tirto.id - Teori konflik sosial menurut para ahli sosiologi memiliki prinsip masing-masing. Tokoh teori konflik itu seperti Soerjono Soekanto, Karl Marx hingga Max Weber. Dengan mempelajari teori konflik menurut para ahli, dapat membantu kita memperdalam bahasan hubungan antarindividu dalam masyarakat.
Hubungan antarindividu dalam masyarakat dalam studi sosiologi, disebut dengan interaksi sosial. Proses interaksi antarindividu dalam masyarakat ini bisa mengakibatkan dua kategori dampak, yakni asosiatif (hubungan semakin erat) dan disosiatif (hubungan merenggang).
Kedua bentuk interaksi itu melekat pada hubungan antarindividu sehingga dapat mempengaruhi masyarakat. Salah satu bentuk asosiatif, misalnya, kerja sama. Sebaliknya contoh bentuk disosiatif, yaitu adanya konflik, demikian seperti dikutip dari laman Rumah Belajar Kemendikbud.
Pengertian Konflik Sosial Menurut Para Ahli
Konflik sosial muncul ketika perbedaan antarindividu atau kelompok dalam masyarakat tidak dapat dinetralisir atau didamaikan. Konflik sosial tidak terjadi dengan sendirinya. Meski penyebab utama konflik sosial adalah perbedaan di tengah masyarakat, banyak faktor yang bisa terkait dengannya.
Masih mengutip sumber dari Kemdikbud, setidaknya terdapat empat faktor utama yang sering kali menjadi penyebab konflik sosial, yakni:
- Perbedaan antarindividu
- Perbedaan kebudayaan dan latar belakang individu maupun kelompok
- Perbedaan kepentingan;
- Perubahan sosial yang terlalu cepat.
Seperti dikutip dari modul Pembelajaran SMA Sosiologi (2020), beberapa pendapat tokoh sosiologi atau para ahli tentang definisi konflik sosial antara lain sebagai berikut:
1. Soerjono Soekanto
Konflik adalah suatu proses sosial individu atau kelompok manusia berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai ancaman dan atau kekerasan.
2. Robert M.Z. Lawang
Konflik adalah perjuangan untuk memperoleh nilai, status, dan kekuasaan. Tujuannya tidak hanya memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk menundukkan saingannya.
3. Berstein
Konflik adalah suatu pertentangan atau perbedaan yang tidak dapat dicegah. Konflik ini dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif saat melakukan interaksi dengan orang lain.
3. Ensiklopedia Nasional Indonesia
Ensiklopedia Nasional Indonesia menguraikan bahwa konflik muncul karena adanya benturan antara dua unsur dalam masyarakat yang mengharuskan salah satunya berakhir.
Teori-Teori Konflik Sosial Menurut Ahli Sosiologi
Dalam studi teori konflik sosiologi, konflik sosial mendapatkan perhatian. Studi ini memunculkan apa yang disebut teori konflik sosial. Berikut contoh teori konflik menurut para ahli sosiologi, yang dirangkum dari berbagai sumber, termasuk modul pembelajaran terbitan Kemdikbud.
1. Teori Konflik Karl Marx
Karl Marx sering kali menjadi tokoh utama dalam berbagai pembahasan terkait teori konflik sosial. Teori Konflik Karl Marx memandang konflik sebagai suatu bentuk pertentangan kelas. Dari sudut pandang itu, ia memperkenalkan konsep struktur kelas di masyarakat.
Teori Konflik Karl Marx melihat masyarakat sebagai arena ketimpangan (inequality) yang dapat memicu konflik dan perubahan sosial. Marx menilai konflik di masyarakat berkaitan dengan adanya kelompok yang berkuasa dan dikuasai. Di teori Marx, konflik kelas dipicu oleh pertentangan kepentingan ekonomi.
Selain itu, setidaknya ada empat konsep dasar dalam teori konflik Karl Marx ini, yaitu:
- Struktur kelas di masyarakat;
- Kepentingan ekonomi yang saling bertentangan di antara kelas yang berbeda;
- Adanya pengaruh besar dilihat dari kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang;
- Adanya pengaruh dari konflik kelas terhadap perubahan struktur sosial.
Mengutip penjelasan Novri Susan dalam buku Sosiologi Konflik: Teori-teori dan Analisis (2009, hlm 22), pertentangan kelas menurut Marx dipicu oleh perbedaan akses terhadap sumber kekuasaan, yakni modal. Dalam masyarakat kapitalis, hal itu menciptakan dua kelas yang saling bertentangan, yakni borjuis dan proletariat.
2. Teori Konflik Lewis A. Coser
Lewis Coser menilai konflik memiliki fungsi positif jika bisa dikelola dan diekspresikan sewajarnya. Sosiologi konflik Lewis Coser mempengaruhi sosiologi konflik pragmatis, atau multidisipliner, yang digunakan untuk mengelola konflik dalam perusahaan ataupun organisasi modern lainnya (Novri Susan, 2009, hlm: 46).
Teori konflik Lewis A. Coser memandang sistem sosial bersifat fungsional. Menurut Coser, konflik tidak selalu memiliki sifat negatif. Konflik juga dapat mempererat hubungan antar-individu dalam suatu kelompok.
Teori konflik Lewis A. Coser meyakini keberadaan konflik tidak harus bersifat disfungsional. Oleh karena itu, keberadaan konflik dapat memicu suatu bentuk interaksi dan memicu konsekuensi yang bersifat positif. Selain itu, dengan adanya konflik juga dapat menggerakkan anggota kelompok yang terisolasi menjadi berperan aktif dalam aktivitas kelompoknya.
Selain itu, teori konflik Lewis A. Coser mengelompokkan konflik sosial menjadi dua jenis, yaitu:
- Konflik Realistis adalah konflik yang berdasar dari kekecewaan individu maupun kelompok atas berbagai bentuk permasalahan dalam hubungan sosial;
- Konflik non-Realistis lahir karena ada kebutuhan melepaskan ketegangan dari salah satu atau 2 pihak yang berkonflik.
3. Teori Konflik Ralf Dahrendorf
Menurut teori konflik Ralf Dahrendorf, konflik hanya muncul melalui relasi-relasi sosial dalam sistem. Maka itu, konflik tidak mungkin melibatkan individu ataupun kelompok yang tidak terhubung dalam sistem.
Dalam teori konflik Ralf Dahrendorf, relasi-relasi di struktur sosial ditentukan oleh kekuasaan (Novri Susan, 2009, hlm: 39). Adapun kekuasaan yang dimaksud oleh Dahrendorf adalah kekuasaan atas kontrol dan sanksi yang memungkinkan pemilik kekuasaan memberikan perintah dan meraih keuntungan dari mereka yang tidak berkuasa.
Dalam pandangan teori konflik Ralf Dahrendorf, konflik kepentingan menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan dari relasi antara pemilik kekuasaan dan mereka yang tidak berkuasa.
Pada awalnya, Dahrendorf merumuskan teori konflik sebagai teori parsial yang digunakan untuk menganalisis fenomena sosial. Lantas, Dahrendorf melihat masyarakat memiliki dua sisi berbeda, yaitu konflik dan kerja sama.
Berdasarkan pemikiran itu, Dahrendorf menganalisis konflik sosial dengan perspektif dari sosiologi fungsionalisme struktural, untuk menyempurnakan teorinya. Dia pun mengadopsi teori perjuangan kelas Marxian untuk membangun teori kelas dan pertentangan kelas dalam masyarakat industri.
Dahrendorf mengaitkan pemikiran fungsional mengenai struktur dan fungsi masyarakat dengan teori konflik antarkelas sosial. Selain itu, Dahrendorf tidak memandang masyarakat sebagai suatu hal yang statis, melainkan bisa berubah oleh adanya konflik sosial.
4. Teori Konflik Max Weber
Teori konflik Max Weber menjelaskan bahwa konflik muncul akibat adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat. Stratifikasi ini mencerminkan posisi yang dianggap layak untuk diperjuangkan oleh individu dan kelompok. Hubungan sosial yang terjalin adalah upaya untuk meraih posisi tinggi dalam hierarki masyarakat.
Teori konflik Max Weber menekankan pentingnya kekuasaan dalam setiap jenis hubungan sosial. Kekuasaan berperan sebagai penggerak dinamika sosial, memungkinkan individu atau kelompok untuk memobilisasi atau dimobilisasi.
Keberadaan kekuasaan dan kepentingannya sering kali memicu konflik secara bersamaan. Konflik sosial ini biasanya muncul sebagai hasil dari kombinasi berbagai kepentingan dalam struktur sosial, menciptakan dinamika konflik.
Namun, Max Weber tidak membahas teori konflik secara rinci. Ia lebih fokus menganalisis hubungan antara gerakan sosial dan konflik. Menurutnya, gerakan sosial dapat menjadi pemicu konflik, seperti yang terjadi pada masyarakat selama Revolusi Prancis.
Penulis: Muhammad Ibnu Azzulfa
Editor: Addi M Idhom
Penyelaras: Yulaika Ramadhani & Ibnu Azis