tirto.id - Indonesia kekurangan lebih dari 50 ribu kepala sekolah. Begitulah pernyataan yang disampaikan oleh Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK), Nunuk Suryani usai acara Peluncuran Program Kepemimpinan Sekolah di Kantor Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Senayan, Jakarta Pusat, pada Senin (23/6/2025).
“Kebutuhan kepala sekolah di seluruh Indonesia masih sangat tinggi, dengan total mencapai 50.971 orang,” kata Nunuk, Senin.
Secara rincian, provinsi terbanyak yang mengalami kekurangan kepala sekolah adalah Jawa Barat dengan total 7.490 sekolah, kemudian disusul oleh Jawa Tengah 6.881 sekolah, dan Jawa Timur 6.513 sekolah. Nunuk menambahkan, kekurangan tersebut timbul karena sejumlah sebab.
Penyebab pertama adalah jumlah kepala sekolah pensiun di 2025, yang mencapai 10.899 orang. Yang kedua, lebih dari 40 ribu jabatan masih belum terisi.
“Ini angka yang cukup mengkhawatirkan menurut saya jika kita ingin mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan inklusif,” kata dia.
Sebagai bentuk solusi atas permasalahan kekosongan posisi kepala sekolah tersebut, Kemendikdasmen menghadirkan program Kepemimpinan Sekolah sebagai salah satu langkah untuk memenuhi kebutuhan kepala sekolah yang saat ini masih sangat kurang. Program ini mengacu kepada Permendikdasmen Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah.
Meski jumlah kursi kepala sekolah yang kosong masih sangat tinggi, Nunuk tetap menegaskan untuk berpedoman pada aturan, bahwa setiap guru yang ingin menjadi kepala sekolah, harus memenuhi syarat administrasi hingga pelatihan selama 110 jam. Pelatihan tersebut, katanya, akan mencakup praktik hingga sesi refleksi.
“Mereka akan mengikuti pelatihan selama sejumlah 110 jam, kemudian akan on the job learning di lapangan, di sekolah. Kemudian, akan kembali lagi ke tempat pelatihan untuk menyampaikan refleksi dan praktik baiknya,” kata dia.
Dalam forum yang sama, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti membeberkan alasan mengenai program kepemimpinan sekolah tetap dilaksanakan. Dia menggarisbawahi bahwa program tersebut harus dilaksanakan dengan syarat percepatan. Apabila hal itu tidak dilaksanakan dengan segera, kursi kepala sekolah yang kosong berimbas pada penurunan mutu tata kelola satuan pendidikan.
Menurut Mu'ti, program kepemimpinan sekolah diharapkan menjadikan para kepala sekolah pemimpin yang memiliki karakter dan agen perubahan di unit pendidikan mereka masing-masing. Dia juga menuntut para kepala sekolah untuk adaptif terhadap tantangan zaman dan berkomitmen terhadap kualitas pembelajaran.

“Untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu dan berkelanjutan dibutuhkan kepemimpinan yang kuat, visioner, transformatif di tingkat satuan pendidikan. Oleh karena itu, para pemimpin sekolah, seperti KS (Kepala Sekolah), PS (Pengawas Sekolah), dan Tendik (Tenaga Pendidikan) memiliki peran strategis untuk memastikan proses belajar mengajar berlangsung secara bermutu,” kata Mu'ti.
Kemendikdasmen Mestinya Bagaimana?
Lebih dari 50 ribu kursi kepala sekolah kosong adalah hal yang darurat dan menjadi cerminan buruknya manajemen sumber daya manusia (SDM) di internal Kemendikdasmen. Hal itu disampaikan oleh Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji yang menuntut adanya pembenahan sistem regenerasi dan pemetaan kesiapan kebutuhan kepala sekolah kepada Kemendikdasmen.
"Ketidaksiapan dalam memetakan kebutuhan, tidak adanya sistem suksesi yang terstruktur, dan birokrasi yang berbelit telah menghambat penempatan kepala sekolah secara merata di seluruh Indonesia," kata Ubaid saat dihubungi Tirto, Kamis (26/6/2025).

Dia menjelaskan bahwa ada banyak pihak yang patut disalahkan dalam hal kekurangan kepala sekolah di Indonesia. Tidak hanya Mendikdasmen maupun pejabat eselon, namun juga para menteri sebelumnya yang gagal memberikan tongkat estafet dalam pengelolaan kebijakan di sektor pendidikan.
"Alih-alih memperbaiki sistem yang ada, tiap menteri datang dengan pendekatannya masing-masing," kata dia.
Salah satu yang dikritik menurutnya adalah jalur peningkatan karir guru untuk menjadi kepala sekolah, dari yang sebelumnya menggunakan Program Guru Penggerak (PGP), kini berganti dengan Program Kepemimpinan Sekolah.
Walaupun diklaim mempermudah karir guru untuk menjadi kepala sekolah, namun kesan kebijakan yang kerap berganti membuatnya rapuh secara birokrasi. Hal ini membuat banyak guru yang telah terbiasa dengan kebijakan lama harus menyesuaikan lagi dengan aturan baru.
"Akibatnya, mekanisme penyiapan dan pengangkatan kepala sekolah menjadi tidak stabil dan sering kali terhambat oleh penyesuaian regulasi baru yang belum matang," kata dia.
Ubaid juga menyoroti banyaknya dugaan aksi korupsi dengan bentuk 'jual-beli' jabatan kepala sekolah. Hal itu membuat banyak guru yang berkarir dari bawah ogah menjadi kepala sekolah karena harus merogoh kocek yang kadang jumlahnya tak sedikit.
"Selain itu banyak juga oknum yang memperjualbelikan jabatan kepala sekolah. Jadi ya di tengah keruwetan itu semua, guru harus berpikir ulang bahkan mengurungkan niat untuk menjadi kepala sekolah," katanya.
Sebagai bentuk solusi, Ubaid menuntut agar Kemendikdasmen kedepannya menjadi lebih transparan dalam hal rekrutmen dan kaderisasi kepala sekolah. Sehingga, data kepala sekolah yang kosong dapat dipantau oleh publik dan diketahui alasannya secara pasti.
"Sistem pengelolaan SDM pendidikan juga sangat tertutup, jadi hanya orang dalam yang tahu, ini juga seakan membiarkan ruang-ruang gelap transaksional jabatan kepala sekolah," kata dia.
Wakil Ketua DPR RI, Cucun Syamsurrijal, mendesak agar Kemendikdasmen meningkatkan kerjasama dalam menangani masalah kekurangan kepala sekolah dengan pemerintah daerah. Hal itu dikarenakan, hingga saat ini, pengelolaan sekolah masih menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
"Jadi komunikasi kita juga berharap semua pemerintah daerah sinergi, lah, dengan pusat. Karena ini anggaran untuk budgeting-nya kita yang perjuangkan di sini, yang ngatur personalnya kan di daerah. Nah ini kita ingin sinergitas yang lebih bagus lagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah," kata Cucun dalam keterangan pers, Kamis.

Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, mendorong Kemendikdasmen untuk meningkatkan pengawasan secara digital melalui Sistem Informasi Manajemen Kepala Sekolah, Pengawas Sekolah, dan Tenaga Kependidikan (SIM-KSPSTK), yang memungkinkan pengelolaan SDM pendidikan dilakukan secara lebih transparan dan akuntabel.
Menurutnya, melalui sistem tersebut, kritik terhadap pengelolaan SDM Kemendikdasmen yang terkesan tertutup dapat diselesaikan dengan baik.
“Dengan SIM-KSPSTK, pemerintah daerah bisa mempercepat pengangkatan kepala sekolah secara objektif dan data-driven,” kata dia.
Dia berjanji, bersama Komisi X, permasalahan kursi kepala sekolah yang kosong akan terus ditagih dan ditindaklanjuti. Dia berharap kepala sekolah tidak hanya diisi oleh penjabat sementara ataupun pelaksana tugas, namun pejabat definitif, sehingga peserta didik dapat belajar dengan lebih terarah.
“Setiap sekolah wajib memiliki pemimpin yang definitif. Jangan biarkan anak-anak belajar tanpa arah hanya karena tidak ada kepala sekolah,” kata dia.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id


































