Menuju konten utama

Yang Perlu Kita Pelajari dari Gempa di Pidie

Gempa bumi terjadi tanpa bisa diprediksi. Sebagai negara rawan gempa, Indonesia harus punya strategi khusus agar kerusakan akibat bencana alam bisa dikurangi.

Yang Perlu Kita Pelajari dari Gempa di Pidie
Salah satu kawasan yang terkena dampak gempa diambil dari dalam pesawat Susi Air , di Pidie Jaya, Aceh, Kamis (8/12). Gempa 6,5 SR yang berpusat di Pidie Jaya, Aceh pada Rabu (7/12), mengakibatkan 102 orang tewas, ratusan orang luka-luka dan ratusan bangunan rusak berat. ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi/pd/16

tirto.id - Selasa malam, 6 Desember, Miranda Bachtiar dapat tugas jaga malam di pesantren tempatnya mengajar. Ia harus memastikan para santriwati mematuhi jam tidur. Tugas itu membuatnya harus bangun sebelum azan subuh supaya bisa membangunkan santri lain untuk salat berjemaah. Esoknya, sekitar jam 5 pagi kurang 10 menit, Miranda bangun lebih dulu bersama beberapa teman yang juga sedang piket. Selagi bersiap, mendadak mereka merasakan getaran hebat. Goncangannya bikin mereka sempoyongan, bahkan ada yang jatuh ke sana-kemari.

Selang beberapa detik, listrik padam. Teriakan terdengar. Pekik takbir memecah subuh yang semula sunyi. Miranda sibuk membangunkan teman-temannya. Mereka berhamburan ke luar gedung pesantren sambil tergopoh, menyelamatkan diri.

Perasaan takut segera menyergap. Mereka teringat gempa dahsyat di bulan yang sama 12 tahun lalu. Sebuah gempa yang mendatangkan tsunami, menggulung ratusan jiwa. Seketika ketakutan itu menyebar di tengah kerumunan, meski berusaha menenangkan diri dan berkumpul di luar gedung hingga gempa berhenti.

“Kira-kira gempanya berlangsung lima menit. Lebih lama dari gempa 2004 lalu,” kata Miranda saat dihubungi via telepon oleh Tirto.id.

Usai mendengar kabar pasti bahwa gempa yang mereka rasakan tidak berpotensi tsunami, Miranda dan staf pengajar mulai sibuk mengevakuasi santri. Para santri dilarang keluar pesantren sampai bantuan tiba, demi memudahkan proses pendataan. Selain trauma pasca-tsunami, pengalaman mengajarkan mereka lebih tanggap menghadapi bencana alam.

Perlahan mereka mulai memperhatikan keadaan. Tembok gedung pesantren Yayasan Ummul Ayman retak-retak. Tangga roboh di lantai satu. Dan yang bikin Miranda sedih: seorang guru meninggal tertimpa papan majalah dinding.

“Tulang lehernya ditimpa. Saat orang-orang berlarian ke luar gedung menyelamatkan diri, bapak itu juga ikut terinjak-injak. Waktu itu enggak ada yang lihat. Soalnya, suasana gelap gulita,” kata Miranda.

Tiga puluh orang santri terluka: 20 santri putri, 10 putra. Di antara mereka ada dua orang luka berat karena kepalanya terbentur, dan tangannya patah. Yang paling parah adalah seorang santri putra yang meloncat dari lantai dua. Ia selamat dan menjalani perawatan.

Hingga malam 7 Desember, Miranda masih di lokasi pesantren bersama sebagian besar santri dan staf pengajar. Adapun sebagian lain sudah diizinkan pulang bertemu keluarga.

“Kebanyakan yang pulang yang keluarganya juga korban parah,” katanya, menambahkan bahwa gedung-gedung di Kota Bireueun juga retak dan roboh. Bahkan, “Kubah Masjid Raya juga jatuh.”

Sehari setelah gempa, pesantren diliburkan. Santri disuruh pulang, tapi Miranda masih di sana. Ia dan staf pengajar lain masih perlu memantau yayasan.

Kedalaman Dangkal, Kerusakan Besar

Keadaan di Bireueun tidak separah pusat gempa di wilayah Pidie Jaya, sekitar 1 jam dari lokasi Yayasan Ummul Ayman. Hingga Kamis, 8 Desember, pukul 9 pagi, jumlah korban tewas sekitar 102 orang, 700-an luka-luka, dan 3.267 warga mengungsi. Selain itu, ratusan rumah rusak dan tak bisa ditempati, plus ratusan ruko roboh serta satu unit bangunan rumah sakit daerah Pidie rusak berat. Mengingat kerusakan parah melanda Pidie Jaya, Pidie, dan Bireueun, ditaksir daftar korban bakal bertambah.

