tirto.id - Asian Games 2018 memengaruhi citra politik Jokowi untuk dipilih kembali tahun depan. Demi citra politik nasional dan dunia itu, darah ditumpahkan di jalan dengan membunuh individu-individu yang diduga penjahat dan teroris.
DKI Jakarta, jantung politik dan bisnis negara kepulauan ini, menjadi sarang tindak kejahatan tertinggi. Biro Pengendalian Operasi Mabes Polri 2017 mencatat ada 43.842 tindak kejahatan di wilayah Polda Metro Jaya. Jumlah ini menempatkan DKI Jakarta bertengger di rangking pertama dari 31 provinsi lain.
Pada tahun sebelumnya, wilayah Polda Metro Jaya juga menempati posisi tertinggi dengan 43.842 kejahatan, 44.461 kejahatan (2015), dan 44.298 kejahatan (2014). Dalam rentang tiga tahun itu rata-rata kejahatan terjadi setiap 11 menit sekali.
Data tersebut meliputi 13 wilayah Polda Metro Jaya dari Polres Jakarta Selatan hingga areal Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Di wilayah ini, pada 2016, ada 743 pencurian dengan kekerasan, 53 pencurian dengan senjata api, 188 pencurian dengan senjata tajam, 2.941 pencurian dengan kendaraan bermotor, dan 210 kasus pencabulan.
Terutama pada 2008, 2011, dan 2014, DKI Jakarta menjadi kota megapolitan dengan persentase penyalahgunaan dan peredaran narkoba paling tinggi; masing-masing 33,7 persen, 22,7 persen, dan 47,2 persen.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengistilahkan "tindak pidana jalanan" itu sebagai "kejahatan konvensional". Ia menegaskan kejahatan itu mengandung "daya rusak kedua setelah terorisme" bagi Asian Games 2018.
"Kami pahamlah kelompok jambret, begal, dan copet itu sudah terpetakan. Sekarang ditekan selama satu bulan ini dan itu akan terus, dan ada 15 orang kelompok begal sudah ditembak mati," kata Tito menjawab pertanyaan reporter Tirto di Polda Metro Jaya, akhir Juli 2018.
"Kalau melawan jangan ragu-ragu, selesaikan [tembak di tempat],” lanjut mantan Kapolda Papua itu.
Di area Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi saja setidaknya ada seribu personel polisi, terdiri 16 tim, yang dikerahkan untuk memberangus kejahatan biasa. Dari 14 fokus daerah rawan, dalam rentang sembilan hari sejak 3 Juli hingga 12 Juli 2018, Polda Metro Jaya telah menangkap 1.872 orang. Dari jumlah itu, 320 di antaranya ditahan dan 1.552 lain "dibina."
Kasus tertinggi tindak penahanan, secara berturut-turut, adalah 183 kasus pencurian dengan pemberatan, 84 pencurian kendaraan bermotor, dan 45 pencurian dengan kekerasan. Adapun kasus tertinggi dengan langkah "pembinaan" adalah penangkapan 928 preman, 302 Pak Ogah, 177 parkir liar, dan 77 pengamen.
Dalam operasi menjelang pembukaan Asian Games ke-18 itu ada 52 penangkapan disertai penembakan. Akibatnya, 41 orang terluka di bagian kaki dan 11 orang tewas.
Mantan Kanit Jatanras Reserse Polres Metro Jakarta Pusat ini (ralat: sebelumnya ditulis Kabareskrim) menjelaskan bahwa pengamanan Asian Games "diperluas" dengan melibatkan empat Polda; masing-masing yang menjadi rekanan kota tuan rumah: Jawa Barat, Banten, dan Sumatera Selatan.
"Ribuan orang sudah ditangkap, ratusan ditahan. Ini akan terus kami lanjutkan,” ujar Tito Karnavian.
“Selama satu bulan terakhir [dalam] Operasi Cipta Kondisi, semua jaringan copet-jambret, saya perintahkan untuk dihabisi, didukung panglima dan kodam,” tambahnya.
'Zona Merah' Teroris
Indonesia adalah negara dengan kondisi geopolitik yang labil dan jadi panggung aksi-aksi terorisme. Sepanjang 2016 terdapat ledakan bom di empat tempat; pada 2017 ada ledakan bom di satu tempat; dan 2018 terjadi bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya, paling besar selama 10 tahun terakhir. Jumlah ini belum termasuk tindakan teroris tanpa menggunakan bahan peledak.
Persabungan Asian Games 2018 berpotensi menarik para teroris unjuk diri. Mereka akan menganggap perlagaan itu sebagai panggung global yang empuk untuk industri ketakutan.
Sejauh ini ada 399 individu dan 86 entitas organisasi yang masuk dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris oleh Mabes Polri. Data tersebut ditandatangani Kepala Densus 88 Anti Teror Irjen Pol Muhamad Syafii pada 9 Maret 2018 dan telah mendapat penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian menegaskan kepolisian Indonesia telah melakukan serangkaian operasi untuk meminimalisir tindak terorisme menjelang Asian Games 2018. Menurutnya, usai rentetan teror di Surabaya dari 13 hingga 16 Mei 2018, pihaknya telah menangkap 242 orang terduga teroris.
“(Sebanyak) 21 di antaranya terpaksa ditembak karena melawan ketika ditangkap dengan barang buktinya. Ini operasi akan terus berlanjut,” kata mantan kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme tersebut.
Karnavian menjelaskan, untuk pengamanan Asian Games XVIII, negara mengerahkan sekitar 40 ribu personel polisi. Mereka ditempatkan di Jawa Barat, Banten, Jakarta, dan Sumatera Selatan. Di luar itu masih ada sekitar 10 ribu personel Polri yang disiagakan.
“Panglima [Tentara Nasional Indonesia] juga sudah menyiapkan. Kalau ada apa-apa, kami bisa atasi,” ujarnya.
TNI dan Polri juga berencana mendirikan pos pengamanan, dari tempat wisata hingga pusat perbelanjaan. Nantinya, pos-pos ini akan menginduk pada pos pusat komando di tingkat provinsi. Ujungnya, semuanya menginduk pada pos komando gabungan yang terdiri dari Polri, TNI, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan SAR, hingga petugas pemadam kebakaran.
Karnavian berkata "beruntung" bahwa revisi undang-undang terorisme telah disahkan DPR pada 25 Mei 2018. Perubahan hukum ini mengatur TNI bisa dilibatkan mengatasi aksi terorisme dalam operasi militer selain perang.
“Yang kami anggap rawan, kami tangkap. Dengan UU teroris yang baru, memberikan peluang kami [untuk] mudah melakukan penangkapan dan masa penahanan lebih lama,” terangnya.
Namun, aturan pelibatan TNI itu harus memerlukan peraturan presiden. Hingga kini belum jelas apakah Presiden Jokowi sudah menerbitkannya.
Direktur Komunikasi dan Informasi Badan Intelijen Negara Wawan Purwanto mengakui ada kemungkinan tindakan teroris saat Asian Games 2018. Sebab, yang dicari oleh kelompok itu adalah "momentum" untuk mencari perhatian internasional dan menyuntikkan citra negatif negara.
“Sampai saat ini segala upaya sudah dimaksimalkan dan sudah diantisipasi sehingga daerah yang merah supaya menjadi minimal dan syukur menjadi hijau,” kata Purwanto kepada reporter Tirto pada awal Agustus 2018.
Upaya meminimalisir tindakan terorisme itu dilakukan dengan mempersempit ruang gerak tindakan kejahatan. Kamera CCTV disebar untuk membaca gerak-gerik sejak dini. Selain itu, dipasang detektor logam dan pos pengamanan di banyak titik.
“Ada sniper-sniper yang ready untuk reaksi cepat,” tambahnya.
Melegalkan Pembunuhan Sewenang-wenang
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) memprotes tindakan Polri yang melanggengkan extrajudicial killing atau pembunuhan di luar putusan pengadilan. Sesuai Peraturan Kapolri tahun 2009, sebelum menembak terduga penjahat, aparat polisi wajib mencegah secara lisan, menggunakan senjata tumpul, senjata kimia seperti gas air mata atau semprotan cabai.
Tembakan senjata api baru dipakai sebagai alternatif terakhir. Namun, tetap harus dilakukan untuk melumpuhkan, bukan membunuh.
Ombudsman Indonesia juga tengah melakukan investigasi apakah kebijakan extrajudicial killing ini melanggar undang-undang hak asasi manusia, ketentuan hukum internasional, serta hak atas pengadilan yang imparsial dan berimbang. Komisioner Ombudsman Adrianus Meliala berkata "kecewa" sebab Polda Metro Jaya enggan terbuka atas serangkaian kasus itu.
Human Rights Watch mengingatkan dalam aturan Olympic Council of Asia (OCA), badan pengawas Asian Games 2018, memiliki rambu-rambu aturan yang mengikat. Salah satu di antaranya penghormatan atas martabat manusia sebagai nilai yang harus dijunjung tinggi oleh gerakan olimpiade di semua federasi olahraga.
"Asian Games dimaksudkan untuk merayakan prestasi manusia, tidak untuk dijadikan alasan polisi memutuskan kebijakan 'tembak di tempat' untuk mengontrol tindak kriminal," tulis Phelim Kine, wakil direktur Human Rights Watch divisi Asia, pada Juli lalu.
Sementara mantan Kepala Badan Intelijen Strategis TNI Laksamana Muda (Purn) Soleman B. Ponto memprotes tindakan pembunuhan terduga teroris tanpa proses hukum. Menurutnya, hal itu justru berdampak "sakit hati" terhadap sel-sel teroris.
“Apa sudah yakin pasti dia teroris? Judul kadangkala ada terduga. Terduga teroris ditembak mati. Kita hanya mendapat selalu satu sumber dari polisi yang membunuh itu,” tegasnya.
Ponto berkata seharusnya ada landasan yang "terukur dan rasional" sebelum tindakan mencabut nyawa. Hal ini terkait terduga dari kelompok mana: apa dia pernah melakukan teror sebelumnya atau apakah pernah merencanakan teror dan sebagainya
“Jangan sampai maunya memberantas teroris tapi justru menghasilkan teroris-teroris baru. Penembakan-penembakan di tempat itu dapat memicu untuk menghasilkan teroris-teroris baru,” pendapat Ponto.
Ponto meyakini bahwa menjelang hari puncak Asian Games 2018, negara telah menyebarkan petugas intelijen ke wilayah yang berpotensi memunculkan teror.
Data dan informasi terus dikembangkan, dianalisis, dan dipetakan. Penyadapan dan penguntitan sudah dilakukan untuk mendengar rencana teror hingga jenis senjata untuk melakukan teror, menurut Ponto.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam