tirto.id - Atlet Indonesia mengemas kegigihan mental dan fisik untuk membeli nama baik bagi negara. Mereka dibayangi kekalahan, cedera, longsornya daya tahan tubuh, iklim korupsi, hingga malisnya masa depan. Jangankan merenggangkan lilitan ekonomi, Indonesia masih bersusah payah memenuhi hak atletnya.
Sudah tiga bulan sejak Mei 2018, upah Atlet Gymnastic Trampoline tak dibayar oleh negara. Padahal mereka menanggalkan pekerjaannya untuk mengikuti latihan dan laga di Asian Games 2018. Mereka di bawah asuhan Pengurus Besar Persatuan Senam Indonesia (PB Persani).
Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi sempat mendatangi para atlet itu pada 31 Juli 2018. Proses pencarian dana untuk upah mereka masih panjang.
“Saya minta kepada PB Persani untuk mengajukan ulang soal administrasinya," kata politikus PKB itu.
Keterlambatan pembayaran upah ini pernah terjadi pada tahun sebelumnya. Ada 899 atlet dan 1.063 pembina atlet dari cabang olahraga Program Indonesia Emas yang gajinya telat dibayarkan selama tiga bulan. Selain itu juga gaji 245 National Paralympic Committee (NPC). Seharusnya mereka menerima gaji pada 28 Desember 2016, tapi molor tiga bulan.
Di sisi lain, enam atlet paralimpik protes karena dibuang dari ajang Asian Para Games 2018 atau Pesta Olahraga Difabel Asia 2018. Mereka menggugat tujuh pihak dari Gubernur Jabar hingga National Paralympic Committee of Indonesia (NPCI) Pusat ke pengadilan Negeri Bandung. Mereka juga melakukan protes dengan berjalan kaki dari Bandung ke Jakarta.
Penyebabnya, mereka dipaksa untuk menyetor 25 persen bonus sebagai atlet ke NPCI Jabar. Mereka menolak. Imbasnya, mereka tak diikutkan di Asian Games 2018 dan ASEAN Para Games 2017 di Malaysia.
"Kami melakukan upaya ini agar nasib atlet bisa diperjuangkan. Masak gara-gara enggak bayar, setor, karier mati?" kata Farid Surdin, salah satu atlet yang menggugat, seperti dikutip dari Antara.
Setiap atlet yang mendapatkan medali emas diberikan bonus oleh Pemprov Jabar sebesar Rp230 juta, medali perak Rp75 juta, dan medali perunggu Rp35 juta. Dari sana, NPCI Jawa Barat mengutip uang bonus itu dengan dalih "untuk membiayai pembangunan organisasi".
"Kami ingin ada perubahan dalam kepengurusan NPCI. Kami dan teman-teman sekarang ini vakum karena dihalang-halangi tanpa alasan yang jelas," kata Farid, peraih medali emas dan perak tersebut.
Praktik menilep dan membonsai hasil kerja keras para atlet sudah lama menjadi wajah kelam Indonesia.
Florensia Cristy, 26 tahun, atlet sepaktakraw Indonesia, sempat keluar dari tim nasional pada 2015 karena mencium dugaan korupsi.
Cristy menuturkan saat itu ia menengarai ada modus menggelapkan dana para atlet dengan memainkan surat keputusan. Ia pernah menjumpai ketika SK untuk atlet telah ada bulan Januari tapi para atlet baru dipanggil pada bulan Maret. Otomatis, upah atlet dari Januari hingga Februari yang dikelola Pengurus Besar Persatuan Sepak Takraw Indonesia (PB PSTI) hilang entah ke mana.
Para pengurus waktu itu berkilah upah atlet dialihkan untuk menebus biaya operasional. "Tapi enggak tahu itu benar apa enggak? Untuk operasional apa enggak? Tapi yang dirasakan seperti itu,” katanya Cristy, Selasa pekan lalu.
Pada awal 2017, Cristy dihubungi oleh pengurus baru PB PSTI. Ia diminta untuk mengikuti pelatihan nasional untuk SEA Games 2017 di Malaysia. Ia kini berlatih untuk laga Asian Games 2018 dengan status sebagai atlet PNS.
Cemas Menerjang Masa Depan
Toni Syarifudin, 27 tahun, atlet BMX pertama dari kontingen Indonesia yang menembus kualifikasi untuk berlaga di multinasional Olimpiade Rio 2016, mengisahkan bagaimana ia dipingpong saat dalam kondisi cedera.
Pada 2012, untuk persiapan bertanding di PON Riau, ia berlatih di Swiss. Tapi, saat latihan, lututnya cedera hingga harus dioperasi. Biayanya sekitar sekitar Rp70 juta.
Namun, Pengurus Besar Ikatan Sport Sepeda Indonesia (PB ISSI) enggan menanggung biaya operasinya. Parahnya, gaji Syarifudin saat itu sering telat.
“Itu persatuan sepeda katanya mau dikembaliin, tapi sampai sekarang enggak ada,” kata lelaki asal Solo ini kepada reporter Tirto di Jakarta, awal Agustus lalu. (PB ISSI kini berganti nama menjadi Indonesian Cycling Federation/ICF.)
Anak pemilik toko besi itu pernah mendapatkan beasiswa selama empat tahun dari World Cycling Center di Swiss. Ia bukan atlet yang direkrut sebagai PNS. Meski sudah lebih dari sekali ia mendapatkan emas di ajang rivalitas nasional PON, kini gajinya hanya Rp7,5 juta.
“Ya ini kayak gambling, sih,” katanya mengungkapkan tidak jelasnya kesejahteraan masa depan atlet.
Buramnya jenjang kerja usai menjadi atlet juga mendera Marjuki, atlet dayung asal Sulawesi Tenggara berusia 28 tahun. Sejak 2010 ia menjadi atlet profesional. Sudah delapan tahun berlalu tapi hingga kini ia masih menjadi pegawai honorer.
Pada SEA Games 2017 Indonesia tak mengirim atlet untuk cabang olahraga dayung. Padahal pada tahun itu ada penilaian bagi atlet untuk direkrut menjadi PNS. Di SEA Games 2015, lelaki kelahiran Wakatobi ini menjadi peraih medali emas pertama bagi Indonesia. Pada SEA Games 2010 ia juga mendapatkan emas.
“Kami enggak ada yang masuk satu pun dari dayung,” katanya kepada Tirto melalui sambungan telepon, awal Agustus 2018.
Alasan Marjuki ingin menjadi PNS agar kebutuhan hidupnya bisa terjamin jika kelak kemampuan fisiknya menurun. Ia benar-benar ingin mempersiapkan diri bisa punya masa depan menjelang hari tua.
“Kalau enggak ikut bertanding atau enggak kepakai jadi atlet, mau berharap gaji dari mana? Kami, kan, berharap jaminan masa depan diperhatikan, mungkin jadi PNS,” terang anak seorang nelayan ini.
Upah yang didapat Marjuki memang terus meningkat seiring prestasinya. Pada 2015, upahnya sekitar Rp5 juta, pada 2016 naik menjadi Rp8,5 juta, dan sejak 2017 gajinya Rp9,5 juta.
“Enggak selamanya juga kami bergantung di dayung. Gaji gede mau sampai kapan? Kami, kan, butuh untuk keluarga,” tutur lelaki lulusan SMA itu.
Sejauh ini Marjuki hanya mendapatkan asuransi kesehatan untuk ia sendiri. Ia tidak mendapat jaminan hari tua, asuransi kesehatan keluarga, tunjangan pendidikan, dan upah pisah.
“Kami pengin ngebuktiin janji pemerintah sebagaimana katanya enggak akan biarin atlet jadi melarat. Kan, sudah banyak atlet berprestasi tapi hidup lebih dari susah?”
Mengusulkan UU Kesejahteraan Atlet
Wakil Ketua Komisi X DPR yang menangani bidang olahraga Hetifah Sjaifudian berkata bahwa Indonesia punya kebiasaan buruk dalam menghargai atletnya.
Misalnya, juara pertama kategori lari 100 meter U-20 Lalu Muhammad Zohri. Namanya baru diperhatikan oleh para pejabat, orang-orang yang mengurusi para atlet, usai laga di Finlandia pada Juli lalu. Mendadak semua pejabat ingin mengklaim kesuksesan Lalu Zohri. Padahal sebelumnya ia pernah menyabet medali emas di kejuaraan Asia Atletik Junior 2018 di Jepang.
Hetifah mengkritik bahwa ulah para pejabat itu “agak reaktif".
"Kalau memberikan bantuan itu ya ketika ada seseorang terekspos kemudian berlomba-lomba berbagai instansi berkerumun. Kami sekarang menginginkan apa yang sudah diatur itu diterapkan,” kata politikus Partai Golkar itu pada awal pekan lalu.
Hetifah mengakui hingga kini Indonesia belum memenuhi hak kesejahteraan atlet. Ia mendorong Komisi X merancang UU Kesejahteraan Atlet pada rapat 28 Maret 2018. Ia menilai Asian Games 2018 hanya berlaku sesaat dalam memperhatikan kesejahteraan atlet.
UU Kesejahteraan Atlet menjadi kebutuhan mendesak guna menetapkan payung hukum demi menyigi komitmen dan simpati mendalam pemerintah terhadap kinerja atlet. Ada pelbagai hal yang akan dimasukkan dalam regulasi. Beberapa di antaranya pemberian jaminan hari tua bagi atlet olimpiade dan atlet berprestasi di Asian Games maupun SEA Games berupa uang tunai, dari Rp300 juta sampai Rp5 miliar.
Selain itu, ujar Hetifah, perlu ada daftar inventaris masalah terkait hak para atlet mendapatkan jaminan sebagai aparatur sipil negara jika mendapatkan medali di level SEA Games, Asean Para Games, Asian Games, Olimpiade, dan Paralimpiade; atau beberapa ajang olahraga lain setaraf internasional.
UU Kesejahteraan itu juga perlu mencantumkan kemudahan bagi atlet untuk mendapatkan rumah, menurut Hetifah.
“Kami bisa membuat prediksilah berapa target, berapa orang yang kiranya mendapatkan... Jadi ada nanti alokasi anggarannya. Kalau enggak, nanti jadi reaktif, tidak merata, dan tidak berkeadlian,” tegasnya menjelaskan proses sebelum membuat rancangan undang-undang itu.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam