tirto.id - Manus Murib (16) dan Atanius Murib (17) berjalan kaki dari Distrik Gome hendak ke Distrik Agadugume, Kabupaten Puncak, Papua, sejak Jumat 20 November 2020 sekitar pukul 04.30 pagi. Mereka mau pulang ke kampung untuk liburan Natal. Jarak dua tempat itu kira-kira 100 kilometer.
Manus, yang duduk di kelas XI SMAN 1 Ilaga dan Atanius siswa kelas X SMKN 1 Ilaga, tak pernah sampai ke tempat tujuan dalam keadaan sehat. Setelah menyeberangi kampung tetangga, mendaki bukit, kemudian tiba di kawasan belantara di Limbaga empat jam perjalanan, keduanya ditembak.
“Sampai di tempat, ada sekelompok orang, anggota berpakaian lengkap. Tanpa ditanya, mereka (Manus dan Atanius) ditembak,” ucap Oktavianus Tabuni, paman kedua anak itu, kepada reporter Tirto, Selasa (24/11/2020).
Para penembak lalu membaringkan keduanya bersebelahan, meletakkan pistol di perut, lantas memfotonya. Oktavianus bilang itu dilakukan agar seolah-olah dua bocah itu memiliki senjata api dan merupakan bagian dari kelompok bersenjata.
Manus masih sadar ketika pelaku melakukan itu semua meski peluru mengenai lehernya. Kata Oktavianus, karena kaget melihat orang-orang mengelilinginya, Manus “langsung lompat, sampingnya ada jurang, lalu lari dengan kondisi seperti itu.” “Secara nalar ini tidak masuk akal, tapi dia sampai di permukiman,” kata Oktavianus. Dia tiba di Kampung Jaiti, Gome Utara, sekitar pukul 13.
Manus menelepon keluarga setelah ditolong warga setempat. Dia dilarikan ke rumah sakit setelah keluarga tiba.
Sementara Atanius yang sudah meninggal masih terbaring di lokasi penembakan. Oktavianus bilang sampai bercerita kepada reporter Tirto jenazah Atanius belum berhasil dievakuasi karena medan yang sulit.
Manus yang telah sadarkan diri mengaku yang menembaknya adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI). “Kami naik, mereka bangun. Lalu tentara itu tembak teman saya dahulu,” kata dia, mengutip Jubi. Dia bilang si tentara menggunakan rompi, helm, dan pakaian serba hitam. Mereka menembak dari jarak jauh.
Seorang keluarga yang dirahasiakan identitasnya punya versi lain dari penembakan ini. Keduanya tidak langsung ditembak. Dilaporkan Jubi, narasumber bilang terduga pelaku sempat bertanya satu kali ke Manus dan Atanius, kemudian memberikan senjata kepada keduanya, lantas memotret mereka.
Manus memilih lari dan ketika itulah dia ditembak tiga kali. Satu peluru tembus di dekat daun telinga dan dua lagi bersarang di tubuh.
Tak Ada yang Mengakui Penembakan
Kapen Kogabwilhan III Kolonel Czi IGN Suriastawa membantah tudingan ini dengan menjabarkan beberapa hal yang menurutnya tidak masuk akal.
Pertama soal pistol. Menurut dia, satgas itu dilengkapi senjata laras panjang. “Yang membawa pistol hanya komandan satgas, [itu pun] jarang. Masak komandan satgas menembak di sana? Tak masuk akal,” katanya kepada reporter Tirto, Selasa.
Keanehan yang lain, jika benar TNI dan menembak, mereka tak mungkin melepaskan korban dalam keadaan hidup kecuali dia “bodoh.” Jangankan 5-10 meter, 700 meter pun tentara bisa membidik mati, katanya. Ketiga, di hari kejadian menurutnya tak ada personel di lokasi penembakan. Dia juga mengatakan di TKP nihil pos penjagaan, bahkan tak ada patroli.
“Tentara tak tahu kejadiannya, tak tahu tempat kejadian. Berarti yang membunuh siapa? Masak tentara?”
Dia bilang alih-alih TNI, yang lebih mungkin menembak Atanius dan Manus adalah kelompok bersenjata--istilah yang kerap diasosiasikan oleh aparat Indonesia sebagai gerilyawan kemerdekaan Papua. “Bisa jadi KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) menyamar,” imbuh dia sembari menyebutkan beberapa faktor pendukung.
Pertama lagi-lagi soal pistol. Menurutnya jika kelompok itu mampu membeli senjata api secara ilegal, maka mereka juga bisa membeli perlengkapan lain. Kedua, setiap mendekati 1 Desember, pasti Organisasi Papua Merdeka (OPM) akan menunjukkan eksistensinya untuk menjatuhkan TNI dan Polri. Penembakan ini menurutnya salah satu bagian dari itu.
Ketiga, ciri khas kelompok bersenjata adalah, jika tembakannya mengenai warga sipil, maka korban akan diklaim sebagai intel aparat Indonesia yang menyamar. Pola-pola seperti itu, katanya, basi.
Selain korban kelompok bersenjata, Suriastawa bilang ada juga kemungkinan dua orang ini adalah rekrutan atau bahkan personel kelompok itu. Merek ditembak karena ingin kembali memihak Indonesia alias dianggap pengkhianat.
Namun Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB-OPM) Sebby Sambom mengklaim pihaknya juga tak menembak Manus dan Atanius. “Tidak benar. TNI dan Polri sedang membohongi publik,” aku dia kepada reporter Tirto, Selasa. Dia juga mengatakan kelompoknya tak berada di lokasi kejadian.
Pertikaian di Kabupaten Puncak
Penembakan Manus dan Atanius bukanlah yang pertama di Kabupaten Puncak. Kawasan itu juga pernah jadi ‘zona merah’.
Pada 23 Agustus 2019, TNI-Polri menyisir dan menyerang Desa Tegelobak, Distrik Gome. Aparat menuduh desa tersebut telah menjadi markas TPNPB. Karena ketakutan, penduduk setempat melarikan diri. Sehari kemudian, Ginobina Tabuni (60) terbakar hingga tewas di dalam honai saat Desa Upaga diserbu polisi dan tentara.
Selanjutnya, pada 26 Agustus 2019, lebih dari 800 orang Papua mengungsi akibat operasi aparat gabungan dari aparat Indonesia. Pada 2 September, serangan pasukan keamanan Indonesia mengakibatkan 3 warga sipil tewas dan 1.500 penduduk mengungsi. 15 hari berikutnya, terjadi baku tembak kelompok bersenjata dan aparat gabungan. Korban sipil berjatuhan: 3 tewas dan 4 luka-luka.
Semua kasus ini menambah panjang daftar pembunuhan di luar hukum di Papua. Amnesty International Indonesia menyebutkan total pembunuhan di luar hukum di Papua sepanjang 2020 mencapai 15 kasus dengan total 22 korban. Polisi dan militer sebagian besar terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia ini.
Pembunuhan di luar hukum yang dilakukan atas perintah atau dengan keterlibatan pejabat negara dilarang, dan menurut hukum internasional termasuk dalam kejahatan yang harus dicegah, ditelusuri, dan diadili oleh negara, serta memastikan korban mendapat hak reparasi.
Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Emanuel Gobay, terlepas dari baku tuduh TNI dan kelompok bersenjata, penembakan terhadap sipil adalah haram.
“Ada pelanggaran HAM yaitu hak hidup. Ada juga fakta penyalahgunaan senjata api,” ucap dia kepada reporter Tirto, Selasa. Penembakan juga telah merampas rasa aman warga. Ketidaknyamanan itu juga ia sebut sebagai pelanggaran HAM.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino