tirto.id - “Gempa adalah peringatan untuk bapak dari Allah S.W.T.. Surat ke 6 ayat 4, Surat ke 7...“
“Nah kalo gempa yang NTB ini merupakan teguran dari ALLAH akibat punya pemimpin MUNAFIK, pahami ya kaum JOKODOK hahaa...”
“Gempa dan tsunami Aceh tanggal 26 Desember 2004, sehari sebelumnya ada perayaan Natal bersama dengan pakaian kerudung, kopiah dan disiarkan secara live. Jangan pernah mempermainkan agama. NTB kena gempa 2 kali setelah TGB mendukung pelindung penista agama. Banyak-banyak istighfar.”
Komentar-komentar senada membanjiri unggahan Instagram Tuan Guru Bajang (TGB) pada 1 Agustus lalu. Sebenarnya ia mengunggah foto diri saat berada di tengah kerumunan. Keterangannya “Keislaman dan ke-Indonesiaan adalah satu tarikan nafas. Tugas kita bersama adalah menjaga dan merawatnya.”
Tapi sejumlah warganet langsung menjadikannya kanal protes usai Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan sekitarnya diguncang gempa bumi berkekuatan 7 Skala Richter (SR) pada Minggu (5/8/2018) malam.
Getarannya terasa hingga ke Bali dan pulau-pulau sekitar. Hingga Senin (6/8/2018) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sedikitnya 91 orang meninggal dunia, ratusan lainnya mengalami luka-luka, dan ribuan rumah rusak.
Sebagian warganet menafsirkan biang kerok dari datangnya bencana alam yang dianggap sebagai azab itu adalah pilihan politik gubernurnya, TGB, alias Muhammad Zainul Majdi.
TGB tergolong politisi yang vokal. Contohnya terjadi pada pemilihan presiden 2014. TGB bisa menang pemilihan gubernur tahun 2013 berkat dukungan Partai Demokrat. Namun, sebelum Cikeas menentukan siapa yang didukung, ia secara tegas menyatakan dukungan kepada Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Ia kritis kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam pidato Hari Pers Nasional tahun 2016 di NTB, ia tak segan meminta Jokowi untuk menghentikan kebijakan impor beras. Jokowi saat itu duduk di kursi terdepan, berhadapan langsung dengan podium TGB. Videonya viral di kanal Youtube.
Latar belakang ke-ulama-an TGB juga membuatnya masuk daftar kandidat calon presiden versi Persaudaraan Alumni (PA) 212. Ia dinilai memenuhi kriteria capres versi PA 212: beragama islam, berintegritas, berkomitmen pada Pancasila dan menjaga kesatuan NKRI, serta tidak ikut aliran sesat atau paham komunis.
Lalu tiba-tiba, pada Selasa (3/7/2018), TGB membuat pernyataan mengejutkan: akan mendukung Jokowi menjabat selama dua periode.
Pernyataan itu lagi-lagi muncul saat pimpinan pusat Demokrat belum menentukan sikap. PA 212 yang kecewa langsung menyoret namanya dari daftar capres. Tuduhan “khianat” dan semacamnya dari warganet, sebagaimana yang terjadi usai gempa Lombok, segera membanjiri akun medsosnya.
Pengajar ilmu politik di Universitas Negeri Yogyakarta, Halili Hasan, melihat kegemaran warganet untuk mempolitisasi bencana alam sebagai sesuatu yang konyol tapi sekaligus menarik. Fenomena tersebut ia jadikan contoh dari kemunduran politik gagasan baik di level elite apalagi di akar rumput.
“Sejak tahun 2012 kita mengalaminya. Ketika gagasan dalam berpolitik tidak mengalami diskursus dan dialektika, maka orang akan mencari-cari hal-hal yang tidak logis untuk menjadi komoditas politik,” jelasnya via telepon, Senin (6/8/2018).
Gempa bumi tentu tidak ada kaitannya dengan politik. Warga negara yang mendapat pendidikan minimal hingga sekolah menengah pertama tentu paham: penyebab gempa bumi tektonik adalah pergeseran dan bertubrukannya tiga lempeng besar yang kebetulan berada di wilayah Indonesia.
Pertama adalah Lempeng Samudra Pasifik yang bergerak ke arah barat dan barat laut dengan kecepatan 10 cm/tahun. Kedua, Lempeng Samudra India-Benua Australia (Indo-Australia) yang bergerak ke arah utara dan timur laut dengan kecepatan 7 cm/tahun. Ketiga yakni Lempeng Benua Eurasia yang bergerak ke arah barat daya dengan kecepatan 13 cm/tahun.
Indonesia juga rawan diguncang gempa sebab berada di area Cincin atau Lingkaran Api Pasifik (Ring of Fire). Cincin Api Pasifik adalah serangkaian gunung berapi berbentuk tapal kuda sepanjang 40.000 kilometer. Sebanyak 90 persen dari gempa yang terjadi (dan 81 persen gempa terbesar) di dunia terjadi di sepanjang “sabuk gempa Pasifik” ini.
Fenomena politisasi bencana alam, menurut Halili, awet karena Indonesia gagal membangun literasi politik bagi rakyatnya. Alih-alih membiasakan adu argumen yang logis berdasarkan instrumen nalar, sebagian rakyat Indonesia terjebak di fanatisme politik yang tidak sehat bagi demokrasi.
“Kita tidak bisa membedakan, misalnya, mana kritik dan mana ujaran kebencian. Mereka tidak mampu atau tidak mau bersikap berdasarkan fakta objektif, melainkan murni mendahulukan preferensi politik, baik kepada tokoh maupun partai. Rumusnya, yang di luar preferensi pasti salah,” jelasnya.
Fanatisme tersebut kemudian melahirkan polarisasi kubu yang bersaing secara tidak sehat. Emosi dikedepankan. Ujaran kebencian dalam bentuk hoaks gampang menyebar, serta makin menebalkan polarisasi tak sehat itu sendiri.
Politisasi agama juga berkembang dengan subur, dan salah satu bentuknya adalah politisasi bencana alam. Tanpa argumen yang logis, kata Halili, senjata yang dipakai akhirnya tafsir atas ayat agama yang bertujuan untuk melemahkan kubu seberang—meski isinya orang-orang yang seiman sekalipun.
“Mereka bukan pemilih rasional, dan elite berusaha memelihara mereka. Saya menduga ini (politisasi bencana) by design. Mengapa? Sebab yang sampai sekarang paling ampuh untuk menggerakkan massa ya sentimen primordial. Agama salah satunya. Termasuk saat ada bencana,” kata Halili.
Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio, menilai TGB memang punya kemampuan melengkapi tim Jokowi. TGB adalah sosok relijius yang lengkap. Ia bukan hanya ulama, tapi juga “umaro” atau pemimpin pemerintahan yang pernah menduduki kursi legislatif hingga eksekutif.
Ia mengaku lelah jika harus menanggapi komentar-komentar terkait penafsiran bahwa gempa bumi di Lombok adalah azab dan sejenisnya. Ia menilai hal tersebut tidak memiliki signifikansi yang jelas, juga tidak mempengaruhi elektabilitas politisi yang ditarget.
“Orang-orang yang suka main politisasi agama ini memang perlu kita ruwat juga. Residu-residu politik pada 2014 dan 2017 harusnya dihilangkan aja, enggak usah dipakai lagi,” katanya pada Senin (6/8/2018).
Politisasi bencana selalu muncul karena senantiasa ditanggapi, kata Hendri. Padahal, imbuhnya, pihak yang memproduksinya bisa jadi robot atau akun anonim. Ia menyesalkan publik yang termakan argumen politisasi bencana hanya karena tidak membudayakan “cek and ricek” atau kurang berhati-hati dengan hoaks.
Matinya Empati
Politisasi bencana alam adalah topik yang selalu memancing debat yang hangat di media sosial. Menteri Agama Lukman H. Saifuddin menanggapi gempa di Lombok dengan mencuit di akun Twitternya:
“Mari kita kedepankan empati, saling menolong sesama saudara yg menderita akibat gempa, tanpa harus memandang apa agamanya. Hindari menghakimi mereka yg menderita karena sedang diazabNya.. #GempaLombok”
Sebagian warganet protes sebab menafsirkan Lukman juga memandang apa yang terjadi di Lombok sebagai sebuah azab. Konfirmasi dari warganet lain barangkali tidak cukup, sehingga Lukman melanjutkan cuitan:
“Yg dimaksudkan dari twit saya di atas itu adalah "mari hindari menghakimi mereka yg menderita (karena gempa) seolah karena mereka itu sedang diazab Tuhan. Mari fokus mendoakan dan membantu saudara2 kita. Itu yg paling mereka butuhkan saat ini..“
Dalam konteks kemanusiaan, Halili berpendapat jika kebiasaan warganet mempolitisasi bencana alam menandakan dua hal pokok yang melekat pada diri mereka.
Pertama, matinya rasa empati dan simpati. Kedua, buruknya etika politik, yang seharusnya dipahami serta dijalankan oleh warganet serta elite-elitenya. Politik, katanya, punya ruang tersendiri, begitu juga agama.
“Orang-orang waras harus menjaga solidaritas lintas sekat identitas saat bencana terjadi, tidak justru memanfaatkannya secara sempit,” pungkasnya.
Editor: Windu Jusuf