Menurut Daryono dari BMKG, gempa di Pidie Jaya lebih mirip gempa Yogyakarta tahun 2006. Ini lantaran kedua pusat gempa berada di lempeng berkedalaman di bawah 60 kilometer, dan digolongkan jenis gempa dangkal. Meski begitu, dampak kerusakannya tergolong besar. Goncangannya juga lebih kuat ketimbang gempa dengan titik pusat lebih dalam. “Dibanding gempa 2004, yang tadi pagi memang lebih kuat,” ujar Miranda.

Gayatri Indah Mariyani, pakar gempa dari Universitas Gadjah Mada, menjelaskan kenapa goncangan itu begitu merusak. Menurutnya, wilayah pusat gempa disusun batuan yang tidak kompak. Sementara gelombang gempa bersifat melambat ketika melewati batuan yang lepas-lepas, sehingga getaran akan terasa lebih kuat. Pusat gempa yang dekat permukaan bumi juga menjadi salah satu faktor pemicu kerusakan parah.

Ia menambahkan bahwa sesar atau patahan bumi yang aktif di Pidie Jaya berasal dari sesar Sumatra bagian utara, dan sesar ini masih belum terpetakan.

Gayatri menekankan perlu cepat melakukan upaya mitigasi bencana gempa. Salah satu langkahnya adalah memetakan jalur sesar atau patahan aktif di seluruh kawasan Indonesia, terutama di kawasan padat penduduk atau perkotaan.

“Ketika sesar bergerak dan menimbulkan gempa, sesar ini akan cenderung bergerak lagi di masa mendatang,” ujar Gayatri.

Gayatri menyebut satu riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang dimotori Eko Yulianto. Tim LIPI ini menemukan ada sesar aktif di Lembang, Bandung. Seperti dikutip dari blog Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung, penelitian ini penting guna mengantisipasi kemungkinan gempa berikutnya.

Gempa Bumi di Indonesia

Mitigasi, Mitigasi, Mitigasi!

Indonesia tergolong negara rawan gempa dan tsunami. Wilayah kepulauan ini terletak di antara pertemuan lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik. Sementara gempa adalah peristiwa alam yang memang rutin terjadi setiap hari di belahan bumi manapun, tapi masih tak bisa diramalkan teknologi apa pun saat ini.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mendata, 157 juta jiwa penduduk Indonesia di 386 kabupaten dan kota bermukim di wilayah-wilayah yang rawan gempa dan bencana alam lain.

Wilayah Indonesia Timur malah lebih berisiko. “Dari jumlah itu, 148,4 juta jiwa penduduk Indonesia terpapar langsung bahaya gempa dan 3,8 juta jiwa terpapar bencana tsunami,” kata Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Humas BNPB, Rabu (7/12/2016), dikutip dari Antara.

Statista mencatat, selama 116 tahun sejak 1900, Indonesia masuk dalam 10 negara paling terkena dampak gempa berdasarkan jumlah korban jiwa. Ia menempati peringkat ketiga dengan merenggut nyawa 198.487 jiwa, di bawah Tiongkok (876.478) dan Haiti (222.576).

Budi Brahmantyo, dosen ITB, punya poin penting tentang perlu upaya mitigasi yang harus dilakukan pemerintah Indonesia. Dalam makalahnya, ia menulis mitigasi atau upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak gempa adalah hal mutlak yang harus dirancang,

Ia mencontohkan Jepang, negara yang terkenal sering dilanda gempa, membagi mitigasi dalam dua jenis. Pertama, secara struktural berupa penataan ruang atau kode bangunan. Saran arsitek diperhatikan untuk menemukan bahan bangunan yang tepat: tiang kuat, struktur bangunan sederhana, bahan yang ringan, dan lokasi yang aman. Kedua, secara non-struktural berupa pendidikan dan pelatihan kepada masyarakat bagaimana selamat dari gempa.

Di Indonesia, selama ini kita diajarkan untuk keluar dari rumah atau gedung saat gempa terjadi. Ini wajar, karena jarang bangunan di sini terutama rumah didesain tahan gempa. Termasuk seperti bangunan di Pidie Jaya, menurut BNPB. Berbeda dengan Jepang ketika warganya justru memilih tetap diam di rumah dan mencari perlindungan di bawah furnitur yang kuat.

Miranda Bachtiar pun berpikiran sama. Pendidikan tentang upaya menyelamatkan diri dari gempa sama pentingnya dengan mendirikan bangunan anti-gempa. Ia mencontohkan pesantren tempatnya mengajar. Ia mengaku tak paham komposisinya, tapi yang ada dalam pikirannya, membangun gedung seperti itu pasti mahal.

“Kalau mau bikin gedung anti-gempa sendiri, kami ya belum mampu. “Tapi bangunan anti-gempa memang mau enggak mau mesti ada,” katanya.

Baca juga artikel terkait GEMPA atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam