Menuju konten utama

Keabadian Napas Religi Bimbo

Bimbo adalah fenomena. Kelompok musik ini hadir di tengah hiruk-pikuk seni musik dan realitas keagamaan yang seri kali begitu ‘berisik’…. Tapi Bimbo hadir dengan bawaanya sendiri: sebentuk musik religius yang sunyi dan tenang, sebuah keheningan yang khusuk dan nyaman. Dan orang-orang, pendengar setianya seolah menemukan diri mereka dalam ruang kesadaran yang tentram.

Keabadian Napas Religi Bimbo
Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf (kiri) bersama personil grup musik Bimbo Jaka Purnama (kedua kiri), Acil Darmawan (ketiga kiri), dan Samsudin (keempat kiri) menyanyikan hits andalan disela-sela mengaji bersama Bimbo di masjid nasional al-akbar Surabaya, Jawa Timur, Jumat (20/5). Kegiatan tersebut dalam rangka menyambut datangnya bulan Ramadan 1437 h. antara foto/m risyal hidayat/ama/16

tirto.id - Paragraf di atas dinukil dari Majalah Ummat terbitan 19 Februari 1996. Pada musik religius, kelompok musik yang ditunggangi Hardjakusumah bersaudara punya ciri dan tempat tersendiri. Sam, Acil, Jaka dan Iin Parlina berhasil mengubah stigma lagu kasidah yang dianggap kampungan menjadi berkelas.

Sebuah musik dengan iringan instrumen musik pop yang dikombinasikan dengan lirik-lirik puitis religius. Hal ini memunculkan penilaian bahwa aksentuasi Bimbo pada justru ada pada lagu-lagu kasidah. Untuk mengetahui awal mula kisah Bimbo berkutat di industri lagu religi, kita bisa merujuk dari buku 30 tahun perjalanan “Sajadah Panjang Bimbo” yang ditulis budayawan Sunda terkenal, Tatang Sumarsono.

Buku tersebut memaparkan bagaimana Bimbo mulai aktif menyanyikan lagu religus sejak tahun 1973. Lagu pertama mereka adalah Tuhan, yang diciptakan Sam di Masjid Salman, ITB. Alkisah, suatu saat Sam sedang Salat Jumat. Tapi begitu berada di dalam masjid, batinnya menangkap suasana berbeda. Di tafakurnya yang semakin dalam ia merasakan ketenangan batin amat sangat. Tiba-tiba inspirasi itu datang dan mendesaknya diwujudkan dalam sebuah karya. Dalam waktu dua menit, lirik sebuah lagu legendaris itu pun lahir.

Tuhan/tempat aku berteduh/di mana aku mengeluh/dengan segala peluh..

Tuhan /Tuhan Yang Maha Esa/tempat aku memuja/dengan segala doa..

Liriknya sederhana. Tapi justru kesederhanaan itu mendapat sambutan luas. Lagu ini abadi karena selalu hadir pada berbagai momentum yang berkaitan dengan hal-hal keagamaan.

Tatang Sumarsono, menuturkan lagu Tuhan yang dibuat Sam amatlah spesial pada zamannya. “Dalam lirik lagu Pop, kata 'Tuhan' mungkin pernah kita dengar. Tapi 'Tuhan' hadir bukan sebagai tema yang mengusung jiwa dari lirik lagu. Ia dimasukkan ke dalam rangkaian kata sebagai pelengkap pengungkapan sebuah seruhan atau rintihan,” ucap Tatang.

“Tuhan terkesan tidak mengandung muatan sakral” kata dia lagi. “Tuhan dalam syair Bimbo tidak demikian. Ia hadir sebagai judul, tema dan jiwa dari sebuah lirik… Bukan sebatas perjalanan karier, tapi begitu luas lagi,” ucapnya.

Sebagai seorang muslim, lagu “Tuhan” yang dibuat Sam memang bersumberkan pada ajaran tauhid. Rangkaian kalimatnya mengandung idiom yang termaktub di Al-Quran. Tapi kenyataannya lagu itu teramat universal. Sam mengakui, lagu Tuhan pernah dijadikan lagu wajib pada lomba menyanyi yang diselenggarakan oleh gereja se-DKI Jakarta.

Mendapat sambutan hangat, Bimbo berpikir membuat lagu-lagu lain bertemakan keagamaan. Acil mengatakan dirinya terilhami saat berkunjung ke Singapura tahun 1971.

Waktu memasuki Natal, di Singapura hampir semua tempat selalu diputar lagu-lagu keagamaan, suasana religi sungguh terasa. Acil, Sam dan Jaka sepakat agar suasana keagamaan itu di bawa ke Indonesia, khususnya saat momentum hari raya umat islam tiba.

Tadinya, kasidah yang hidup di masyarakat kita selalu berasosiasi dengan lagu-lagu berbahasa arab, dengan iringan rebana yang bunyinya datar dan harmonisasinya sulit dikerjakan. Bimbo ingin mengubah kesan lagu kasidah itu.

“Namun dalam soal lirik, kami harus berhati-hati. Sebab secara langsung lagu-lagu kasidah bersinggungan dengan agama yang selalu dianggap peka. Kalau sedikit saja ada kekeliruan, pasti kami habis dicerca,” ucap Sam dalam buku biografi Sajadah Panjang Bimbo.

Lirik untuk kasidah tak hanya mesti indah, tetapi juga khidmat, syahdu dan berwibawa. Bimbo sadar kekurangan ini. Kapasitas mereka dalam menyusun lirik belum sampai taraf itu. Kedekatan dia dengan para sastrawan di Taman Ismail Marzuki, membuat Taufiq Ismail akhirnya turun tangan.

Pada September 1974, sebulan jelang Ramadan, album kasidah pertama Bimbo akhirnya dirilis ke publik. Bimbo-lah yang jadi pioneer memproduksi lagu-lagu religi menjelang Ramadan. Tercatat ada 10 lagu pada album perdana itu; delapan lagu ditulis Taufiq Ismail, dua lagi adalah lagu “Tuhan” buatan Sam dan lagu “Cerita untuk Orang yang Lupa” punya Iwan Abdurrahman.

Siapa sangka, Lagu kasidah Bimbo sempat dipertentangkan kalangan umat islam tertentu. Sebab istilah kasidah sudah dianggap terminologi khusus yang terlalu aneh jika dikombinasikan dengan unsur pop yang Bimbo usung.

Hal tersebut dikhawatirkan dapat menodai kesyahduan segi-segi keagamaan dalam musik kasidah itu sendiri. Perdebatan di antara kalangan ulama muncul. Namun, setelah Buya Hamka yang menjabat ketua MUI menyatakan kasidah tak ada kaitannya dengan agama, perdebatan pun reda sendiri.

Untuk meredakan isu ini, Acil bahkan mesti memberikan pledoi pembelaan di MTQ VIII di Palembang. Dia menegaskan apa yang dilakukan Bimbo dengan melahirkan kasidah berbahasa Indonesia hal itu tidak lain agar pendengar dapat memahaminya dengan mudah. “Sasaran kami lagu-lagu kasidah tersebut bisa populer di kota besar, yaitu masyarakat yang amat mudah dan cepat menerima komunikasi dari luar,” ucap Acil dalam Pledoinya yang dimuat Majalah Variasi No.96

“Tetapi bagi masyarakat kota besar, selain suasana kehidupannya mobile dan sibuk, banyak juga warga yang merasa dirinya super, serba tahu dan intelek. Ini berpengaruh pada kehidupan sehari-hari yang menganggap ibadah adalah urusan belakangan.”

“Mereka berpendapat irama kasidah adalah irama kampungan. Kesan ini harus dihilangkan dengan menyuguhkan lagu yang baik dan disukai mereka,” kata dia.

Penggarapan lagu kasidah tak lepas dari kejemuan Bimbo melihat industri pembajakan musik yang merajalela. Tahun 1983, Bimbo menyetop membikin lagu-lagu pop karena lelah menghadapi pembajakan dan berbagai kecurangan dalam soal bisnis kaset. “Tapi untuk lagu kasidah, kami terus jalan. Soal apakah nantinya dibajak oleh pihak-pihak lain, kami sudah tidak peduli,” kata Acil.

“Dengan membuat lagu kasidah, kami memperoleh nilai lain yang tidak bisa diukur dengan materi,” ucap Acil mantap. “Ada kepuasan tersendiri ketika kami melahirkan lagu-lagu kasidah. Atau mungkin juga semacam panggilan, sehingga kami terus menekuni secara intens. Mudah-mudahan ini menjadi salah satu bentuk ibadah kami,” ucap Sam menimpali.

“Seandainya kami tetap berkutat pada jalur musik pop, khususnya lagu-lagu cinta, mungkin sudah sejak lama Bimbo hilang dari peredaran,” tutur Jaka. “Dengan masuk ke kasidah, seolah-olah kami mendapatkan tantangan baru untuk terus berkreasi. Sebab dengan melahirkan lagu-lagu kasidah kami merasa meraih kepuasan tersendiri. Ya, sebutlah kepuasan batin. Karena itu, kami selalu terpanggil untuk terus menciptakannya,” ucapnya lagi.

Jaka mengakui lagu-lagu kasidah adalah perekat Bimbo hingga bisa bertahan puluhan tahun. Apa sebab, karena lagu kasidah membuat para personelnya harus berhati-hati dalam kehidupan bermasyarakat.

“Kalau di panggung kami nyanyi kasidah, tapi di belakang panggung makan ekstasi itu tidak lucu dong. Orang-orang nanti mencibir, Wah Bimbo munafik. Maunya saja religius, padahal hidupnya kacau. Kalau begitu nanti kami jadi tertawaan orang.”

Lagu religi yang dinyanyikan Bimbo jumlahnya lebih dari 100-an. Lagu-lagu itu terus dibuat dan dinyanyikan ulang oleh banyak penyanyi pada setiap zaman. Mulai dari Chrisye hingga Noah yang baru saja me-remake ulang lagu Sajadah Panjang. Benar kata Sam, lewat lagu kasidah Bimbo kini menjadi abadi.

Baca juga artikel terkait BIMBO atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Musik
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Aqwam Fiazmi Hanifan