tirto.id - Wiranto adalah 'pisau McGyver' di belantara politik Indonesia. Ia sangat serba guna, terbukti dengan sederet peran yang telah dijalaninya. Ia pernah menjadi ajudan presiden, panglima ABRI, dan menteri di bawah tiga presiden yang berbeda. Wiranto juga dua kali bertarung di palagan pilpres.
Sudah terlalu banyak tulisan tentang kiprah Wiranto sebagai serdadu, politikus, dan pejabat. Sayang, belum ditemukan kajian mendalam tentang bakat sang Menkopolhukam di dunia tarik suara.
Pak Wir, demikian panggilan akrabnya, memang tak setengah-setengah menyalurkan bakat nyanyinya. Satu album sudah ia rilis dan hasilnya tidak mengecewakan. Kualitas olah vokal yang ditampilkan sangat mumpuni untuk ukuran pejabat negara.
Album Bintang Empat
Album musik Wiranto berjudul Untukmu Indonesiaku. Selain menyanyi, Wiranto juga bertindak sebagai produser eksekutif. Untukmu Indonesiaku dirilis pada 2001 oleh JK Records, atau setahun setelah Wiranto diberhentikan dari jabatan Menkopolhukam.
Waktu itu, pemerintahan Gus Dur tengah melakukan reformasi besar-besaran di tubuh militer. Dua tahun setelah album dirilis, PBB secara resmi mengumumkan keterlibatan Wiranto dalam aksi bumi hangus pasca-Referendum Timor Timur pada 1999.
JK Records adalah label rekaman milik Judhi Kristianto, pengusaha percetakan cum manajer klub bola Galatama. Label yang berdiri pada 1982 ini menaungi berbagai macam artis, antara lain Chintami Atmanagara, Pance Pondaag, Meriam Bellina, Obbie Messakh, hingga Deddy Dores. Rekor penjualan tiga juta keping album Dian Piesesha bertajuk Tak Ingin Sendiri (1984) sempat melejitkan nama JK Records.
Sampul album Untukmu Indonesiaku bergambar—tentu saja—muka Wiranto dengan bintang empat berwarna kuning di sebelah kiri. Wajah Wiranto membentuk bayangan tiga lapis berwarna abu-abu seolah habis digebuk godam Infinity Stone-nya Thanos. Desain sampul itu khas visual album musik 1990-an yang gayanya kini kembali populer berkat estetika Vaporwave dan demam shitposting di media sosial.
CD dan kaset pita Untukmu Indonesiaku dapat dengan mudah ditemukan di lapak-lapak online. Tapi, jika Anda merasa repot mencari rilisan fisiknya, Anda bisa menikmati suara Wiranto di kanal streaming seperti Spotify, Deezer, atau Apple Music.
Produksi Untukmu Indonesiaku melibatkan dua musisi ternama Embong Rahardjo (saksofon) dan Jopie Item (gitar) yang sudah banyak makan asam garam di dunia jazz Indonesia era 1970-an dan 1980-an.
Total ada 17 lagu dalam album ini—lima di antaranya lagu “versi karaoke”. Semuanya diciptakan komposer kawakan seperti Ismail Marzuki, Iwan Abdurachman, hingga A. Riyanto dan telah dibawakan oleh banyak biduan dan biduanita nusantara. Wiranto 'sekadar' menambah daftar panjang itu.
Tapi, fakta tersebut tak mengurangi kualitas album Pak Wir. Tak ada yang salah dengan mendaur ulang (cover) lagu lama asalkan tak lupa mengurus izinnya. Frank Sinatra kerap menyanyikan lagu penyanyi lain. Beatles, Edith Piaf, Yves Montand, Juliette Greco, Marlene Dietrich, Hannes Wader, Elvis Presley, Johnny Cash, ABBA, Sid Vicious, dan ribuan musisi lainnya di berbagai belahan dunia juga pernah membawakan lagu yang sudah lebih dulu populer.
Daur ulang lagu adalah tradisi terhormat selama dilakukan dengan baik dan benar. Versi asli berikut penyanyinya bahkan bisa merasa malu mendengar edisi daur ulang. David Bowie mendadak ingin berkolaborasi dengan Kurt Cobain (waktu itu sudah meninggal) begitu mendengar lagu lawasnya "The Man Who Sold the World" dimainkan oleh Nirvana dalam MTV Unplugged 1994. Vokalis Nine Inch Nails Trent Reznor tiba-tiba merasa dirinya amatir tatkala mendengar "Hurt" dimainkan oleh penyanyi country veteran Johnny Cash.
"Rasanya seperti kehilangan pacar karena lagu itu sudah bukan kepunyaanku lagi," ujar Reznor kepada majalah Paste (2002).
Dan Wiranto menyanyikan lagu-lagu evergreen itu dengan penampilan prima nan jatmika.
Ini sudah terlihat sejak nomor pembuka berjudul “Kau Selalu di Hatiku”. Suara Wiranto menggelegar sekaligus empuk, mengingatkan saya pada sosok Broery Marantika ketika menyanyikan lagu “Mawar Berduri”. Ada kesan nestapa dan perasaan terlunta-lunta akibat putus cinta yang menguar sepanjang lagu.
Lagu selanjutnya, “Indonesia Sungguh Indah Permai”, adalah nomor favorit saya. Lagu ini adalah antitesis bagi lagu-lagu bertema nasionalisme yang kerap meledak-ledak dan membosankan—meski bisa lebih kalem seandainya dibawakan Pak Wir.
Musik dalam “Indonesia Sungguh Indah Permai” terdengar sangat dinamis dengan jejak berbagai macam genre musik dunia dari jazz klasik hingga city pop yang masuk ke Indonesia di antaranya lewat Fariz RM dan Iga Mawarni. Wiranto nampaknya telah menangkap sensibilitas city pop jauh sebelum warganet Indonesia memutar tembang “Plastic Love” garapan Mariya Takeuchi ad nauseam di YouTube.
Bagian terbaik dari “Indonesia Sungguh Indah Permai” ialah ketika Wiranto bernyanyi diiringi dengan backing vokal. Seketika, saya langsung membayangkan Pak Wir mengenakan tuksedo necis sambil menebar pesona di hadapan para pengunjung kafe di sudut New York bak penyanyi crooner macam Paul Anka ketika sedang jaya-jayanya.
Sementara di “Kemuning” dan “Sonata yang Indah,” Wiranto kembali mengingatkan kita bahwa tak ada yang abadi di dunia ini, termasuk cinta. Suara Wiranto membuatnya seperti Duta Patah Hati Nasional—gelar yang sudah setara dengan titel "Godfather of Broken Heart"-nya Didi Kempot. Suara Wiranto lirih, sendu, dan terdengar berusaha setegar mungkin di tengah suasana hati yang nggerus.
Lagu lain yang haram dilewatkan adalah “Melati di Tapal Batas”, “Juwita Malam”, dan “Payung Fantasi”. Lagi-lagi, di tiga nomor tersebut, Wiranto bernyanyi dengan penuh percaya diri. Kita tidak sedang mendengar komando seorang jenderal di tengah hamburan peluru, asap, dan aksi kekerasan massal di Daerah Operasi Militer. Kita sedang menyimak solis yang puluhan tahun malang melintang di tangga lagu nasional.
Wiranto Tak Sendiri di Dapur Rekaman
Sebetulnya Wiranto bukan mantan jenderal pertama yang diketahui gemar menyanyi. Pada era Orde Baru, ada Basofi Sudirman yang mendadak populer pada 1992 berkat tembang dangdutnya, "Tidak Semua Laki-laki".
Pasca-Orde Baru, mantan perwira tinggi yang melirik dunia tarik suara bertambah. Mantan Kepala BIN AM Hendropiyono, misalnya, merilis mini album berjudul Mars Indonesia (2016). Rilisan ini, catat Liputan 6, berisi enam lagu bertema nasionalisme yang dinyanyikan paduan suara Hendropriyono Strategic Consultant dengan iringan musik Fan Batavia. Hendropriyono sendiri bergerak di belakang layar sebagai pencipta lagu.
Setahun sebelumnya, Hendropriyono juga sempat merilis lagu pop-dangdut berjudul "Kumis". Dalam video musiknya, Hendropriyono tak bernyanyi. Ia hanya diperlihatkan berjoget sambil memegang gitar.
Di antara para perwira tinggi yang masuk dapur rekaman, tak ada yang lebih produktif dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Selama dua periode menjabat presiden, lulusan Akmil 1973 ini tercatat telah merilis setidaknya empat album: Rinduku Padamu (2007), Evolusi (2009), Ku Yakin Sampai di Sana (2010), serta Harmoni Alam Cinta dan Kedamaian (2011). Di empat album tersebut, SBY tak 'hanya' bernyanyi, tapi juga menulis lagu.
Saking produktifnya, SBY diganjar penghargaan pencipta lagu terbanyak di Indonesia oleh Museum Rekor Indonesia (MURI).
Namun, karya-karya SBY tak lepas dari kritik. Almarhum Denny Sakrie, dalam kolomnya di Tempo (2014), menjelaskan bahwa ada kemiripan antara lagu SBY berjudul "Majulah Negeriku" dengan bagian refrain lagu "Baby Blue" ciptaan George Baker Selection.
Anda mungkin akan mengira bahwa debut album Wiranto ini terdengar seperti lagu pengiring manten atau hiburan pengiring acara partai politik. Tak dapat dipungkiri lagu-lagu yang dinyanyikan Wiranto adalah jenis yang digandrungi bapak-bapak bersuara pas-pasan (jelek saja belum) di hajatan-hajatan besar.
Boleh jadi karena kemiripan dengan lagu-lagu manten itulah beberapa orang mengejek Untukmu Indonesiaku. Tapi, untuk saya, album Pak Wir adalah karya yang dahsyat. Masterpiece. Magnum opus.
Wiranto membuktikan bahwa tak semua (mantan) serdadu dan politikus punya selera seni yang buruk.
Tentu, kualitas album ini tak bisa dilepaskan dari kehadiran musisi-musisi pengiring yang jempolan. Mereka memberikan sentuhan musikalitas yang kaya. Untukmu Indonesiaku adalah album yang sarat warna. Saya tiba-tiba merasa sedang berada di elevator Sarinah zaman Ganefo ketika tiupan solo saksofon Embong mulai mengalun. Di lain waktu, saya membayangkan tengah duduk dengan kepala sedikit tipsy di atas sofa beludru di bar-bar dalam film Indonesia lawas ketika beat-beat khas jazz fusion yang tak mudah ditebak itu muncul di tengah lagu.
Faktor musikalitas penting, namun yang paling menentukan baik-buruknya album ini adalah skill menyanyi Wiranto.
Teknik vokal Wiranto tergolong yang terbaik di kelasnya. Berlebihan? Saya pikir tidak. Ia paham nada, suaranya empuk, sama sekali tidak fals, dan, yang paling penting, Pak Wir mampu menjiwai setiap lirik dan melodi. Ia bahkan tak sekadar jago menyanyikan lagu-lagu pop. Ada banyak video Pak Wir di Youtube menyanyikan tembang Jawa sampai lagu rohani.
"Untung [Wiranto] bukan penyanyi. Kalau dia penyanyi aku jadi kalah," ujar seorang MC dalam sebuah acara di mana Wiranto menyanyikan lagu Jawa.
Saatnya Pensiun?
Sayang, karier politik Wiranto tak sejernih suaranya. Dua kali maju sebagai capres, dua kali pula ia harus menanggung malu. Pada Pilpres 2004, ia menggandeng Salahuddin Wahid dan kalah dari pasangan SBY-Jusuf Kalla. Lima tahun setelahnya, ia berpasangan dengan Jusuf Kalla dan lagi-lagi kalah oleh SBY-Boediono.
Pencapaian Wiranto di dunia capres mungkin hanya bisa ditandingi oleh juniornya di Angkatan Darat, Prabowo Subianto, yang selalu bernasib apes tiap berlaga dalam pilpres.
Tapi, dewi fortuna tak kunjung mampir ke pundak Wiranto ketika putra Yogyakarta ini memutuskan keluar dari Golkar lalu mendirikan Partai Hanura. Berkali-kali Pak Wir menyamar sebagai tukang becak, pedagang asongan, sampai buruh angkut di pasar demi “dekat dengan realitas rakyat”. Sayang, ia tetap gagal memaknai konteks "realitas rakyat" itu dengan baik.
Alih-alih sukses menyerap aspirasi warga kelas bawah, seperti yang diharapkannya selaku ketua partai, Wiranto malah terlihat seperti pembawa acara Uang Kaget yang percaya bahwa bagi-bagi uang sebanyak mungkin adalah satu-satunya jalan mengentaskan kemiskinan.
Walhasil, ia kerap jadi bahan tertawaan banyak orang. Tiap jelang pemilu, entah berapa banyak meme dan lelucon verbal seputar Pak Wir bermunculan di media sosial—Anda bisa cek di kolom pencarian Twitter dengan berbagai varian kata kunci.
Pada 2016, ia ditunjuk Presiden Jokowi untuk duduk di kursi Menkopolhukam, menggantikan kompatriotnya, Luhut Panjaitan, yang digeser ke posisi Menko Kemaritiman. Namun, pendekatan Wiranto di bidang hukum, keamanan, dan politik kerap dipandang bermasalah.
Ia pernah mewacanakan pembentukan tim hukum nasional yang bertugas mengkaji ucapan dan tindakan tokoh-tokoh yang dinilai berpeluang mengancam keamanan negara. Wiranto juga sempat menyatakan bahwa penyebar hoaks dalam masa pemilu 2019 sebaiknya dipidana dengan UU pemberantasan tindak pidana terorisme.
“Terorisme itu, kan, menimbulkan ketakutan di masyarakat. Kalau masyarakat diancam dengan hoaks untuk tidak ke TPS, itu sudah terorisme. Maka tentu kita gunakan UU Terorisme. Tadi saya sudah minta agar aparat keamanan waspada ini,” ujar Wiranto Maret Silam.
Ketika Papua kembali bergejolak belakangan ini, Wiranto dinilai turut menyebarkan hoaks bahwa Majelis Rakyat Papua (MRP) meminta mahasiswa Papua di semua kota di Indonesia untuk tetap melanjutkan studinya. Ketua MRP Timotius Murib langsung membantah pernyataan Wiranto.
Wiranto justru menuding Benny Wenda, ketua Liberation Movement for West Papua (ULMWP), sebagai dalang kerusuhan di Papua dan Papua Barat. Benny sendiri telah mengasingkan diri di Inggris setelah sempat masuk dalam daftar surat perintah penangkapan internasional (red notice) pada 2011. Status itu lantas dicabut lewat Fair Trials Internasional karena Benny dinyatakan tak bersalah atas tuduhan yang dialamatkan pemerintah Indonesia.
Reaksi publik pun semakin negatif saat Wiranto mengomentari kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang melanda Sumatera dan Kalimantan. Ia menyebut karhutla di kedua wilayah tak “separah pemberitaan di media massa”.
Sindrom Album Kedua?
Mengucapkan selamat tinggal kepada dunia politik bukan satu hal yang memalukan selama dilakukan dengan cara dan di waktu yang tepat. Tak semua orang kehilangan sarana aktualisasi diri hanya karena pensiun dari pekerjaan rutinnya. Dunia tarik suara adalah salah satu wahana aktualisasi diri itu.
Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso pernah mencicipi dunia itu. Setelah pensiun dari Polri, ia mendirikan band bernama Hawaiian Seniors yang sering tampil di TVRI. Ia memainkan ukulele dan bernyanyi. Suaranya tebal, empuk, sekaligus menghanyutkan. Sayang, setelah ikut menandatangani Petisi '50, Hoegeng dilarang tampil di TV oleh Soeharto.
April lalu Jokowi resmi memenangkan pemilu dan akan dilantik Oktober ini. Tak diketahui apakah Wiranto akan kembali menduduki kursi menteri. Jika tidak, ada kegiatan lain yang masih bisa digeluti Pak Wir.
Untukmu Indonesiaku, satu-satunya album yang dirilis Wiranto itu, membuat saya bertanya-tanya kapan album berikutnya akan dirilis. Sudah terlalu lama skena musik Indonesia menantikan album kedua Pak Wir.
Sangat disayangkan jika suara emas Wiranto terkubur di kaki sejarah musik Indonesia hanya karena mencetak satu album yang kurang dikenal. Sungguh tak adil jika Pak Wir cuma berakhir sebagai musisi one-album wonder, lenyap ditelan bumi setelah sekali masuk dapur rekaman.
Apakah Wiranto menderita sindrom album kedua? Memang benar ada banyak musisi yang mengalami sindrom macam ini. Ketika rekaman debut sukses, album kedua sang musisi malah gagal menandingi pamor album pertama. Album kedua Wiranto, jika benar-benar dirilis kelak, justru bisa menjadi ajang pembuktian. Pak Wir bisa saja mengarang lirik dan melodi lagu-lagu baru. Tak mudah memang, tapi layak dijajal.
Tidakkah 18 tahun terlalu lama bagi Pak Wir untuk kembali masuk dapur rekaman?
Tanyakan itu ke Guns N' Roses. Berapa lama waktu yang dibutuhkan Axl Rose dkk untuk mengkonsep, merekam, mengolah, dan merilis Chinese Democracy (2008)? Empat belas tahun!
Sutradara hebat Terrence Malick cuti panjang setelah merilis Badlands (1973) dan Days of Heaven (1978), dua karya pertamanya yang senantiasa masuk dalam daftar film terbaik dunia. Malick baru kembali ke layar perak dua puluh tahun kemudian dengan Thin Red Line yang langsung menyabet delapan nominasi Oscar pada 1999.
Novelis Harper Lee meraih penghargaan Pulitzer untuk karya perdananya To Kill a Mockingbird (1960). Novel keduanya, Go Set a Watchman, terbit pada 2015—lebih dari setengah abad sejak To Kill a Mockingbird dan setahun sebelum sang penulis meninggal dunia.
Seandainya pun Wiranto masih membawakan lagu-lagu orang dengan aransemen lawas, dia tetap relevan buat para penikmat musik era kiwari yang gandrung nostalgia. Wiranto bisa bersanding dengan Bob Tutupoly, menyajikan ramuan-ramuan musik lawas yang membuai telinga. Dan jangan kaget pula bila dari situ, nantinya, suara emas Pak Wir disambut oleh kerumunan di depan panggung-panggung besar festival musik ternama.
Barangkali Naif-lah yang memulai gaya retro dalam musik Indonesia melalui album Naif (1998). Lalu, beberapa tahun sebelum skena musik independen dihajar musik rock/elektronik vintage '60-an dan '80-an, Mocca menyempurnakan tendensi berlawas-lawas ria menjadi sebuah tren lewat My Diary (2002).
Persis di antara Naif dan My Diary itulah Untukmu Indonesiaku lahir. Inilah bukti bahwa Wiranto sudah mulai retro-retroan sebelum retro-retroan itu cool. Tak usah heran seandainya kelak Philip Yampolsky dari Smithsonian mengabadikan nama Wiranto sebagai salah satu musisi proto-retro dalam koleksi Music of Indonesia Series.
Mungkin memang di dunia tarik suaralah nama Wiranto seharusnya berkibar.
Editor: Windu Jusuf