Menuju konten utama

Menkop Usul Produk Asing yang Dijual Online Minimal Rp1,5 Juta

Menkop-UKM, Teten Masduki mengusulkan barang asing yang masuk secara online ke Indonesia ditetapkan batasan harga tidak boleh di bawah Rp1,5 juta.

Menkop Usul Produk Asing yang Dijual Online Minimal Rp1,5 Juta
Ilustrasi perempuan belanja online. iStockphoto/Getty Images

tirto.id - Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop-UKM) mengusulkan adanya batasan harga produk dari luar negeri (cross border) yang dijual secara online. Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan, barang asing yang masuk secara online ke Indonesia alias cross border nantinya akan ditetapkan batasan harga. Besaran batasan harganya tidak boleh di bawah 100 dolar AS atau Rp1,5 juta (kurs Rp15.000/ dolar AS).

"Produk yang boleh masuk ke dalam negeri itu yang nilainya 100 dolar AS. Boleh apa aja, sehingga UMKM bisa terlindungi," katanya di Kantor Kemenkop UKM, Jakarta Selatan, dikutip Jumat (14/7/2023).

Teten menuturkan produk cross border sendiri merupakan produk asing hasil perdagangan lintas negara melalui e-commerce dalam negeri. Lebih lanjut, Presiden Joko Widodo memerintahkan agar produk-produk yang sudah mampu diproduksi dalam negeri tidak perlu lagi diimpor.

Terkait arahan tersebut, Teten pun mengusulkan agar ritel online tidak lagi menjual produk luar negeri secara cross border atau dikirimkan secara langsung dari luar negeri. Dia menyarankan agar produk luar negeri untuk mengikuti mekanisme penjualan secara impor ke Indonesia.

"Kalau mereka mau jual produknya, buka, kirim dulu barangnya lewat mekanisme impor biasa ke sini. Baru sudah di sini, mereka urus izin edarnya, mereka urus SNI-nya, mereka urus pajaknya, dan jualan di online silahkan tapi jangan langsung dari sana. Apa susahnya sih kan?" terangnya.

Lebih lanjut, dia pun meminta agar Kementerian Perdagangan segera menyelesaikan proses revisi Peraturan Kementerian Perdagangan (Permendag) No.50 Tahun 2020 tentang Perizinan Usaha, periklanan, pembinaan dan Pengawasan Pelaku usaha dalam Perdagangan Melalui Elektronik (PPMSE). Langkah tersebut dilakukan agar bisnis UMKM tidak terganggu dengan hadirnya Project S Tiktok Shop.

Teten menilai Tiktok saat ini didefinisikan sebagai socio-commerce bukan hanya sebagai media sosial. Dia menjelaskan social commerce ini jauh lebih berbahaya ketimbang e-commerce karena akan lebih mudah mempengaruhi konsumen untuk membeli produk mengikuti algoritma.

"Seperti di Inggris tadi, 67 persen algoritma Tiktok bisa mengubah orang yang tadinya nggak mau beli, jadi beli. Apalagi kalau diarahkan ke produk yang mereka bawa sendiri. Ini kan juga harus jelas aturannya di Permendag ini supaya e-commerce itu hanya penyedia lapak, bukan bawa brand sendiri," kata Teten.

Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menuturkan, Tiktok seharusnya tetap mematuhi aturan perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik (PMSE) Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag). Sebab, ketika Tiktok shop tersebut diatur, maka platform jual beli online tersebut dapat setara dengan platform e commerce lainnya

Tiktok shop diharuskan juga membuka diri terkait dengan pengawasan barang-barang yang ilegal hingga, penerapan berbagai kebijakan untuk perlindungan konsumen maupun perlindungan kepada UMKM.

"Harapannya social commerce itu tetap mematuhi aturan PMSE di Permendag, sama saja dengan e commerce lainnya. Dia harus terbuka terhadap pengawasan barang-barang yang ilegal, barang-barang yang kemudian palsu, kemudian juga menerapkan berbagai kebijakan untuk perlindungan konsumen maupun perlindungan kepada UMKM atau merchant skala kecil," ucap Bhima kepada Tirto, Jakarta, Kamis (13/7/2023).

Baca juga artikel terkait PROJECT S TIKTOK SHOP atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin