tirto.id - Pembukaan Asian Games pada Sabtu malam pekan lalu, 18 Agustus, jadi buah bibir. Wishnutama, direktur kreatif acara itu, berlimpah pujian, tentu bersama enam kompanyon kreatif lainnya: Denny Malik dan Eko Supriyanto (koreografer), Dynand Fariz dan Rinaldy Yunardi (perancang busana), serta Ronald Steven dan Addie MS (direktur musik).
Bos PT. Net Mediatama Indonesia itu mendapatkan lampu sorotan. Salah satu kreasinya yang paling ramai diperbincangkan adalah video pembuka: aksi Presiden Joko Widodo yang digambarkan mengendarai motor gede alias moge Yamaha FZ1 memasuki Gelora Bung Karno.
Dalam video berdurasi 5 menit itu, Jokowi turun dari mobil RI-1 karena terjebak macet. Lalu ia menunggangi moge Paspampres dan melakukan sejumlah atraksi ala film laga: terbang melewati truk towing, mengebut di jalanan sempit, melakukan stoppie saat hampir menabrak bajaj, sampai akhirnya memasuki GBK dan sempat berkeliling di tanjakan sebelum naik lift dan muncul di tribun utama.
Malam itu stadion utama GBK semarak tatkala menonton aksi pembukaan sang presiden. Namun, tak dinyana, orang-orang sumbu pendek merasa perlu presiden menjelaskan bahwa adegan-adegan tersebut dilakukan oleh pemeran pengganti alias stuntman.
Di luar sederetan tanggapan miring soal aksi stuntman, Jokowi berhasil membetot perhatian publik dengan aksinya di atas moge.
Riset Jakpat tentang pembukaan Asian Games, yang dirilis sehari kemudian, menyebut 43,2 persen dari 1.277 responden memberi nilai "10” dari skala 1–10. Sebanyak 50,5 persen responden menilai video pembukaan Presiden Jokowi adalah "hal paling dikenang", diikuti 48,9 persen responden yang terkesan atas desain panggung acara tersebut. Orang-orang kagum pada panggung berbentuk gunung api di tengah lapangan stadion utama GBK.
Malam itu tim kreatif dan Inasgoc bisa agak tidur nyenyak. Persiapan dua tahun yang relatif singkat merakit acara sebesar Asian Games sudah lunas separuh. Mereka tinggal memikirkan seremoni penutupan, sementara presiden tinggal memantau pertandingan yang akan berjalan dua minggu ke depan.
Namun, di antara orang-orang yang mendapatkan lampu sorot, kesuksesan Asian Games juga digerakkan oleh orang-orang biasa, para relawan yang bekerja satu barisan menjelang dan sesudah pesta olahraga Asia empat tahunan ini.
Ada Nur, pria berumur 40-an tahun, yang turut jadi bagian pagelaran Asian Games. Meski tak naik moge atau mengoordinasikan lebih dari 7 ribu pengisi acara, perannya juga penting. Saat penonton berbondong-bondong pulang, dan para pejabat sampai ke peraduan masing-masing, Nur dan rekan-rekan relawan kebersihan mulai bekerja.
Pada 18 Agustus, panitia baru menetralkan kawasan GBK pada pukul 10 malam. Nur dan rekan-rekannya belum diberi izin masuk karena menunggu seremoni pembukaan selesai. Saat itu tumpukan sampah sudah menumpuk. Para relawan berompi hijau-tua ini membersihkan sampah-sampah itu dan mengangkutnya ke mobil bak sampah. Namun, sejak 19 Agustus, para petugas kebersihan sudah dibagi jadi dua shift.
Sejak pagi, sebagian dari mereka termasuk Nur mengawasi sampah-sampah yang tercecer dari perilaku para penonton Asian Games.
“Pokoknya jangan sampai GBK kelihatan kotorlah," ujar Nur. "Instruksinya gitu."
Namun, meski ada instruksi tentang pembagian shift, Nur mengaku jam istirahatnya tak jelas. Ia kadang baru duduk-duduk istirahat lima menit ketika instruksi membersihkan area berikutnya datang. “Apalagi kalau penonton lagi banyak-banyaknya,” cerita Nur.
Ia juga tak tahu jumlah honor yang akan ia terima. Setahu Nur, “mungkin ada, tapi belum jelas berapa. Mungkin itu kenapa namanya relawan.”
Sejauh ini ia dan teman-temannya cuma dapat jatah makan dari Inasgoc.
Cerita nyaris sama saya dapatkan dari Zaitul Ikhwan, salah seorang sopir Transjakarta yang dipakai di kawasan GBK.
Bekerja sama dengan pemerintah provinsi DKI Jakarta, Transjakarta memang menyumbang 350 unit bus untuk dipakai atlet dan ofisial, ujar Wibowo, Kepala Humas PT Transjakarta. Dengan itu, mereka mengutus para sopir yang biasa di jalan sebagai satu paket.
Zaitul sudah terlibat sejak 14 Agustus dan dikontrak sampai 5 September untuk Asian Games. Seperti Nur, ia juga membicarakan jam kerja yang tak jelas.
“Kami seperti peluru. Disuruh diam ya diam, tapi disuruh ke sana-kemari ya langsung jalan,” ujar Zaitul.
Selasa siang, 21 Agustus, saya bersama Zaitul berkeliling dengan bus Asian Games. Ia bercerita harus bangun pagi buta dan pulang dinihari jika benar-benar ingin mengikut jadwal padat Asian Games.
“Kalau mau diturut, ya mesti bangun jam 3 pagi harusnya. Tapi, apa bisa gitu kalau malamnya baru pulang jam 12?” tanya pria perantau asal Padang ini retorik.
Selama jadi sopir bus Asian Games, Zaitul harus bangun pagi dan berangkat pukul 6 untuk mengambil mobil yang diparkir di Kebayoran. Seharian itu ia cuma memutari rute GBK, mengangkut para penonton. Sempat juga ia bolak-balik wisma atlet sehingga baru pulang pukul 12 malam.
Zaitul berkata tak tahu kejelasan soal honor. “Dengar-dengar sih ada. Tapi, enggak ada bos yang bisa pastikan, jadi enggak tahu juga."
Saat saya konfirmasi ke PT Transjakarta, Wibowo berkata honor mereka normal. Artinya, tak ada bonus khusus Asian Games atau honor tambahan dan sebagainya.
Zaitul cuma diberi jatah makan gratis dari Inasgoc. Tapi itu juga bermasalah karena jam istirahat tak tentu. Ia harus keliling 4 sampai 5 putaran, baru boleh mengambil jatah istirahat di Parkiran Timur GBK. Kadang bisa lebih pada saat ramai pengunjung, misalnya ketika memasuki pertandingan besar atau waktu selesai.
“Jadi bisa aja jam makan itu masih jalan ke mana. Teman saya tadi ada yang di Ancol pas jam makan siang. Pas balik di sini juga udah enggak tahu mau cari makan ke mana,” ceritanya.
Kisah Sopir di Palembang
Hampir 16 jam Poniman mengendarai bus tanpa henti. Panas Kota Palembang pada Kamis siang, 23 Agustus, bisa mencapai 33 derajat celsius. Poniman selalu menyediakan handuk untuk untuk menyeka keringat.
“Pak berhenti, Pak. Berhenti. Saya mau turun,” kata beberapa penumpang di barisan bangku belakang dengan tidak sabar.
Bus memang penuh sesak hampir setiap hari. Poniman justru merasa senang bila bus sesak. Artinya, pekerjaan dia akan sedikit lebih mudah karena bisa ada waktu istirahat. “Kalau kosong yang paling capek. Kan tetap kami disuruh muter tapi kosong."
Ketika penumpang berteriak, ia hanya diam saja. Terlalu lelah untuk marah, apalagi sudah tuntutan pekerjaan.
Sedari jam 6 pagi hingga 10 malam ia menjalani rutinitas yang sama. Rutenya: setiap 15 menit ia harus memutari Jakabaring Sport City hingga waktu kerja usai.
Poniman adalah salah satu sopir yang dipakai Antavaya, salah satu vendor yang dikontrak Inasgoc Palembang. Mulyadi, rekan Poniman, bercerita tentang penghasilan untuk acara ini tak menentu.
Berdasarkan cara kerja vendor, pembayaran baru dilakukan pada akhir bulan. Mulyadi cuma mendengar bahwa uang bonus lebih kecil ketimbang sopir yang bekerja di Jakarta, yang bisa mencapai antara Rp 100 ribu per hari atau Rp 200 ribu jika tak dibagi dengan kenek. Di Palembang, mereka cuma dapat sekitar Rp 60 ribu per hari. (Berdasarkan cerita di atas, sopir Transjakarta yang dipakai untuk Asian Games tak mendapatkan bonus khusus.)
Namun, saat saya konfirmasi, Sekjen Inasgoc Eris Herryanto berkata tak tahu soal bonus bagi pekerja di bawah vendor. Di luar volunter yang diurus Inasgoc, ia berkata, “adalah tanggung jawab perusahaan masing-masing.”
“Kami enggak taulah itu vendor urusan sama Inasgoc gimana, tapi dulu janjinya ada makan tiga kali sehari, penginapan, dan uang tip itu sama,” keluh Mulyadi.
Mulyadi dan rekannya bekerja di Palembang sejak 13 Agustus dan akan menetap hingga selesai, sekitar tanggal 2 September. Pada saat tiba, mereka mengeluh tidak ada tempat untuk istirahat.
“Ini berbeda dari yang dijanjikan. Kami mau dapat tempat selonjoran aja butuh perjuangan,” ucapnya.
Sampai sekitar tanggal 17 Agustus, mereka selalu tidur di bus yang mereka bersihkan setiap hari. Mulyadi berkata kebiasaan tidur di bus memang sudah lazim bagi sopir, tapi bila terus begitu selama tiga minggu tentu bikin sakit.
“Baru setelah kami protes, kami dapat tempat kost,” katanya.
Mulyadi berkata lebih suka dengan pekerjaan sehari-hari sebagai sopir untuk bus pariwisata. Meski bisa jadi pendapatannya lebih sedikit, tetapi beban fisik dan mental lebih ringan.
"Kami di pariwisata itu ada jeda istirahat 2-3 jam. Di sini enggak bisa. Kami jalan terus. Apalagi kami jauh dari rumah, mau nikmatin acara ini saja juga enggak bisa." Untungnya, usai seharian menyopir, esoknya mereka mendapatkan jatah istirahat, digantikan sopir lain.
Mulyadi pernah mengantar penonton di dalam kompleks Jakabaring selama tiga hari berturut-turut. Rasanya? “Macam saya nyetir langsung ke Bandung naik bus ini. Sekali-dua kali mah OK. Tiga kali, enggak mau saya. Taubat!"
Itu juga yang dirasakan Zaitul. Ketika saya tanya, mana yang lebih dipilihnya: mengemudi Transjakarta sehari-hari atau jadi sopir di Asian Games? Zaitul menjawab gamblang menjadi sopir sehari-hari di jalan Jakarta.
“Memang ada kelebihan-kekurangannya. Tapi lebih enak sehari-hari sajalah. Lebih ringan jam kerjanya,” katanya.
Lalu, apakah Anda tidak bangga jadi bagian acara sekaliber Asian Games?
Zaitul tertawa kecil sebelum menjawab pertanyaan saya: “Kalau itu sih saya no comment. Orang kecil macam saya mikirin makan aja susah. Mana sampai ke sana-sana mikirnya.”
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam