Menuju konten utama

Mengungkap Aktor di Balik Pusaran Korupsi Ekspor Benur Edhy Prabowo

Siapa saja sosok yang turut andil dalam pusaran kasus korupsi ekspor benih lobster yang menyeret
mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo?

Mengungkap Aktor di Balik Pusaran Korupsi Ekspor Benur Edhy Prabowo
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo (kiri) bersiap menjalani pemeriksaan perdana sebagai tersangka di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di Jakarta, Kamis (26/11/2020). ANTARA FOTO/ Reno Esnir.

tirto.id - Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dicokok tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepulangnya dari perjalanan dinas di Honolulu, Hawaii, Rabu (25/11/2020) malam. Usai diperiksa tim penyidik KPK, politikus Partai Gerindra itu langsung ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi berkenaan dengan pengaturan jasa angkut dalam proses ekspor benih lobster.

Edhy ditetapkan sebagai tersangka bersama enam orang lainnya yakni, staf khusus Menteri KP Safri, staf khusus Menteri KP Andreau Pribadi Misata, pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK) Siswadi, staf istri Menteri KP Ainul Faqih, Amiril Mukminin dan Direktur PT Dua Putra Perkasa (DPP) Suharjito.

“Ditahan selama 20 hari sejak 25 November 2020 sampai 14 Desember 2020 di Rutan KPK Cabang Gedung Merah Putih untuk tersangka EP, SAF, SWD, AF, dan SJT,” ujar Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Rabu malam.

Sebelum dicokok KPK, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebenarnya telah mengendus praktik tidak sehat dalam bisnis ini. KPPU menduga ada praktik monopoli dalam proses pengiriman benur ke luar negeri.

“KPPU meneliti soal potensi pelanggaran [persaingan usaha/monopoli dalam freight forwarding [Aero Citra Kargo],” kata anggota sekaligus Juru Bicara KPPU Guntur Syahputra Saragih kepada Tirto, Jumat (27/11/2020).

Kasus suap yang terjadi kali ini, bukan dilakukan dalam skema biasa. Rencana ini tampaknya sudah dipersiapkan sejak Edhy membuka izin ekspor benih lobster pada 14 Mei 2020 silam. Lewat Surat Keputusan Nomor 53/KEP MEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster, Edhy menunjuk Staf Khusus Menteri Andreau Pribadi Misata selaku Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligence) dan Staf Khusus Menteri Safri selaku Wakil Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas.

Salah satu tugas dari Tim ini adalah memeriksa kelengkapan administrasi dokumen yang diajukan oleh calon eksportir benur. Dari sini sebenarnya tak ada hal yang mencurigakan.

Kemudian pada awal Oktober 2020, Direktur PT Dua Putra Perkasa (PT DPP) Suharjito datang ke lantai 16 kantor KKP dan bertemu dengan Safri. Dalam pertemuan tersebut, diketahui bahwa untuk melakukan ekspor benih lobster rupanya hanya dapat melalui forwarder Aero Citra Kargo (ACK) dengan biaya angkut Rp1.800/ekor. Demikian isi kesepakatan antara Amiril Mukminin Komisaris PT DPP dengan Andreau Pribadi dan Siswadi selaku Pengurus ACK.

Pengaturan tak sehat bisnis ekspor benih lobster dimulai dari sini. Atas kegiatan ekspor benih lobster tersebut, PT DPP diduga melakukan transfer sejumlah uang ke rekening PT ACK dengan total nilai sebesar Rp731,57 juta.

Berdasarkan kesepakatan pengaturan tersebut, PT DPP atas arahan Edhy Prabowo melalui Tim Uji Tuntas yang tak lain adalah staf khusus Edhy sendiri, memperoleh penetapan kegiatan ekspor benih lobster dan telah melakukan sebanyak 10 kali pengiriman menggunakan jasa perusahaan forwarder PT ACK.

Seluk Beluk PT ACK dalam Korupsi Benur

Lantas siapa sebenarnya PT ACK? Siapa orang-orang di belakang yang mengoperasikan dan mengendalikannya?

PT ACK merupakan satu-satunya perusahaan forwarder yang ditunjuk sebagai pihak yang mengangkut benur berdasarkan kesepakatan Perkumpulan Pengusaha Lobster Indonesia (Pelobi) yang disinyalir berada di bawah komando Andreau Pribadi, dengan memanfaatkan posisinya sebagai ketua tim uji tuntas ekspor benih lobster.

Berdasarkan data kepemilikan yang dipublikasikan pihak KPK, pemilik PT ACK terdiri dari Amri dan Ahmad Bahtiar. Namun, keduanya diduga hanyalah merupakan nominee alias pinjam nama dari pihak Edhy Prabowo dan Yudi Surya Atmaja.

“Pemegang saham PT ACK terdiri atas AMR (Amri) dan ABT (Ahmad Bahtiar) yang diduga merupakan nominee dari EP (Edhy Prabowo) serta YSA (Yudi Surya Atmaja),” jelas Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango, Rabu, 25 November.

Penetapan PT ACK sebagai satu-satunya perusahaan forwarder yang bisa mengangkut benih lobster untuk ekspor bukan satu-satunya kejanggalan di pusaran kasus ini. Uang yang masuk ke rekening PT ACK yang diduga berasal dari beberapa perusahaan eksportir benih lobster mengalami penarikan dan diketahui masuk ke rekening Amri dan Ahmad Bahtiar masing-masing dengan total Rp9,8 miliar.

Berlanjut pada 5 November 2020, ada dugaan telah terjadi transfer dari rekening Ahmad Bahtiar ke rekening salah satu bank atas nama Ainul Faqih. Dia merupakan staf istri Menteri KP Iis Rosita Dewi. Jumlah dana yang ditransfer sebesar Rp3,4 miliar yang diperuntukkan keperluan Edhy Prabowo, istrinya dan Andreau Pribadi Misanta.

Sebagian uang tersebut dipergunakan untuk belanja barang mewah oleh Edhy Prabowo dan istri di Honolulu AS pada 21 sampai dengan 23 November 2020 sekitar Rp750 juta. Barang yang dibelanjakan antara lain jam tangan Rolex, tas Tumi dan LV, baju Old Navy.

Perkenalan Aktor dalam Pusaran Korupsi

Amri dan Achmad Bahtiar menjadi Komisaris PT ACK yang masing-masing memiliki saham 41,65 persen. Keduanya menarik uang hasil pembayaran eksportir benih di ACK ke rekening pribadi masing-masing dengan total nilai Rp9,8 miliar.

Achmad Bahtiar kemudian melakukan transfer uang senilai Rp3,4 miliar pada 5 November 2020 ke rekening Ainul Faqih selaku staf istri Menteri KKP. Uang itu digunakan Edhy Prabowo, Iis Rosyati Dewi dan dua staf khusus Menteri KP untuk belanja barang mewah.

Di luar nama-nama ini, muncul nama Siswadi (SWD), pengurus PT ACK dan Deden Deni selaku pengendali PT ACK. Dua nama ini juga tidak tercatat dalam akta perusahaan.

Di dalam PT ACK juga muncul nama Lutpi Ginanjar yang tidak memiliki saham dan belum disebut pasti perannya dalam suap Edhy Prabowo. Pria kelahiran 15 September 1995 ini memegang jabatan sebagai Direktur ACK dan menjadi yang termuda dari orang-orang yang terdaftar dalam akta. Lutpi memiliki kaitan dengan perusahaan bernama Andalan Export Indonesia.

Beberapa jejak pengalaman kerja Lutpi antara lain Indonesia Youth Forum Kemenpora, Official Komunitas Indonesia Bersatu Presiden SBY, dan Youth East ASEAN Leader Initiative Kemenlu.

Selain itu, ada pula nama Suharjito yang ditetapkan KPK sebagai pemberi suap. Suharjito adalah pendiri sekaligus Direktur PT Dua Putra Perkasa. Perusahaan ini, dalam laman website resminya duaputraperkasa.com, menyatakan sebagai perusahaan dalam bidang impor, ekspor, dan distributor makanan.

Suharjito sudah berkiprah belasan tahun di industri pengolahan. Ia pernah berdagang daging sapi saat krisis moneter tahun 1998. Lalu, membuat pabrik bakso dan merambah sektor lain seperti pengolahan ikan. Belakangan Suharjito memiliki lini produk bakso, kornet, dan olahan ikan lain. Pabrik olahan ikan dia terpusat di Pondok Gede dan olahan daging terpusat di Cipendawa. Menurut arsip situs perusahaan tahun 2016, Suharjito mulai merambah ekspor untuk produk olahan sejak 2013.

Selain bergelut di industri pengolahan daging dan ikan, ia memiliki sejumlah kapal penangkapan ikan. Usaha ini ia buat untuk memasok kebutuhan bahan baku pengolahan ikannya. Melihat jejak bisnis ini, Suharjito tidak memiliki sejarah berurusan dengan lobster dan benih lobster. Keterlibatannya bisa diduga baru terjadi pada 2020 saat momen penerbitan Permen KP 20/2012 yang mengizinkan ekspor bayi lobster.

Di dalam akta PT Dua Putra Perkasa, tidak ada nama Suharjito pada perusahaan yang didirikan sejak 2003 itu. Akta hanya mencatat dua nama pendiri, yaitu Amir Abdul Rachman sebagai komisaris dan Tubagus Farid Wadjdi sebagai direktur, masing-masing memiliki saham 50 persen dari total modal Rp125.000.000.

Nama Suharjito sebagai Direktur Utama PT Dua Putra Perkasa muncul pertama kali dalam arsip situs perusahaan pada November 2015. Dalam arsip itu, Suharjito mendampingi Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan KKP saat berkunjung ke kawasan industri Cipendawa Bekasi, Selasa (1/7/2015).

Arsip perusahaan Mei 2017 juga pernah mencatat kunjungan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita ke PT Dua Putra Perkasa Pratama di Bekasi, unit bisnis Duta Putra Perkasa yang bertugas sebagai distributor daging beku.

Meski menurut arsip perusahaan, Suharjito menjabat sebagai Direktur Utama atau Presiden Direktur PT Dua Putra Perkasa, kenyataannya data nama manajemen di laman perusahaan menunjukkan lain. Direktur Utama dari 2016 justru terpampang M. Zainul Fatih. Namun, per 28 April 2020, nama direktur utama menjadi Raharditya Bagus Perkasa.

Di luar itu, ada 7 jabatan direksi lain. Per 26 November 2020 susunan direksi terdiri atas Direktur Keuangan Dewi Arisanti, GM Operational & Commercial M. Zainul Fatih, GM Finance & Accounting Jan Saragih, Marketing Manager Indah Desi Restiana, Manager Kapal Agus Kurniyawanto, Seafood Manager Yunus, dan Export & Import Manager Ardi Wijaya.

Sementara Amir Abdul Rachman tercatat pernah berkiprah di sederet perusahaan ternama. Salah satunya menjadi Presiden Komisaris PT MNC Land (Juni 2013-Juni 2019), serta Wakil Presiden Komisaris Bakrieland Development (Juni 2012-Mei 2013).

=======

REVISI & Hak Jawab

Kami keliru menulis sebagian informasi latar belakang pengusaha Suharjito di paragraf ini:

"Selain bisnis, Suharjito juga memiliki rekam jejak di dunia politik. Suharjito merupakan mantan Ketua Dewan Perwakilan Wilayah (DPW) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) NTT. Ia mengikuti jejak Fahri Hamzah yang juga meninggalkan PKS dan menjadi Ketua DPW Partai Gelora NTT. Sama seperti Fahri yang menjadi pengusaha benih lobster, Suharjito juga ikut terjun melalui Dua Putra Perkasa."

Informasi tersebut salah. Namanya sama untuk orang yang berbeda. Suharjito dalam informasi yang kami tulis secara keliru itu tidak punya sangkutpaut dengan pengusaha Suharjito dalam pusaran korupsi benih lobster.

Dalam hak jawab kepada redaksi Tirto, Suharjito, Ketua DPW Partai Gelora Indonesia NTT, menyatakan bahwa benar dia Ketua DPW PKS NTT (tiga periode); benar bahwa saat ini dia Ketua DPW Partai Gelora Indonesia NTT.

"Bahwa Suharjito, Dirut PT DPP yang ditangkap KPK, adalah orang yg berbeda dengan Suharjito sebagai Ketua DPW Partai Gelora NTT saat ini. Faktanya ada kesamaan nama tapi orangnya berbeda," tulisnya kepada Tirto.

Ia juga menulis saat ini masih menjalankan aktivitas seperti biasa dan berdomisili di Kota Kupang, sementara Suharjito yang Direktur PT DPP sedang menjadi tahanan KPK.

Klarifikasi ini, dengan begitu, menghapus satu paragraf keliru tersebut di badan artikel.

Redaksi Tirto mohon maaf atas kekeliruan fatal ini, yang tidak menjalankan prosedur jurnalisme yang benar, tanpa kroscek dan konfirmasi ke sumber bersangkutan.

Baca juga artikel terkait KORUPSI EDHY PRABOWO atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah & Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Hukum
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah & Vincent Fabian Thomas
Editor: Maya Saputri