tirto.id - Sejak teror bom mengguncang Kota Surabaya pada Mei lalu polisi terus menangkap orang-orang yang diduga teroris. Pada Minggu 5 Agustus 2018 Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyatakan sudah ada lebih dari 260 orang yang ditangkap.
Dari jumlah itu sebanyak 170 orang di antaranya telah ditetapkan sebagai sebagai tersangka.
Jumlah orang yang ditangkap meningkat dibandingkan penangkapan yang terjadi pada bulan 30 Juni 2018 lalu. Kala itu Kapolri menyatakan orang yang ditangkap karena diduga teroris berjumlah 242 orang dengan jumlah korban tewas di tempat sebanyak 21 orang.
Penangkapan besar-besaran ini salah satunya untuk memastikan keamanan Asian Games di Jakarta dan Palembang. Namun, operasi yang landasan hukumnya mengacu ke Undang-Undang No 5 tahun 2018 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Terorisme ini menuai kritikan.
Koordinator Tim Pengacara Muslim (TPM) Achmad Michdan menilai penangkapan besar-besaran yang dilakukan polri tidak transparan. Sebab menurutnya keluarga orang-orang yang ditangkap tidak mendapatkan penjelasan. “Kalau mereka ditangkap, ditahan dalam kondisi tidak melakukan kejahatan teror, dan hanya diduga, tentu pihak keluarga bisa mendapatkan penjelasan,” kata Michdan kepada Tirto, Senin (6/8).
Penangkapan para terduga teroris mestinya tetap tunduk pada asas praduga tak bersalah dan aturan hukum. Sebab tanpa hal itu usaha penangkapan akan berpotensi memantik ketidakpuasan dan memicu perasaan sebagai korban. “Jika ingin bicara tentang hukum yang baik dan kondusif,” ujarnya.
Menurut Michdan dalih keamanan Asian Games untuk menangkap para terduga teroris kelewat lemah. Sebab menurutnya bukan Asian Games yang memantik orang-orang menjadi teroris. Namun, justru kegeraman terhadap polisi yang membatasi hak para terduga teroris selama ditahan. “Bagaimana Anda (polisi) mau mengaitkan ini dengan Asian Games?” kata Michdan.
Alih-alih melakukan penangkapan, Michdan meminta polisi merangkul tokoh-tokoh Islam untuk memberi pencerahan terhadap para terduga teroris.
Pengamat terorisme Al Chaidar berpendapat intensitas penangkapan para terduga teroris terus meningkat karena mereka kadung dicap kriminal. Sehingga cara apapun termasuk mengabaikan hak asasi para terduga teroris bisa dianggap benar.
“Pelanggaran HAM sering terjadi pada kasus terorisme, UU nomor 15 tahun 2003 yang direvisi, memberikan payung hukum untuk melanggar HAM secara legal,” katanya.
Chaidar tidak yakin Asian Games akan menjadi sasaran teror para teroris. Ia mencontohkan jaringan Jamaan Ansharut Daulah (JAD) yang belakangan rajin ditangkapi polisi. Menurutnya fatwa yang berkembang di JAD tentang target serangan ialah: “polisi, gereja, politikus, dan para pejabat,” ujarnya.
Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia Puri Kencana Putri menilai sumber informasi yang sulit diverifikasi oleh kepolisian menjadi penyebab mereka reaktif menangkap terduga teroris. “Pencegahan itu hanya bisa diukur dan dilakukan jika ada sumber informasi yang terpercaya. Karena tidak ada sumber informasi yang terpercaya, lalu polisi mencari pembenaran atas tindakannya,” kata Puri.
Puri berharap Kompolnas, Komnas HAM, Ombudsman, dan masyarakat mengevaluasi kerja Polri dalam pemberantasan terorisme. Menurutnya keamanan Asian Games tidak cukup dijadikan dalih menembak para terduga teroris. Polisi mestinya juga bisa membuktikan bahwa mereka telah melaksanakan prosedur penindakan penggunaan senjata api terhadap terduga teroris.
“Polri punya standar untuk menggunakan evaluasi senpi. Itu harus dipakai dan disampaikan kepada publik berapa banyak peluru yang sudah dimuntahkan atau kebijakan yang sudah digunakan untuk kekuatan lainnya,” ujar mantan Wakil Koordinator III Strategi dan Mobilisasi Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras).
Penulis: Adi Briantika
Editor: Jay Akbar