Menuju konten utama

Kejahatan HAM di Papua: Ditutupi di PBB tapi Tak Pernah Dituntaskan

Indonesia berusaha menutupi kasus HAM di Papua, termasuk di forum internasional. Sementara kasusnya sendiri tetap langgeng dan terus bertambah.

Kejahatan HAM di Papua: Ditutupi di PBB tapi Tak Pernah Dituntaskan
Tim Solidaritas Rakyat Papua secara simbolis mengembalikan uang beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan senilai Rp773 juta yang pernah diterima pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) Veronica Koman di depan Kantor LPDP Cikini, Jakarta, Rabu (16/9/2020). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Warganet Indonesia punya 'musuh' baru beberapa hari terakhir: Vanuatu, sebuah negara kepulauan di Samudera Pasifik, dihuni oleh bangsa Melanesia--ras juga terdapat di Papua. Mereka menyerang Vanuatu dengan berbagai tudingan dan prasangka di media sosial seperti Twitter dan Instagram.

Vanuatu adalah negara yang berperan penting mengangkat isu kemerdekaan Papua di forum dunia, meski itu juga dipengaruhi oleh situasi politik domestik dan 'intervensi' Indonesia di kawasan Pasifik.

Ini berawal dari Sidang Majelis Umum PBB ke-75 pekan lalu. Dalam forum itu Bob Loughman, Perdana Menteri Republik Vanuatu, berbicara soal isu pelanggaran hak asasi manusia di Bumi Cenderawasih. Ia bilang tak ada kemajuan berarti dalam kasus-kasus HAM di Papua. Oleh karena itu ia meminta “pemerintah Indonesia menyetujui seruan para pemimpin negara-negara Pasifik” untuk mengizinkan Komisi HAM PBB berkunjung ke Papua.

Pernyataan itu langsung dikritik oleh diplomat Indonesia Sylvani Austin Pasaribu. Di forum itu juga ia bilang Vanuatu tak perlu ikut campur urusan dalam negeri dan menghargai kedaulatan Indonesia. Ia berujar Indonesia menghargai perbedaan dan HAM, dibuktikan dengan meratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial--yang justru belum ditandatangani oleh Vanuatu.

“Sampai Anda bisa melakukan itu, tolong simpan ceramah untuk diri sendiri,” kata Sylvani, Minggu (27/9/2020) waktu setempat. “Ini memalukan, suatu negara terus memiliki obsesi tidak sehat yang berlebihan tentang bagaimana seharusnya Indonesia bertindak atau memerintah.”

Ia juga mengatakan Indonesia “telah menegakkan hak asasi manusia.”

Peneliti dari Human Rights Watch Andreas Harsono menjelaskan duduk perkara pernyataan Loughman.

Pada Februari 2018, Presiden Joko Widodo mengundang PBB mengunjungi Papua, melihat situasi sesungguhnya dari dekat. Saat itu Komisioner Tinggi HAM PBB Zeid Ra'ad Al Hussein sedang bertandang ke Jakarta. Begitu Zeid pulang ke Jenewa, markas PBB, kedutaan Indonesia ditagih untuk menerbitkan visa namun hingga sebulan kemudian visa tak pernah dikeluarkan hingga masa kepemimpinan Zeid habis pada April.

Seperti biasa, saban kepemimpinan berganti, Komisaris Tinggi membuat memo ihwal apa saja hal-hal yang belum rampung seperti kasus Suriah, Rohingnya, Xinjiang, termasuk Papua. Karena itu janji terus ditagih.

Tapi akses ke Papua tak juga diberikan hingga sekarang. Pemerintah Indonesia berdalih belum menemukan waktu yang tepat. Forum Kepulauan Pasifik sendiri memberikan tenggat waktu kunjungan sampai Agustus 2020.

Andreas bilang maksud dari Loughman semata untuk mengingatkan Indonesia soal janji mereka sendiri. Pemerintah Vanuatu hanya mengingatkan Indonesia untuk mengizinkan pemantau HAM mengunjungi Papua.

“Kalau dari kronologis, ya, salah [pemerintah] Indonesia,” ucap Andreas ketika dihubungi reporter Tirto, Senin (29/9/2020).

Buta dan Dusta

Direktur Perkumpulan Advokat HAM Papua Gustaf Kawer berpendapat diplomat Indonesia gemar berbohong dan buta terhadap realitas Papua dengan menyatakan pemerintah sudah menegakkan HAM. Sejak tahun 1963 hingga saat ini, kata dia, masalah di Papua terus berulang dan tak kelar-kelar: eksploitasi sumber daya alam, militerisme, dan pelanggaran HAM.

Kasus HAM terbaru di Papua adalah ditembaknya Pendeta Yeremia Zanambani, Ketua Klasis Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Hitadipa di Intan Jaya, pada Sabtu sore, 19 September. Aparat bilang itu ulah Organisasi Papua Merdeka (OPM). Tapi beberapa warga yang jadi narasumber Tirto menyatakan sebaliknya: sang pendeta ditembak aparat.

Pernyataan diplomat di forum Internasional seperti itu, katanya, Senin, hanya “melukai rakyat Papua.”

Ia juga mengatakan solidaritas dari Vanuatu sangat wajar “karena Indonesia tidak mampu dan tidak mau menyelesaikan pelanggaran HAM.”

Sementara Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua Theo Hesegem mengatakan pernyataan diplomat Indonesia sangat tidak etis sekaligus mencerminkan kesalahan dan ketidakmauan negara ini untuk mengungkap kebenaran di Papua.

“Papua telah jadi isu internasional. Kalau Indonesia terus membantah, bangsa ini tak punya wibawa dan harga diri,” kata Theo, Senin.

Memang tak hanya Vanuatu yang bicara persoalan Papua di forum internasional, kata peneliti dari Amnesty International Indonesia Ari Pramuditya, Senin. “Indonesia sudah berkali-kali diingatkan soal pelanggaran HAM di Tanah Papua,” katanya.

Berbagai organisasi pemantau HAM internasional telah menyoroti masalah ini. Akses jurnalis asing juga sangat terbatas. Hal ini misalnya dialami Rebecca Alice Henschke, Kepala Biro BBC Indonesia, yang meliput Kejadian Luar Biasa (KLB) gizi buruk dan campak di Kabupaten Asmat tahun 2018.

Ari bilang bila memang tak ada yang ditutupi oleh pemerintah, berikanlah akses seluas-luasnya bagi dunia internasional ke Papua.

“Vanuatu hanya menegaskan isu yang sudah diangkat berkali-kali di Sidang PBB. [Semestinya] Indonesia menunjukkan dengan berbagai bukti. Toh, masyarakat Internasional sudah tahu apa yang terjadi.”

Baca juga artikel terkait PELANGGARAN HAM PAPUA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino