tirto.id - Mempelajari teori konflik menurut para ahli sosiologi dapat membantu kita memperdalam bahasan hubungan antarindividu dalam masyarakat.
Hubungan antarindividu dalam masyarakat, dalam studi sosiologi, disebut dengan interaksi sosial. Proses interaksi antarindividu dalam masyarakat ini bisa mengakibatkan 2 kategori dampak, yakni asosiatif (hubungan semakin erat) dan disosiatif (hubungan merenggang).
Kedua bentuk interaksi itu melekat pada hubungan antarindividu sehingga dapat mempengaruhi masyarakat. Salah satu bentuk asosiatif misalnya kerja sama. Sebaliknya contoh bentuk disosiatif yaitu adanya konflik, demikian seperti dikutip dari laman Rumah Belajar Kemendikbud.
Konflik sosial muncul ketika perbedaan antarindividu atau kelompok dalam masyarakat tidak dapat dinetralisir atau didamaikan. Konflik sosial tidak terjadi dengan sendirinya. Meski penyebab utama konflik sosial adalah perbedaan di tengah masyarakat, banyak faktor yang bisa terkait dengannya.
Masih mengutip sumber dari Kemdikbud, setidaknya terdapat 4 faktor utama yang sering kali jadi penyebab konflik sosial. Keempatnya adalah: perbedaan antar-individu; perbedaan kebudayaan dan latarbelakang individu maupun kelompok; perbedaan kepentingan; dan perubahan sosial yang terlalu cepat. Selain itu, masih banyak faktor lain yang bisa memicu konflik sosial.
Konflik yang berlangsung dalam masyarakat juga dapat terjadi antar individu, individu dengan kelompok, serta kelompok dengan kelompok.
Mengutip Modul Sosiologi (2016), menurut Webster istilah “conflict” di dalam bahasa Inggris berarti suatu perkelahian, peperangan atau perjuangan, yaitu berupa pertentangan fisik antara beberapa pihak.
Arti kata itu kemudian berkembang dengan masuknya “ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide, gagasan, dan lain-lain”. Sehingga istilah “konflik” juga menyentuh aspek psikologis di balik pertentangan fisik itu sendiri.
Sementara, menurut Gurr dalam Al Hakim, kriteria yang menandai suatu pertentangan sebagai konflik adalah sebagai berikut:
- Sebuah konflik harus melibatkan dua pihak atau lebih di dalamnya;
- Pihak-pihak tersebut saling tarik-menarik dalam aksi-aksi saling bermusuhan (mutually opposing actions);
- Mereka biasanya cenderung menjalankan perilaku koersif untuk menghadapi dan menghancurkan “musuh”;
- Interaksi pertentangan di antara pihak-pihak itu berada dalam keadaan yang tegas, karena itu keberadaan peristiwa pertentangan dapat dideskripsikan dengan mudah oleh para pengamat sosial yang tidak terlibat dalam pertentangan.
Teori Konflik dalam Sosiologi
Dalam studi sosiologi, konflik sosial mendapatkan perhatian besar dan memunculkan apa yang disebut teori konflik. Berikut contoh teori-teori konflik menurut sejumlah ahli sosiologi, yang dirangkum dari berbagai sumber, termasuk modul pembelajaran terbitan Kemdikbud.
1. Teori Konflik Karl Marx
Karl Marx sering kali menjadi tokoh utama dalam berbagai pembahasan terkait teori konflik sosial. Karl Marx memandang teori konflik sebagai suatu bentuk pertentangan kelas. Dari sudut pandang itu, ia memperkenalkan konsep struktur kelas di masyarakat.
Teori Marx melihat masyarakat sebagai arena ketimpangan (inequality) yang dapat memicu konflik dan perubahan sosial. Marx menilai konflik di masyarakat berkaitan dengan adanya kelompok yang berkuasa dan dikuasai. Di teori Marx, konflik kelas dipicu oleh pertentangan kepentingan ekonomi.
Selain itu, setidaknya ada 4 konsep dasar dalam teori ini:
- struktur kelas di masyarakat;
- kepentingan ekonomi yang saling bertentangan di antara kelas yang berbeda;
- Adanya pengaruh besar dilihat dari kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang;
- Adanya pengaruh dari konflik kelas terhadap perubahan struktur sosial.
Mengutip penjelasan Novri Susan dalam bukuSosiologi Konflik: Teori-teori dan Analisis (2009, hlm 22), pertentangan kelas menurut Marx dipicu oleh perbedaan akses terhadap sumber kekuasaan, yakni modal. Dalam masyarakat kapitalis, hal itu menciptakan dua kelas yang saling bertentangan, yakni borjuis dan proletariat.
2. Teori Konflik Lewis A. Coser
Lewis Coser menilai konflik memiliki fungsi positif jika bisa dikelola dan diekspresikan sewajarnya. Sosiologi konflik Lewis Coser mempengaruhi sosiologi konflik pragmatis, atau multidispliner, yang digunakan untuk mengelola konflik dalam perusahaan ataupun organisasi modern lainnya (Novri Susan, 2009, hlm: 46).
Teori konflik menurut Lewis A. Coser memandang sistem sosial bersifat fungsional. Menurut Coser, konflik tidak selalu memiliki sifat negatif. Konflik juga dapat mempererat hubungan antar-individu dalam suatu kelompok.
Coser meyakini keberadaan konflik tidak harus bersifat disfungsional. Oleh karena itu, keberadaan konflik dapat memicu suatu bentuk interaksi dan memicu konsekuensi yang bersifat positif. Selain itu, dengan adanya konflik juga dapat menggerakkan anggota kelompok yang terisolasi menjadi berperan aktif dalam aktivitas kelompoknya.
Selain itu, Coser mengelompokkan konflik sosial menjadi dua jenis, yaitu konflik realistis dan non-realistis. Konflik Realistis adalah konflik yang berdasar dari kekecewaan individu maupun kelompok atas berbagai bentuk permasalahan dalam hubungan sosial. Sementara Konflik non-Realistis lahir karena ada kebutuhan melepaskan ketegangan dari salah satu atau 2 pihak yang berkonflik.
3. Teori Konflik Ralf Dahrendorf
Menurut Ralf Dahrendorf, konflik hanya muncul melalui relasi-relasi sosial dalam sistem. Maka itu, konflik tidak mungkin melibatkan individu ataupun kelompok yang tidak terhubung dalam sistem.
Dalam teori Dahrendorf, relasi-relasi di struktur sosial ditentukan oleh kekuasaan (Novri Susan, 2009, hlm: 39). Adapun kekuasaan yang dimaksud oleh Dahrendorf adalah kekuasaan atas kontrol dan sanksi yang memungkinkan pemilik kekuasaan memberikan perintah dan meraih keuntungan dari mereka yang tidak berkuasa.
Dalam pandangan Dahrendorf, konflik kepentingan menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan dari relasi antara pemilik kekuasaan dan mereka yang tidak berkuasa.
Pada awalnya, Dahrendorf merumuskan teori konflik sebagai teori parsial yang digunakan untuk menganalisis fenomena sosial. Lantas, Dahrendorf melihat masyarakat memiliki dua sisi berbeda, yaitu konflik dan kerja sama.
Berdasarkan pemikiran itu, Dahrendorf menganalisis konflik sosial dengan perspektif dari sosiologi fungsionalisme struktural, untuk menyempurnakan teorinya. Dia pun mengadopsi teori perjuangan kelas Marxian untuk membangun teori kelas dan pertentangan kelas dalam masyarakat industri.
Dehrendorf mengaitkan pemikiran fungsional mengenai struktur dan fungsi masyarakat dengan teori konflik antarkelas sosial. Selain itu, Dehrendorf tidak memandang masyarakat sebagai suatu hal yang statis, melainkan bisa berubah oleh adanya konflik sosial.
Pengertian Konflik Sosial Menurut Para Ahli
Mengutip Modul Pembelajaran SMA Sosiologi (2020), beberapa pendapat ahli tentang definisi konflik sosial antara lain:
a. Soerjono Soekanto: Konflik adalah suatu proses sosial individu atau kelompok manusia berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai ancaman dan/atau kekerasan.
b. Robert M.Z. Lawang: Konflik adalah perjuangan untuk memperoleh nilai, status, dan kekuasaan di mana tujuan mereka tidak hanya memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk menundukkan saingannya.
c. Berstein: Konflik adalah suatu pertentangan atau perbedaan yang tidak dapat dicegah. Konflik ini dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif saat melakukan interaksi dengan orang lain.
d. Ensiklopedia Nasional Indonesia menguraikan bahwa konflik muncul karena adanya benturan antara dua unsur dalam masyarakat yang mengharuskan salah satunya berakhir.
- Mengenal Sosiologi Kesehatan dan Bedanya dengan Sosiologi Medis
- Penelitian Sosial Sosiologi: Definisi, Jenis dan Ciri-cirinya
- Sejarah Perkembangan Ilmu Sosiologi dari Era Yunani hingga Modern
- Pengertian Sosiologi Menurut para Ahli: Karl Marx hingga Giddens
- Mengenal Teori Sosiologi Hukum, Mazhab, & Daftar Tokoh Pemikirnya
Penulis: Muhammad Ibnu Azzulfa
Editor: Addi M Idhom
Penyelaras: Yulaika Ramadhani