tirto.id - Indonesia adalah negara paling dermawan dari 146 negara. Begitu isi laporan World Giving Index 2018 pada bulan Oktober lalu dari Charities Aid Foundation (CAF).
Australia dan New Zealand dalam hal ini berada di posisi kedua dan ketiga. Sementara itu, peringkat empat berikut lima diduduki oleh Amerika Serikat serta Irlandia.
CAF mengadakan survei terhadap 150.000 responden untuk mengetahui indeks kedermawanan orang di banyak negara tahun 2017. Analisis terhadap data yang diperoleh tadi kemudian disajikan dalam laporan World Giving Index 2018. Ada tiga poin yang menjadi penilaian CAF, yakni menolong orang asing yang membutuhkan bantuan, berdonasi untuk amal, dan menjadi sukarelawan.
Indonesia memperoleh skor tinggi dalam hal proporsi orang yang berdonasi untuk amal (78%) dan menjadi sukarelawan (53%) tahun 2017. Tingkat partisipasi perempuan Indonesia di bidang volunterisme, menurut CAF, juga paling tinggi dibandingkan negara lain sebab mencapai 48%. Tapi, angka ini masih jauh di bawah laki-laki yang menjadi sukarelawan di Indonesia.
CAF mengatakan bahwa indeks Indonesia tak berbeda dengan yang ditemukan dalam laporan sebelumnya. Naiknya posisi Indonesia tahun ini disebabkan oleh lengsernya Myanmar yang berturut-turut ada di peringkat pertama sejak tahun 2014. CAF menjelaskan indeks negara tersebut tahun 2017 terjun bebas ke nomor sembilan dikarenakan konflik Rohingya yang tak kunjung selesai hingga sekarang.
"Setelah krisis Rohingya mencapai puncaknya pada 2017 lalu, sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa masalah negara tersebut turut berkontribusi pada menurunnya keinginan dan kemampuan warga Myanmar untuk memberi," tulis CAF.
Menjadi Sukarelawan
Volunteering atau menjadi sukarelawan merujuk pada aktivitas apa pun yang dilakukan secara bebas serta bertujuan untuk memberikan manfaat bagi orang, grup, atau organisasi. Kegiatan ini merupakan bagian dari kelompok perilaku membantu yang melibatkan banyak komitmen daripada bantuan spontan. Tapi, jangkauan tanggung jawab tersebut lebih sempit dibandingkan perawatan yang diberikan pada keluarga dan teman.
Perkara komitmen yang dibutuhkan ketika menjadi sukarelawan dirasakan betul oleh Sari saat ia berkegiatan di Komunitas Cemara. “Karena jadi volunteer kan enggak ada kontrak formal. Komitmen ke warga dan teman di komunitas bisa jadi alarm kalau tiba-tiba semangat lagi turun,” katanya.
Sari menceritakan kepada Tirto bahwa ia bergabung dengan komunitas yang bergerak di bidang pendidikan di Kali Code, Yogyakarta itu sejak tahun 2010 hingga 2014. “Saya mempelajari pemberdayaan masyarakat di perkuliahan. Saya merasa harus juga terjun langsung. Tidak sekedar menelan teori tapi juga berusaha mengkaji langsung di lapangan,” ungkapnya.
Empat tahun aktif komunitas, Sari mengaku merasa senang. Ia dapat mengasah kemampuan mengorganisasi warga juga bisa menjalin pertemanan baru. Menurut Sari berkomunikasi dengan masyarakat membutuhkan keahlian agar pesan yang dimaksud tersampaikan. Selain itu, ia pun belajar mengendalikan diri untuk tak memberikan semua yang warga minta karena dapat menimbulkan ketergantungan.
Apa yang dirasakan Sari juga dialami oleh Cici. Kepada Tirto, ia menceritakan bahwa dirinya sempat bergabung dengan Energy Troops, komunitas bentukan WWF yang rajin berkampanye tentang penghematan penggunaan energi di daerah urban. Ia aktif sebagai sukarelawan di bidang media dan acara sejak tahun 2003 hingga 2006.
Cici mengatakan keterlibatannya di Energy Troops membuatnya bertemu dengan banyak orang. “Saya sampai SMA bersekolah di Kalimantan, dan kuliah di Yogyakarta, jadi di Jakarta belum punya banyak teman. Saya merasakan manfaatnya seperti mendapat teman-teman baru dari berbagai kalangan,” katanya.
Di samping memperoleh kawan, Cici mengaku bahwa dirinya mendapat pelajaran bagaimana bekerja dalam sebuah tim. “Ketika kami membuat acara untuk kampanye, pasti selalu ada pembagian tugas. Di sini jadi belajar dari senior yang berpengalaman. Saya belajar bagaimana bekerja menyiapkan undangan dan siaran pers media juga berkomunikasi dengan para pendukung pengisi acara,” terangnya.
Menurut riset Focus Group Discussion (FGD) oleh Volunteer Ireland (PDF) tahun 2017, volunteering memang bisa mendatangkan berbagai macam manfaat. Beberapa keuntungan yang diperoleh bagi mereka yang menjadi sukarelawan adalah merasa senang dan berguna serta mempunyai tujuan. Selain itu, para volunteer juga menjadi percaya diri, dapat bertemu orang baru, bisa mengembangkan kemampuan diri, juga merasa terhubung dengan masyarakat dan komunitas atau organisasi yang ia ikuti.
Temuan lewat aktivitas FGD di atas pun sesuai dengan hasil survei yang dilakukan oleh lembaga serupa tahun 2017. Dari 1.797 responden, sebanyak 59 persen mengatakan bahwa menjadi sukarelawan memperluas lingkaran pertemanan mereka. Di samping itu, ada 66 persen orang yang melaporkan volunteering membuat rasa memiliki terhadap komunitas menjadi meningkat.
Lebih lanjut, 55 persen responden menyatakan mereka merasakan peningkatan kesehatan mental dan kesejahteraan diri akibat menjadi sukarelawan. Dalam diskusi yang berlangsung saat FGD diketahui bahwa perasaan senang serta mempunyai tujuan, kesadaran diri ketika memutuskan menjadi sukarelawan, pengalaman berkontribusi dan terlibat, berikut kesempatan melihat perubahan menjadi faktor yang mendongkrak dua hal di atas.
Bagi seseorang yang menjadi sukarelawan di umur 50 tahun ke atas, volunteering mendatangkan manfaat besar. Badan pemerintah federal Amerika Serikat Corporation for National and Community Service menjelaskan bahwa kerja volunterisme bisa menurunkan tingkat depresi sukarelawan berumur 65 tahun ke atas.
Penelitian yang dilakukan Sheldon Cohen dan R.S. Sneed pun menyebutkan orang berumur 50 tahun yang rutin menjadi sukarelawan kecil kemungkinan mengalami tekanan darah tinggi.
Editor: Maulida Sri Handayani