triyono, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, dalam siaran resmi lembaganya, masih mengutip Sesar Flores sebagai penyebab gempa. Kesimpulan itu didasarkan pada analisis lokasi pusat gempa, kedalaman hiposenter, dan mekanisme sumber gempa.
Merujuk data World Earthquake Lives, sejak Januari hingga Agustus 2018, Indonesia sudah dilanda empat gempa bumi besar berskala lebih dari 6,5 skala Magnitudo Momen (Mm). Skala Magnitudo Momen sendiri dinilai lebih bisa diandalkan untuk menghitung energi lengkap gempa dibanding Skala Richter (SR).
Indonesia adalah negara dengan frekuensi gempa bumi terbanyak di dunia karena berada di zona seismik yang sangat aktif. Namun, luasnya wilayah Indonesia membuat tak semua gempa berdampak langsung atau bisa dirasakan di daratan.
Mustahil Memprediksi Gempa Bumi
Gempa tak seperti badai yang bisa diprediksi lengkap beserta posisinya.
Menurut United States Geological Survey (USGS) ada tiga faktor yang perlu diperhatikan sebelum merilis prediksi gempa, yakni tanggal dan waktu, lokasi, dan besarannya. Namun, kenyataannya tiga hal ini masih sulit dibaca menjelang gempa bumi.
Prediksi biasanya didasarkan pada rentetan gempa bumi kecil yang dianggap sebagai pembuka tirai gempa bumi susulan yang lebih besar. Menurut USGS, metode prediksi seperti itu pernah diterapkan di Cina beberapa dekade lalu. Namun sayangnya, gempa bumi besar justru datang tanpa didahului rentetan gempa kecil.
Dilansir dari Forbes, getaran gempa baik kecil maupun besar menunjukkan pola-pola tertentu, mulai dari getaran pertama, momentum dan intensitas yang menguat hingga mencapai puncak pergerakan, lalu berangsur mereda. Namun, tidak ada cara untuk meramalkan kapan puncak magnitudo maksimum gempa bakal tercapai. Sangat sulit memahami bagaimana perilaku bebatuan bermil-mil di bawah tanah yang didorong oleh peningkatan suhu bisa memancing pergerakan permukaan tanah.
Beberapa upaya untuk memprediksi gempa memang pernah dilakukan. Mengamati perilaku ganjil pada hewan pernah dicoba, namun hasilnya tak akurat. Menghitung fluktuasi gas radon untuk memprediksi kemunculan gempa juga sudah dicoba dan bermasalah. Metode ini dicetuskan oleh sekelompok peneliti yang dipimpin Georges Charpak, seorang fisikawan peraih Nobel.
Peningkatan konsentrasi gas radon di tanah dan air tanah dianggap bisa menjadi tanda peringatan gempa bumi. Gas radon, yang terbentuk lewat peluruhan radioaktif, diyakini dilepaskan dari rongga dan retakan ketika kerak bumi mulai menegang menjelang gempa.
Sayangnya, para ilmuwan belum bisa menjelaskan hubungan antara konsentrasi gas radon dengan gempa. Pasalnya, konsentrasi radon yang tinggi tak semata dihasilkan dari peluruhan radioaktif, tapi juga oleh tanah longsor, bebatuan yang hancur, atau reaksi kimia di dalam air tanah.
Studi terbaru dari ahli geologi Roger Bilham dari University of Colorado serta rekannya Rebecca Bendick dari University of Montana Menawarkan metode lain ketika melacak insiden gempa bumi berkekuatan 7 Mw plus di seluruh dunia sejak 1900 sampai 2015.
Pendekatan penelitian Bilham dan Bendick, yang diterbitkan dalam artikel jurnal berjudul "Do weak global stresses synchronize earthquakes?" (2017), diterapkan untuk mengulik fenomena perlambatan periodik pada kecepatan rotasi bumi. Mereka memulainya dari lapisan luar bumi (litosfer) yang tebalnya 2.200 km, sebagian besar berupa besi dan nikel cair. Dua elemen ini bergerak dinamis mengikuti pola yang bergejolak.
Menurut Bilham dan Bendick, gerakan yang terjadi jauh di dalam bumi inilah yang sedikit mengubah laju perputaran planet. Meski hanya berlangsung dalam hitungan milidetik, gerakan ini bisa menambah atau mengurangi waktu 24 jam dalam sehari. Ketika terjadi perlambatan, cairan dalam bumi yang meleleh pun mendesak ingin keluar, sesuai hukum dasar Newton yang berbunyi: "Setiap benda akan mempertahankan keadaan diam atau bergerak lurus beraturan, kecuali ada gaya yang bekerja untuk mengubahnya."
Lantas apa hubungannya dengan gempa di permukaan bumi?
Energi tekanan alamiah di dasar litosfer perlahan-lahan menyebar ke atas mencapai bebatuan, lempeng, dan patahan. Dilansir dari Time, butuh waktu lima sampai enam tahun bagi energi di dasar litosfer untuk sampai ke lapisan atas dan berubah menjadi sebuah gempa bumi.
Namun, studi Bilham dan Bendick tetap tak bisa mendeteksi secara pasti kemungkinan lokasi gempa bumi di masa depan. Mereka sekadar memperingatkan peningkatan intensitas dan kekuatan gempa bumi selama 2018. Bilham dan Bendick pun hanya berkaca pada variasi kecepatan rotasi bumi yang dapat memicu aktivitas seismik secara intens, terutama di daerah tropis yang padat penduduk.
Efek perlambatan bumi paling bisa dirasakan di wilayah sepanjang garis khatulistiwa yang memang menjadi titik terlebar diameter bumi dan rotasinya lebih cepat ketimbang daerah dekat kutub. Sementara terdesaknya energi di inti litosfer paling bisa dirasakan di daerah patahan lempeng bumi yang langganan gempa.
Sepanjang sejarahnya, manusia perlahan-lahan mampu menghitung risiko bencana, mulai dari kebakaran, banjir, hingga topan. Hanya gempa yang tak bisa diramal. Ditambah potensi kerusakan yang besar yang angka kematian yang membludak, kemustahilan itulah yang membuat gempa terus jadi momok. Persis seperti maut yang membuntutinya: tak bisa ditebak.
Editor: Windu Jusuf