Menuju konten utama
Synchronize Festival 2023

Menyaksikan Sisi Lain Bimbo di Panggung Synchronize Fest 2023

Selain pop religi, top of mind saya soal Bimbo adalah musik dengan melodi yang halus dan lirik puitis.

Menyaksikan Sisi Lain Bimbo di Panggung Synchronize Fest 2023
Musisi Trio Bimbo, Sam (tengah), Acil (kiri), dan Jaka (kanan) berpose saat menghadiri Malam Anugerah Musik Indonesia (AMI) 2019 di Jakarta, Rabu (27/11/2019). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/pd.

tirto.id - “Teman-teman, Bimbo solat Magrib dulu, ya. Mohon maaf menunggu. Kalau Bimbo mau solat, kita gak bisa apa-apa. Hehehe.”

Pernyataan di atas disampaikan salah seorang panitia Synchronize Fest 2023, kepada sejumlah wartawan yang bersiap mengikuti konferensi pers Bimbo di Media Room. Rencananya, sesi tersebut bakal digelar pada Minggu (3/9) pukul 18.15 WIB. Namun, meski lima belas menit sudah lewat dari jadwal yang ditentukan, tak satu pun personel Bimbo kelihatan.

Beberapa wartawan mulai meninggalkan Media Room. Panitia kembali memohon maaf dan meminta mereka yang bertahan agar menunggu 20 menit lagi. Bahwa saya masih duduk-duduk di ruangan ber-AC itu—sedangkan Dewi Persik mulai naik panggung—alasannya bukan lantaran ingin ketemu Bimbo belaka. Tiga hari mengikuti Synchronize sudah lebih dari cukup untuk membuat pinggang dan lutut saya pegal linu ampun-ampunan.

Setengah jam kemudian, pihak Bimbo belum muncul juga. Perwakilan panitia kembali menyambangi ruang media, bertanya, apakah di antara wartawan yang tersisa—dua orang saja jumlahnya—masih punya keinginan mewawancarai para legenda? Saya dan seorang wartawan Media Indonesia menganggukan kepala.

Saran panitia, berhubung Bimbo sudah sepuh dan bakal repot kalau mesti turun-naik tangga, sebaiknya kami saja yang mendatangi personel grup musik pop itu di ruang tunggunya.

Di lantai dua, dari pintu yang sedikit terbuka, tampak semua personel Bimbo dan Yanti Bersaudara mengenakan setelan putih-putih. Samsudin Hardjakusumah, 82 tahun, terlihat tengah memimpin adik-adiknya berdoa.

“Lagu yang diminta panitia Synchronize banyak yang membuat kami kaget, karena banyak lagu yang menurut kami surprise buat Bimbo. Lagu kami sedikit saja, kurang-lebih 800. Tidak semua lagu yang diminta panitia, kami hapal,” ujar Sam, saat ditanya soal setlist pertunjukan.

Pernyataan di atas menerbitkan rasa kecewa sekaligus rasa senang dan penasaran. Saya kecewa lantaran lagu-lagu Bimbo yang saya hapal kecil kemungkinan bakal dibawakan. Senang sekaligus penasaran sebab beberapa saat lagi akan mendengarkan langsung lagu-lagu Bimbo yang populer pada masanya, lagu-lagu yang belum saya ketahui, tapi justru terlupakan bahkan oleh penyanyinya sendiri.

“Kamu tahu gak lagu 'Tetangga'? 'Sepatu'? Saya juga lupa sama lagu-lagu itu!” timpal Iin Parlina, diiring gelak tawa kakak-kakaknya.

Musik Kamar di Panggung Festival

District Stage terlihat berbeda malam itu.

Menjelang penampilan Bimbo, kru tidak hanya sibuk mengatur alat, tapi juga hilir mudik menempatkan sofa, lampu kamar, vas bunga, panel dinding, hingga sejumlah potret Bimbo dan Yanti Bersaudara lengkap dengan bingkainya. Alih-alih panggung musik, panggung District malam itu seolah disulap menjadi ruang tamu keluarga.

Sambil menunggu Bimbo naik panggung, saya teringat ucapan panitia bahwa Bimbo agak kesulitan turun-naik tangga. Saya mengurut-urut betis, lutut, dan pinggang sembari mengenang momen semalam sebelumnya. Di seberang ruangan Beauty Bar Karaoke, Sam, Acil, dan Jaka bergandengan dipapah dua panitia. Dalam balutan jaket dan gestur yang kikuk, ketiganya berdiri mematung menghadapi derap kaki ratusan muda-mudi yang baru selesai bergoyang menyaksikan pertunjukan Soneta dan Dipha Barus.

Artikel di majalah Aktuil No. 95 Tahun 1972, “Trio Bimbo Plus Iin: Warna Baru Musik Pop Indonesia” menyebut Bimbo sebagai grup musik yang berhasil menuangkan warna-warna musik klasik dan seriosa pada kanvas musik pop mereka.

“…bahwa di antara sekian banyak biduan yang memakai dunia musik pop Indonesia tanpa kreasi, dan cukup aman tenteram dengan lagu-lagunya yang gitu-gitu saja, toh ada juga beberapa gelintir yang meskipun baru coba-coba merasa bertanggungjawab untuk memberi sesuatu yang baru,” bunyi keterangan redaksi Aktuil mengenai album Bimbo 72 dan Iin.

Terkait pilihan bermusik Bimbo, masih dalam artikel yang sama, Sam menegaskan bahwa grupnya punya segmentasi pendengar yang jelas.

“Untuk Bimbo sudah jelas, beginilah musik kami, dan pendengarnya sudah jelas, terbatas untuk orang tua, dewasa, dan bukan untuk anak-anak. Kami mengarah ke musik kamar, kalau pun show, maka publiknya pun terbatas.”

Sekarang seluruh personel Bimbo dan Yanti Bersaudara sudah berumur lebih dari 70 tahun. Pendengar yang Sam maksud dalam Aktuil terbitan setengah abad lalu jelas bukanlah pendengar yang sekarang. Di hadapan penonton Synchonize Fest 2023, penampilan Bimbo dan Yanti Bersaudara lebih dari sekadar reuni atau nostalgia. Ini adalah tantangan sekaligus pembuktian bahwa karya mereka masih berterima.

45 Menit yang Menyenangkan

Bimbo membuka aksi panggungnya dengan "Tante Sun", sebuah lagu satire tentang seorang perempuan yang kesibukannya seabrek: pagi olahraga main golf, siang ke salon mandi susu, rapat dan arisan dilakukan siang malam.

Pada masanya, lagu ini pernah diturunkan dari televisi lantaran dianggap menyinggung pihak penguasa. Meski begitu, seturut keterangan Acil Hardjakusumah dalam wawancaranya dengan Bens Leo, “Telah tiga belas produser film ngantri ingin membuat film Tante Sun dengan bekerja sama dengan kami, namun yang terakhir jadi hanya Tobali Film!”

Bimbo memang menjalin kesepakatan dengan Tobali Film untuk mengembangkan "Tante Sun" ke layar lebar. Namun, perusahaan Safari Sinar Shakti juga berencana memfilmkan lagu itu dengan judul dan aktor yang sama: Kardjo AC/DC. Mantan personel Srimulat ini makin beken setelah membintangi video klip lagu tersebut.

Perihal rencana Safari Sinar Shakti memfilmkan "Tante Sun" tanpa seizin Bimbo, grup musik asal Bandung ini ambil sikap. Mereka menyerahkan persoalan hak cipta "Tante Sun" agar diurus Adnan Buyung Nasution.

“Bimbo akan memperjuangkannya, sebab kami sadar kalau tidak dari sekarang kita garap, di masa depan nanti hak cipta musisi lain akan terinjak-injak. Saya sendiri tak menyangka bahwa di dunia film begitu banyaknya pembajakan, sedang di dunia nyanyi hal ini tak sebegitu rumit!” ungkap Acil sebagaimana dicatat Aktuil No. 233 Tahun 1977.

Dari "Tante Sun" yang satir, Bimbo memainkan "Flamboyan" dan "Melati dari Jayagiri" yang romantis. Dua lagu bikinan Iwan Abdulrachman inilah yang melambungkan nama Bimbo. Keduanya tergolong dalam 150 Lagu Terbaik Indonesia versi majalah Rolling Stone (2009).

Pada "Flamboyan", Acil menjadi vokal utama. Sementara pada "Melati dari Jayagiri", Sam yang ambil kendali. Meski rambut sudah sama-sama beruban dan usia memasuki kepala delapan, kualitas vokal Sam dan Acil masihlah prima. Bahkan untuk nada-nada tinggi, mereka tak kelihatan repot menarik pita suara.

Melodi yang halus dan lirik yang puitis—sebagaimana tampak pada "Flamboyan" dan "Melati dari Jayagiri"—adalah top of mind saya soal Bimbo, setelah lagu religi. Namun, Bimbo bukan grup musik yang betah tinggal di zona nyaman.

Dibawakannya "Relax" sebagai lagu keenam pada pertunjukan malam itu, setelah Yanti Bersaudara menyanyikan "Badminton" dan "Kumis", benar-benar membuat saya tercengang. Betapa grup vokal yang identik dengan musik kamar ini ada masanya membawakan lagu dengan genre pop jenaka.

Penonton Bimbo dan Yanti Bersaudara yang kebanyakan adalah anak-anak milenial dan gen Z terlihat hanyut dan ketawa-ketawa menikmati lirik-lirik lagu Relax.

“Sepuluh tahun kuliah/belum menjadi sarjana/bukanlah malas sekolah/itulah relax namanya//Setengah abad membujang/mau kawin mundur maju/bukan soal tidak laku/itulah relax namanya.”

Kelak, saya tahu, untuk membuat lagu pop jenaka seperti "Relax", Bimbo sengaja menggandeng Kang Ibing, maestro bodor Sunda. Di samping aktor, Kang Ibing juga merupakan seniman multitalenta yang punya kemampuan jempolan dalam perkara menulis skrip dan lirik lagu. Kolaborasi Bimbo dengan Kang Ibing—kemudian dengan penyair Taufik Ismail untuk lirik-lirik religius—menunjukkan betapa luas pergaulan Bimbo dalam mengeksplorasi kemampuan mereka bernyanyi.

Saya bersyukur bahwa lewat aksi Bimbo plus Yanti Bersaudara, ada satu lagu yang membuat saya langsung jatuh cinta sejak pertama kali mendengarnya: "Cerita dari Pantai Carita". Sentuhan city pop ditambah bridge yang kental langgam Sunda, membuat lagu yang menempatkan Iin Parlina sebagai lead vocal ini terasa sangat sedap dan bersahaja di telinga.

“Ini lagu zaman saya pacaran, tapi saat itu saya belum pernah ke Pantai Carita,” ungkap Iin.

Pada mulanya, Bimbo yang saya kenal adalah Bimbo yang identik dengan lagu-lagu religi. Synchronize Fest 2023 meruntuhkan asumsi itu. Lagu-lagu yang diminta panitia untuk dimainkan Bimbo (dan Yanti Bersaudara) telah menempatkan Bimbo kepada khittahnya: jawara pop Indonesia.

Infografik Bimbo dan Yanti Bersaudara

Infografik Bimbo & Yanti Bersaudara. tirto.id/Quita

Sekiranya Bimbo bertahan di gagrak dan gaya yang itu-itu saja, sudah dapat dipastikan bahwa karya mereka tidak bakal mencapai lebih dari 100 album dan 800 lagu. Daya jelajah Bimbo yang terus berkembang membuat lagu-lagu mereka tidak hanya beririsan dengan langgam klasik dan seriosa, tapi merambah ke corak melayu, dangdut, bahkan kasidah.

Saking meledaknya kasidah Bimbo, label Remaco bahkan memberi kontrak yang berbeda kepada Bimbo.

“Dia tidak dikontrak macam rekaman untuk lagu-lagu popnya. Tapi khusus buat qasidah, Bimbo menandatangani blanko kosong, sehingga seandainya grup ini merekam lagu-lagu berikutnya, mereka bisa menaikkan honor rekaman, sesuai dengan kondisi masa mendatang nanti,” bunyi keterangan Aktuil No. 233 Tahun 1977.

Puncaknya, setelah melantunkan "Romantika Hidup", lagu andalan dari album ke-102 Bimbo (“Bimbo ’85”), penonton Synchronize mulai menjerit dan bertepuk tangan mendengar genjrengan gitar dan sayatan biola yang ikonik dari intro "Ada Anak Bertanya pada Bapaknya". Tentu ada saja penonton yang usil meneriakkan judul plesetannya.

"Ada anak bertanya pada Baphomet!"

Dengan bunyi-bunyi beraksen padang pasir dan ketukan 115 BPM, lagu ini tidak hanya sukses membuat penonton sing along, tapi juga bergoyang. Sayangnya, ketika penonton mulai terlihat benar-benar nyetel dengan Bimbo, pertunjukan berakhir. Dari arah penonton, terlihat kepalan tangan diiringi teriakan membahana, meminta agar Bimbo dan Yanti Bersaudara tidak segera turun panggung. “Lagi! Lagi! Lagi!”

Apa daya, meski Sam sempat terlihat hendak ambil mic lagi, waktu sudah habis. Dan saya yakin, jangankan 45 menit, bahkan durasi 4,5 jam saja boleh jadi masih terlalu sebentar untuk mendengar lagu-lagu terbaik Bimbo dan Yanti Bersaudara.

Yang jelas, sesudah para penampil turun panggung, saya puas dan lega. Kesan hangat yang dipancarkan set ruang keluaga dan penampilan Bimbo yang menyentuh hati—dua jempol buat semua musisi pengiring pertunjukan ini—setidaknya berhasil membikin ngilu di lutut dan pinggang sedikit terobati.

Sambil mengurut-urut betis, saya bertekad ingin melihat Bimbo tampil di konser yang lebih besar lagi.

Baca juga artikel terkait BIMBO atau tulisan lainnya dari Zulkifli Songyanan

tirto.id - Musik
Penulis: Zulkifli Songyanan
Editor: Nuran Wibisono