tirto.id - Ema (57) mengaku rencana pemerintah meniadakan klasifikasi beras medium dan premium tak jadi persoalan, asalkan kualitas berasnya bisa dipastikan baik dan harganya pun cocok di kantong.
Akan tetapi, dia mengatakan, selama ini masih bingung dengan perbedaan kedua jenis beras itu, apalagi ramai pula terkait isu beras oplosan. Sehari-hari Ema hanya membeli beras ketengan dari agen atau warung, yang harganya berkisar antara Rp12 ribu - Rp14 ribu per liter.
“Kalau satu jenis aja dan (kualitas) berasnya bagus, harganya sesuai, ya gak papa juga sih,” kata Ema saat melayani pembelinya di warung nasi Padang, di daerah Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Senin (28/7/2025).
Meski, Ema beranggapan, kalau beras berkualitas jelek dengan harga mahal justru lebih merugikan dan memberatkannya sebagai konsumen, ia tetap berharap dengan dihapusnya jenis beras, tak ada lagi kabar oplosan. Belum lagi, harga beras belakangan dirasa semakin mahal.
“Sama aja kalau misal beras pengen murah, tapi oplosan, terus ada juga pengen mahal, tapi dioplos. Ya sama aja bohong,” tutur Ema.
Masih segar dalam ingatan, pada Juni lalu, hasil investigasi Kementerian Pertanian (Kementan) menunjukkan adanya praktik kecurangan perdagangan beras. Kecurangan itu terkait penurunan mutu dan bobot serta permainan harga di pasar.
Imbas maraknya praktik oplosan serta ketidaksesuaian kualitas beras dengan kemasan ini, pemerintah memutuskan menghapus klasifikasi beras medium dan premium. Dengan begitu cuman ada satu jenis beras dan "beras khusus".
Keputusan ini diambil usai rapat koordinasi dengan Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Kementerian Pertanian di Kementerian Koordinator Bidang Pangan, Jakarta Pusat, Jumat (25/7/2025).
“Nah melihat pengalaman itu (beras oplosan), maka beras nanti kita akan buat hanya satu jenis beras saja. Beras ya beras, sudah. Ya tidak lagi premium dan medium, ada satu lagi namanya beras khusus. Jadi cuma ada dua,” terang Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan.

Pria yang akrab disapa Zulhas itu menjelaskan, kategori beras biasa nantinya adalah produksi petani yang disubsidi pemerintah. Sementara beras khusus adalah beras yang punya sertifikat khusus, seperti pandan wangi atau basmati.
“Jadi itu jenisnya. Bukan medium premium, karena medium premium berasnya itu-itu juga,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi menegaskan, perubahan ini akan segera diimplementasikan. "Perbadan (Peraturan Badan Pangan Nasional) akan ikut (diubah). Kita ingin cepat karena faktanya beras berlabel premium pun kualitasnya tidak premium," terang Arief.
Pemerintah juga akan menetapkan harga maksimal dan standar kualitas wajib, seperti kadar air maksimal 14 persen untuk mencegah beras cepat basi. Kebijakan ini disebut diharapkan bisa menghentikan manipulasi harga dan melindungi konsumen serta petani.
Keuntungan Condong ke Pemerintah & Produsen
Rencana pemerintah menghapus klasifikasi beras medium dan premium mungkin memang akan membantu mengatasi kasus oplosan dan harga beras, akan tetapi pengamat merasa hal ini justru tak menguntungkan konsumen.
Peneliti pertanian Center of Reform on Economics (CORE), Eliza Mardian, berpendapat, keuntungan adanya penghapusan ini lebih banyak dirasakan oleh produsen dan juga pemerintah karena akan berkurangnya praktik kecurangan dan biaya pengawasan.
Produsen dinilai akan berhemat karena tidak perlu lagi melabeli antara medium dan premium, sehingga biaya distribusi jadi minim.

“Tapi bagi konsumen ini dampaknya besar. Tanpa diferensiasi mutu, pasar bisa berpotensi menjadi di mana kualitas rendah mendominasi karena konsumen tidak bisa membedakan. Ini potensi curangnya juga bisa terjadi lagi. Misal beras itu ditentukan standarnya, nah kemungkinan pengurangan kualitas yang gak sesuai sebagaimana mestinya juga ini akan tetap terjadi,” terang Eliza kepada jurnalis Tirto, Senin (28/7/2025).
Oleh karenanya, ia menilai, menghilangkan premium dan medium bukan solusi. Segmentasi konsumen harus ada agar pemerintah bisa intervensi untuk melindungi masyarakat menengah ke bawah.
“Yang seharusnya dilakukan itu dihilangkan HET [harga eceran tertinggi] beras premium, karena konsumen beras premium ini kalangan atas, yang tidak masalah jika harga beras naik sekalipun. Mereka pun punya kemampuan lebih besar untuk mengganti sumber pangan mereka. Pemerintah tidak perlu repot mengurusi HET premium. HET ini kan fungsinya untuk menjaga daya beli masyarakat,” lanjut Eliza.
Sementara masyarakat yang perlu dijaga daya belinya adalah konsumen menengah ke bawah. Jadi, beras medium dan HET wajib ada untuk melindungi kelompok itu. Menurut Eliza, kalangan atas yang pengeluarannya lebih banyak untuk non-makanan, tidak akan terguncang kalau harga beras premium naik.
“Kalau beras medium sudah di atas HET, maka pemerintah tugasnya stabilisasi harga di pasar. Nah ini yang harusnya jadi prioritas pemerintah, karena bagi kalangan menengah ke bawah, pengeluaran mereka lebih banyak untuk makanan,” kata Eliza.

Maka, ketika harga beras naik, ini akan mempengaruhi pola konsumsi mereka. Dengan kata lain, mereka jadi mengurangi pembelian protein dan belanja non makanan untuk memenuhi kebutuhan karbohidratnya.
“Bukti harga beras itu sangat mempengaruhi pola konsumsi masyarakat menengah bawah dan miskin adalah dari rilis BPS yang baru saja, kemiskinan secara agregat turun. Tapi di balik angka itu tersimpan ironi,” tutur Eliza.
Merujuk data kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru, garis kemiskinan mengalami perubahan proporsi: proporsi dana penduduk miskin untuk beli bahan makan pada Maret 2025 bertambah dibandingkan September 2024.
Jika pada September 2024, peranan komoditas makanan terhadap Garis Kemiskinan di pedesaan mencapai 75,97 persen, pada Maret 2025 angkanya merangkak naik hingga menyentuh 76,07 persen.
“Jadinya proporsi untuk non-makanan berkurang karena dialokasikan untuk membeli bahan makanan. Kenaikan harga makanan lebih tinggi dibandingkan non makanan. Di basket makanan, pengeluaran masyarakat miskin untuk beli beras, rokok kretek, dan mie instan meningkat proporsinya. Sementara untuk protein hewani dan kue, dll, itu menurun secara proporsi,” lanjut Eliza.
Menurutnya, ini membuktikan bahwa harga pangan mengalami kenaikan, sehingga menggerus daya beli masyarakat miskin. Dengan begitu, mereka mengutamakan pemenuhan karbohidrat, sementara pemenuhan protein dan non-makanan jadi dikurangi proporsinya, dari total yang biasa mereka keluarkan.
“Indeks kedalaman miskin Maret 2025 naik dibandingkan September 2024, artinya penduduk miskin semakin jauh dari garis kemiskinan, kebutuhan dasar mereka semakin sulit untuk dipenuhi. Tercermin dari perubahan komposisi pengeluaran mereka yang mengurangi non makanan serta protein, hanya untuk memenuhi beli beras, rokok dan mie instan,” tutur Eliza.
Pemerintah sebaiknya tidak gegabah menghapus beras medium, karena hal ini masih sangat diperlukan demi menjaga daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah. Eliza bilang, jangan sampai warga kelas menengah ke bawah terus turun kelas hingga jatuh ke jurang kemiskinan.
Lebih Baik Meningkatkan Pengawasan
Sekali lagi, menurut pakar, yang perlu dilakukan pemerintah bukan menghilangkan klasifikasi mutunya, tetapi meningkatkan pengawasannya. Pemerintah bisa juga menghapuskan HET beras premium, tapi bukan berarti menghilangkan premium dan medium, sebab ini bukan solusi.
“Produsen bisa meraup untung karena tidak ada lagi pembatasan premium, konsumen kelas atas puas akan kualitasnya asal yang mereka bayarkan sesuai dengan kualitas yang mereka dapatkan. Medium itu diatur harganya karena segmennya kalangan menengah bawah yang harus betul betul dijaga daya belinya,” kata Eliza.
Selaras, Sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Rio Priambodo pun berpendapat kalau menjadikan beras hanya satu kelas saja bisa merugikan konsumen lantaran menutup kesempatan konsumen dalam memilih produk beras yang cocok untuk dikonsumsi.

“Permasalahan ditemukan beras yang tidak sesuai dengan standar dikarenakan permasalahan sistemik pengawasan yang kurang maksimal. Oleh karena itu, mekanisme sistem pengawasan yang perlu diperbaiki bukan berasnya yang diseragamkan jadi satu jenis,” ungkap Rio saat dihubungi Tirto, Senin (28/7/2025).
Jenis beras, termasuk beras khusus, juga dikatakan harus jelas disampaikan ke publik, alias jangan sampai membingungkan konsumen. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 48/PERMENTAN/PP.130/12/2017 Tahun 2017 tentang Beras Khusus, menyebut bahwa Beras Khusus adalah beras yang memiliki sifat atau karakteristik tertentu.
Beras khusus terdiri atas beras ketan, beras merah, beras hitam, beras untuk kesehatan, beras organik, beras indikasi geografis, beras varietas lokal dan beras tertentu yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri.
“Sampai sejauh ini, YLKI melihat pemahaman publik soal beras yang standar juga masih minim. YLKI meminta bahwa beras yang dijual kepada konsumen harus sesuai dengan standar dan sesuai apa yang telah dibayarkan konsumen,” tutur Rio.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id


































