tirto.id - “Lelaki Korea Selatan di layar kaca punya sikap baik pada perempuan,” ungkap seorang perempuan usia pertengahan duapuluhan. “Itu membuat saya ingin sekali ke Korea Selatan, bermimpi bertemu lelaki macam begitu.”
Perempuan tadi, bisa siapa saja, bisa di mana saja. Tapi dalam cerita ini, dia adalah Kim Seung-hee, pembelot Korea Utara. Dia mengeluhkan sikap arogan lelaki Korea Utara yang sering memerintah ini-itu pada perempuan. Seung-hee mengaku kecanduan drama Korea setelah menonton Stairway to Heaven dandari sanalah ia menganggap, lebih tepatnya: membayangkan, jika lelaki Korea Selatan jauh lebih hangat memperlakukan perempuan.
Insureksi dari drama Korea itu tak hanya membuatnya keranjingan namun bahkan membuatnya nekat mempertaruhkan nyawa menerobos blokade di perbatasan. Ia sangat ingin bertemu kekasih idamannya di Selatan. Bukan hanya kekasih idaman, tapi juga jenis kencan idaman: di kafe sambil menyesap Americano, berpelukan di bawah guyuran salju, dan mengenakan pakaian necis warna-warni sesukanya, ala drama Korea.
Diplomasi Kultur Pop Drama Korea
Pemerintah Korea Selatan secara resmi mempromosikan opera sabun ini dalam paket Hallyu dan menggunakannya sebagai bentuk soft power. Melalui itulah Korea Selatan membangun imaji sebagai Hollywood-nya Asia. Lewat opera sabun, Korea Selatan mencitrakan dirinya memiliki kehidupan kosmopolitan menyenangkan, hangat, sekaligus sejahtera.
Menurut sarjana kultur pop Sung Sang-yeon, produsen TV Korea Selatan sudah memulai hal itu selama krisis ekonomi Asia pada akhir dekade 1990an. Menawarkan opera sabun yang lebih murah daripada yang dibuat Jepang dan Hong Kong, dengan kualitas yang pelan-pelan terus membaik daripada kebanyakan produksi negara Asia lainnya.
Pemain drama Korea yang biasanya masih muda-muda, dan tumbuh dalam gaya hidup yang sangat modern, memanggungkan berbagai cerita yang dibalut nilai-nilai tradisional keluarga, persahabatan, dan cinta yang romantis. Pada awal 2000an, serial televisi berlanggam Sageuk, yang banyak dilatari cerita-cerita atau karakter-karakter dalam sejarah, folklore, atau berlatar belakang masa silam juga sangat populer.
Kesuksesan imaji K-drama telah menarik wisatawan-wisatawan dari seluruh dunia, khususnya Asia, untuk mengunjungi tempat-tempat yang digambarkan di layar. Bahkan sanggup menarik orang Korea Utara, seperti Kim Seung-hee tadi.
Salah satu alasan mengapa Hallyu bisa mewabah ke berbagai negara, bahkan ke benua yang jauh sekali pun, karena Hallyu tak lagi semata-mata Hallyu.
"Saat ini Hallyu hanyalah istilah lama. Saat ini banyak fenomena sudah tidak lagi sesuai dengan definisi lama tentang Hallyu dan lebih dijelaskan oleh pencampuran budayanya,” demikian pernyataan dari Jang Soo Hyun, profesor Industri Kebudayaan Asia Timur Laut dari Universitas Kwangwoong, Seoul, dalam artikel yang dimuat dalam "Setelah Hallyu: Pengaruh dan Tantangan", seperti dikutip dari kantor berita Antara, Kamis, (10/3/2016).
Pengaruh Hallyu telah melampaui batas-batas negara bahkan benua, seperti yang terlihat dari fakta remaja-remaja di seluruh Amerika Serikat, Eropa, dan Timur Tengah mendengarkan boyband Big Bang atau mengikuti acara tahunan KCON (festival K-POP). Bahkan KCON di Meksiko memperlihatkan pengaruh kultur pop Korea Selatan ini telah merambah hingga kawasan Amerika Latin yang sebenarnya punya tradisi opera sabun yang dikenal sebagai telenovela.
Profesor Lee Sang hoon yang memimpin penerbitan “Setelah Hallyu” berpendapat bahwa alasan utama dari mengglobalnya K-POP adalah keberhasilannya dalam mengidentikkan diri dengan para penikmatnya.
"Jika Hallyu hanya tentang Korea semata, Ia tidak akan sepopuler ini," Lee menekankan. "Melewati batasan. Orang-orang di seluruh dunia dapat menghubungkan apa yang dulunya kita pikir sebagai 'perasaan korea'," tambah professor Jang.
Sensor Korea Utara
Korea Utara tidak bisa lolos sepenuhnya dari pengaruh kultur pop Korea Selatan ini. Sejak awal 2000-an, pengaruhnya telah meluas ke setiap sudut negeri beribukota Pyongyang ini. Menjangkau masyarakat pedesaan terpencil dan menyelusup pikiran warga senior. Sebagai contoh, drama Smile Dong-hae (KBS) dan Midas (SBS), telah membuat banyak anak muda Korea Utara keranjingan. Tertarik memakai celana jeans ketat dan sepatu hak tinggi, meski untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pun masih sulit.
Sebenarnya, Korea Utara punya sinetronnya sendiri. Namun besar kemungkinan tontonan dalam negeri ini penuh dengan propaganda negara sehingga dianggap menjemukan dan tak seasyik menonton drama Korea Selatan yang gemerlap.
Inilah yang membuat aktivitas menonton drama yang berasal dari jiran di Selatan menjadi dosa besar di Korea Utara. Kim Jong Un memfatwakannya sebagai “unsur beracun dari kapitalisme”, dan menghadiahi hukum mati bagi yang menonton racun tadi.
Pada September 2015, tiga orang dari Provinsi Yanggang dilaporkan dieksekusi mati karena menonton drama Korea. Mereka dilaporkan menyimpan berkas digital drama Korea dalam memory card dan kemudian diputar melalui telepon seluler.
Kabar ini menguatkan sinyalemen bahwa penduduk Korea Utara banyak yang mengakses siaran TV maupun radio luar negeri secara ilegal, maupun menonton produk-produk hiburan populer melalui pemutar DVD murah bikinan Cina. Sejumlah pembelot dan pengungsi Korea Utara yang diwawancarai pada 2010 mengakui bahwa mereka menonton DVD secara ilegal di negaranya.
Seperti barang lainnya, K-drama bisa masuk Korea Utara, pertama kali lewat Cina. Di Yanji, Dandong dan Shenyang, kota-kota yang banyak dihuni orang Korea, warung internet memiliki TV satelit. Banyak anak muda Cina-Korea pergi ke sana untuk menontonnya. Rekaman ilegal dari TV Korea Selatan kemudian dibuat menjadi CD dan DVD, yang dijual ke penyelundup Korea Utara.
Pada awal 2000-an, mengulik antena TV agar bisa mendapat akses ke stasiun TV Cina-Korea atau menggunakan pemutar DVD buatan Cina adalah satu-satunya cara untuk menonton program televisi Korea Selatan. Namun, pada 2005 pemutar DVD menjadi legal, dan komputer mulai digunakan untuk menonton.
Menyadari bahaya ini, Kim Jong-il, pemimpin Korea Utara yang meninggal pada 2011 lalu, membentuk tim khusus yang diizinkan menerobos ke rumah-rumah, memutus listrik sebelum menyergap masuk untuk mencegah "tersangka" mengeluarkan cakram dari pemutar DVD. Tapi para pembelot mengaku bahwa penyelundup telah bekerja keras untuk mengecoh petugas dengan mengimpor pemutar DVD bertenaga baterai juga lewat flash drive yang lebih mudah disembunyikan.
Situs berita yang berbasis di Seoul, Daily NK, yang dijalankan oleh para pembelot Korea Utara dan memiliki jaringan informan luas, mewawancarai beberapa warga di area perbatasan. Salah satunya Kim Eun-hye, seorang wanita paruh baya yang tinggal di Pyongsung. Ia mengaku telah menonton drama Korea Selatan selama sepuluh tahun.
“Saya suka Hyun Bin dan Kwon Sang Woo,” ungkap Eun-hye. Mengacu pada dua aktor kenamaan Korea Selatan. “Saya telah menyaksikan drama mereka sampai sekitar 10 kali,” ucapnya bangga.
Kaset video, keping CD dan DVD, serta perangkat murahan buatan Cina untuk memutarnya, dengan cepat menjadi barang paling laku di pasar gelap. Seperti kokain, jual beli drama Korea bajakan seringnya hanya sebatas kepentingan bisnis. Namun banyak pembelot dan grup pro-demokrasi ikut membantu menyebarluaskan barang haram ini.
Mungkinkah Akan Ada Perlawanan Massif?
Ketika ditanya kans perlawanan warga Korea Utara, Slavoj Zizek menjawab dengan pesimis. Menurutnya, pemberontakan tidak terjadi ketika keadaan berada di titik paling putus asa. Pemberontakan terjadi ketika hal-hal menjadi sedikit lebih longgar. Karena ada nasihat buat para diktator: Jangan ada kompromi! Jadilah brutal! Saat kalian mulai membuat kompromi, orang akan menuntut lebih dan lebih. Dalam hal ini, Bung Besar Korea Utara melaksanakan kediktaktorannya dengan amanah.
Tapi secercah harapan itu ada pada drama Korea. Kang Dong-wan dari Korea Institute for National Unification berkomentar, “Berkat menonton drama Korea Selatan, warga Korea Utara belajar kebohongan pemerintahnya sekaligus timbul keinginan untuk hidup dalam masyarakat yang lebih maju seperti di Selatan.”
Dong-wan menulis buku The Korean Wave Shakes North Korea yang disusun berdasarkan wawancara mendalam dengan 33 pembelot dari sembilan provinsi di Korea Utara. Hasil penelitian menekankan bahwa pembicaraan tentang gelombang Korea ini bukan sesuatu yang dibesar-besarkan. Ternyata 50 persen dari pembelot menikmati media visual Korea Selatan lebih dari sekali seminggu sebelum mereka melarikan diri ke Selatan.
Warga Korea Utara mengagumi Korea Selatan berkat imaji kehidupan yang dicitrakan. Menurut Dong-wan, pembelot yang telah menonton drama Korea datang dengan mimpi bahwa mereka akan menjadi kaya di sini. Tapi yang lebih penting adalah bahwa akses terhadap dunia luar tersebut memicu orang-orang Korea Utara agar bisa memikirkan ulang sebuah masyarakat yang terbuka seperti di Korea Selatan.
“Saya yakin opera sabun punya dampak bagi warga Korea Utara,” kata Jang Se-yul, professor Matematika yang berhasil menyebrang ke Selatan. “Saya buktinya,” tegasnya.
Penulis: Arif Abdurahman
Editor: Zen RS